tatapan tak bernama
RUMAH KELUARGA ALESSANDRO – PAGI HARI
Pagi datang seperti biasa. Tapi di kamar bergaya industrial modern itu, Dario Marco Alessandro hanya menatap langit-langit.
Ponsel di tangannya menyala. Ada satu pesan yang belum sempat ia balas.
Dari: Zey
Isi: "Gaharu muncul lagi. Lo yakin mau nyeret Viola masuk?”
Dario tak menjawab. Ia hanya menarik napas dalam, melempar ponsel ke tempat tidur dan melangkah ke kamar mandi tanpa ekspresi.
RUANG MAKAN KELUARGA ALESSANDRO
Meja makan besar dari kayu mahoni tampak megah, tapi suasananya justru mencengangkan dinginnya.
Ayah Dario duduk dengan jas kerja yang selalu terlalu rapi, membaca koran cetak yang tak pernah berubah sejak sepuluh tahun lalu. Ibunya—anggun dan dingin—meminum kopi tanpa bicara sepatah kata pun.
Dario datang, rapi dalam jaket kampus dan jeans hitam.
emil ivan alessandro
(datar, tanpa menatap)
“Kamu masuk kelas jam berapa hari ini?”
dario marco alessandro
(singkat)
“Jam sembilan. Ada tugas riset.”
emil ivan alessandro
(membalik halaman koran):
“Kamu sering sekali keluar malam. Nama Bamanthara muncul di laporan kegiatan kampus.”
dario marco alessandro
Dario menaruh gelas jusnya dengan suara kecil tapi jelas.
“Viola. Anak mereka. Kita satu kelas ‘Creative Behavior’.”
dario marco alessandro
(pelan, tapi tajam):
“Anak perempuan satu-satunya dari keluarga itu. Kami tahu siapa mereka, Dario.”
emil ivan alessandro
“Kita bukan tipe keluarga yang cocok bersentuhan dengan yang terlalu... bersinar. Fokus. Jangan sampai terbawa arus.”
dario marco alessandro
(Dario tersenyum miring.)
“Jadi kita ini apa? Bayangan? Gelap?”
emil ivan alessandro
(Menurunkan koran).
“Jangan mempermalukan nama Alessandro.”
dario marco alessandro
(Dario bangkit, suara kursi bergeser nyaring.)
“Nggak usah khawatir. Gue nggak pernah bawa nama itu ke mana-mana.”
Ibu hanya memejamkan mata sejenak. Dingin, letih.
Dario menyetir sendiri. Radio mati. Di dashboard, kartu akses kampus tergantung berayun pelan. Ia menatap jalan, lalu melirik ke ponsel yang menunjukkan foto Viola sedang tertawa bersama Falala dan Narala saat event kampus minggu lalu.
dario marco alessandro
(gumam)
“Gue tahu lo bukan buat gue... Tapi aneh, ya. Lo bisa bikin dunia yang gue benci ini terasa... hidup.
RUANG APARTEMEN GAHARU – PAGI HARI, JAM 07.03
Cahaya pagi hanya menyusup lewat celah tirai yang belum dibuka.
Ruangan itu dingin, berantakan rapi—komputer menyala, kabel berseliweran, kamera analog berjejer di rak samping layar.
Gaharu Riven Ravindra duduk bersandar di kursi putar, hoodie abu-abu menutupi separuh wajahnya. Matanya sembab. Entah karena lelah, atau tak bisa tidur semalaman.
Layar di depannya menunjukkan rekaman CCTV kampus.
Ia mem-pause pada satu titik—Viola sedang tertawa kecil bersama Falala di taman belakang gedung FIB.
Gaharu riven ravindra
Gaharu (membisik, nyaris tidak terdengar)
“Jangan terlalu dekat sama siapapun, Vi... Nggak semua orang bisa lo percaya.”
Ia menegakkan duduk, mengetik cepat. Puluhan jendela program terbuka. Ada pemindaian data, peta jaringan, dan satu folder bernama:
“BAMANṬHARA–ARC_V.02”
Ia buka folder itu. Puluhan file data, rekaman, catatan.
Semua tentang keluarga Viola. Terutama... Viola.
Gaharu riven ravindra
(Gaharu menarik napas.)
Tangannya membuka file baru:
“Viola–GAD_Progress.log”
Catatan (G.R.R.):
Viola tampak stabil, namun peningkatan stimulasi sosial dari pertemanan dan tekanan kampus bisa memicu reaksi panik. Potensi trauma lama belum terungkap sepenuhnya. Tetap awasi.
Ia berhenti mengetik. Tangannya gemetar sedikit. Ia melihat ke jendela.
Gaharu riven ravindra
Gaharu (gumam)
“Gue bukan mata-mata... Tapi kalau nggak ada yang jagain lo, siapa lagi?”
Tiba-tiba, layar lain menyala—pop up dari server pribadi.
Pesan masuk:
Dari: Vektor
“Kita dapat sinyal pergerakan dari pihak Ales—kode merah. Lo tahu siapa targetnya.”
Gaharu riven ravindra
(Gaharu membalas cepat)
“Gue tahu. Gue udah ada di depan mereka sebelum mereka gerak.”
Ia bangkit. Hoodie dinaikkan. Langkahnya pelan, tapi matanya sekarang dingin. Fokus.
Gaharu riven ravindra
Gaharu (berbisik pada dirinya sendiri)
“Viola nggak tahu... Tapi semua orang yang mau nyentuh dia, harus lewat gue dulu.”
KAMPUS – HALAMAN TENGAH – SIANG
Langit mulai berawan, sinar matahari menyusup lewat celah dedaunan yang melambai pelan. Mahasiswa lalu lalang di bawah pohon tabebuya yang kelopak bunganya mulai jatuh. Viola, Falala, Zey, dan Narala duduk di bangku panjang dekat air mancur kampus, tertawa kecil setelah jam kuliah yang melelahkan.
Di sisi lain halaman, dua sosok lelaki berdiri dalam diam.
Gaharu, hoodie-nya ditarik setengah, berdiri bersandar di tiang lampu.
Dario, berjas biru tua dengan kemeja putih tergulung, berdiri di sisi berlawanan dekat pagar taman kampus.
Mereka tak berbicara.
Tak ada salam. Tak ada senyum.
Hanya tatapan. Tajam. Dalam. Seolah mereka sedang membaca satu sama lain.
Mata Gaharu dingin, mengunci pergerakan Dario.
Mata Dario membalas, dengan gaya sinisnya—dagu terangkat sedikit, senyum setengah mencibir. Tapi alisnya bergetar—ia tahu siapa yang ada di depannya.
Lalu keduanya memalingkan pandangan ke arah yang sama.
Viola.
Sedang tertawa kecil, memegang botol minumnya. Pipinya memerah saat Falala menyebutkan nama senior tampan dari fakultas seni.
viola olive bamanthara
“Udah ah, jangan bahas-bahas orang! Aku harus pergi sekarang, ada latihan ballet,” (katanya sambil berdiri dan mengambil tas.)
narala mentari
“Hati-hati ya Vi, jangan terlalu diforsir.”
falala kitty emillia
“Jangan lupa kirim video latihan, aku pengen lihat kamu muter-muter itu, aku suka banget!”
viola olive bamanthara
(Viola tersenyum kecil.)
“Liat langsung aja nanti di pertunjukan. Aku pergi dulu ya!”
Ia melambaikan tangan dan berjalan menjauh. Langkahnya ringan, angin meniup gaunnya sedikit.
Gaharu memperhatikan geraknya. Dario juga. Tapi dengan dua rasa yang berbeda.
Gaharu seperti sedang mengingat sesuatu—atau memetakan pola gerak Viola di dalam otaknya.
Dario menatap dengan rasa kepemilikan yang terselubung—campur aduk antara kagum dan amarah.
STUDIO BALLET – SORE HARI
Studio itu terang dan putih bersih. Cermin besar memenuhi satu dinding, sementara sisi lain berjajar jendela tinggi. Cahaya sore menembus tirai tipis, membentuk garis-garis cahaya yang menari di lantai kayu.
Viola berdiri sendiri di tengah ruangan. Mengenakan body suit putih dan rok tutu pastel lembut. Rambutnya disanggul rapi, lehernya panjang, siluetnya elegan.
Lagu klasik mengalun pelan.
Viola menutup mata sejenak, menarik napas panjang.
Gerakannya tenang, seperti air.
**Ia mengangkat satu kakinya ke udara—**lurus dan ringan seperti kapas.
Lengan kanannya melengkung, menari di udara, seolah menggambar angin.
Ia berputar.
Putaran demi putaran, cepat tapi teratur. Setiap gerakan memiliki irama, ekspresi wajahnya ikut menari—damai tapi menyimpan dalam.
Ia melompat ringan, lalu mendarat lembut tanpa suara.
Lututnya sedikit ditekuk, lalu tubuhnya melengkung ke belakang seolah melayang.
Sinar matahari sore menyentuh pipinya, membentuk cahaya keemasan di wajahnya yang bersemu merah. Butiran keringat mulai muncul di pelipisnya, tapi Viola tak berhenti. Ia menari seperti tak ada yang menonton. Seperti tubuhnya adalah satu-satunya cara untuk berbicara.
viola olive bamanthara
Viola (dalam hati):
“Menari... satu-satunya tempat di mana aku bisa lupa segalanya... termasuk rasa takut.”
Saat musik mendekati akhir, Viola mengakhiri dengan satu gerakan elegan—
mengangkat tangannya ke atas, memiringkan tubuhnya, dan menutup mata.
Diam. Sunyi. Napasnya teratur.
Di luar jendela...
Seseorang berdiri.
Gaharu.
Tak satu pun kata keluar. Ia menatap dari kejauhan, di balik kaca luar studio.
Tapi bukan hanya dia. Tak jauh di tikungan... Dario juga berdiri.
Menatap... dengan cara yang sangat berbeda.
Comments