hangat
MALAM HARI – DEPAN GEDUNG SENI, SELESAI LATIHAN BIOLA
Viola keluar dari gedung seni. Hujan gerimis baru saja berhenti, jalanan masih basah dan memantulkan cahaya lampu kota. Sebuah motor klasik Ducati hitam mengerem di pinggir trotoar.
Abidar, dengan helm hitam setengah terbuka, melambai.
abidar ali bamantahar
(teriak santai)
“Putri biola! Mau dijemput pakai mobil, malah dapet motor!”
viola olive bamanthara
(tersenyum)
“Daripada jalan kaki. Kamu bawa jas hujan?”
abidar ali bamantahar
(serius palsu)
“Tidak. Tapi aku bawa cinta dan helm cadangan.”
viola olive bamanthara
“Aku naik karena kasihan. Bukan karena rayuan murahan.”
Keduanya tertawa. Viola naik ke motor, memeluk punggung kakaknya. Motor melaju di bawah langit malam kota.
RUMAH KELUARGA BAMANTHARA – RUANG DEPAN
Motor berhenti di halaman rumah mewah gaya kontemporer. Abnar, si kembaran yang jauh lebih tenang, sudah menunggu di depan dengan sweater abu-abu.
Abnar miler bamanthara
"Welcome home, princess," (sapa Abnar dengan senyum lembut.)
viola olive bamanthara
"Duh, Kak Abnar. Jangan gitu ah, geli."
Dari dalam, sang ibu, Namira, menyambut hangat sambil menarik tangan Viola ke dalam rumah. Bram, sang ayah, duduk di ruang tengah sambil membaca koran, tapi langsung menoleh begitu mendengar suara langkah kaki anak perempuannya.
bram ashton bamanthara
"Kamu latihan lagi, ya? Kapan istirahatnya, Vi?" (tanya Bram dengan nada protektif, sambil membaca koran.)
viola olive bamanthara
"Tenang, Pah. Aku jaga waktu kok,"( jawab Viola sambil duduk di antara kakak-kakaknya.)
Meja makan pun segera dipenuhi suara tawa, obrolan ringan, dan guyonan khas keluarga. Momen langka yang begitu damai bagi Viola.
Abnar miler bamanthara
(lembut, khawatir)
“Kamu nggak kehujanan, kan? Latihannya lancar?
viola olive bamanthara
“Capek, tapi aman. Tadi sempat ngerasa kayak diikuti…”
abidar ali bamantahar
(memotong cepat):
“Itu pasti fans kamu yang nggak kuat liat gaya kamu main biola. Terlalu elegan.”
viola olive bamanthara
(berdiri dan teriak)
"Ya udh semuanyaaaaa aku mandi duluu, udaj kan introgasi aku nya?"
bram ashton bamanthara
"viola, jaga sikap kamu. kamu kan perempuan masa teriak triak kaya gitu" (ucap nya agak tegas)
viola olive bamanthara
"iya pah maaf,ya udah aku mandi dulu" (seketika senyum nya menipis dan pergi ke kamar)
Abnar miler bamanthara
"pah...viola cuma mau becanda, papah jangan terlalu tegas lah pah sama viola, dia juga butuh bebas kalo di rumah aja dia banyak aturan yang ada viola ga betah di rumah" (ceramah sang kaka pada ayah nya yang memang mendidik viola manja tetapi tetap tegas)
bram ashton bamanthara
"iya papah ga sengaja bilang kaya gitu, banyak pikiran di kantor. Jadi aga terbawa suasana, biar nanti papah yang minta maaf ke adik kmu" ( ucap nya merasa bersalah)
Abidar hanya memutar bola mata malas nya, pergi ke kamar untuk mengganti pakain santai
SESUDAH MANDI – RUANG MAKAN
Viola kini duduk di pinggir abidar. Abidar menyendok nasi sambil menceritakan kejadian lucu di bengkel, sementara Abnar dengan sabar memotongkan lauk untuk Viola.
abidar ali bamantahar
“Tadi ada anak SMA bawa motor rusak, katanya 'kena setan'. Eh pas dicek, cuma kabel busi longgar.”
viola olive bamanthara
(tertawa)
“Kamu pasti ngeledek dia abis-abisan ya?”
abidar ali bamantahar
(dengan bangga dia bicara)
“Tentu. Itulah fungsi abang sulung: mempermalukan dan mendidik.”
Abnar miler bamanthara
(tersenyum kecil):
“Dan abang kedua? Memanjakan dan memeluk.”
namira vansha bamanthara
“Ah kalian kombinasi yang... ngangenin.”( ucap mama dari dalam dapur)
namira vansha bamanthara
“Kombinasi ribut dan rusuh, maksudnya.”
mereka semua tertawa. Malam terasa ringan.
viola olive bamanthara
Viola meletakkan dagunya di lutut. “Kalian berdua tuh... kombinasi paling rusuh tapi paling bikin kangen.” (ucap nya sambil memeluk abidar)
abidar ali bamantahar
Abidar tertawa keras. “Rusuh? Kamu aja yang selalu drama kalau alat biola kamu geser satu senti!” (ucap nya, sambil sedikit mengangkat kepala nya untuk melihat wajah adik nya, yang ada di atas kepala nya)
viola olive bamanthara
(Viola manyun) “Itu penting! Presisi!”
Abnar miler bamanthara
Abnar tersenyum kecil, matanya menatap Viola penuh sayang. “Tapi kamu memang selalu total kalau soal hal yang kamu suka.”
papah mereka, Bram, masuk dengan membawa nampan berisi potongan buah.
bram ashton bamanthara
. “Bukan cuma total. Tapi anak Papa ini... selalu bikin rumah rame dengan prestasi.” (ucapa nya sambil memberi potongan buah ke viola, dan mencium pucuk kepala viola)
viola olive bamanthara
(Viola tertunduk malu, pipinya merona.)“Aduh Pa, jangan gitu...”
Ibu mereka, Namira, muncul dari dapur membawa kue hangat. Wajahnya berseri.
namira vansha bamanthara
“Biarkan Viola dimanja, kan dia satu-satunya bunga di rumah ini.”
abidar ali bamantahar
(Abidar memutar bola mata.) “Iya iya, putri kebanggaan negara.”
viola olive bamanthara
(Viola menendang pelan kaki) Abidar. “Diam deh!”
Semua tertawa. Lampu ruang tengah menyinari wajah mereka yang cerah. Saling ejek, tapi hangat. Tak ada tekanan, hanya keintiman yang sederhana.
Mereka semua pindah keruang keluarga
Percakapan mulai mereda. Tawa-tawa pelan berganti bisik-bisik penuh lelah. Lampu ruang tengah disetel redup. Aroma kue hangat dari dapur masih tersisa di udara.
Viola tertidur bersandar di lengan sofa. Kepalanya miring, rambut jatuh menutupi sebagian wajah. Napasnya tenang. Piyama bunga yang ia pakai bergesekan lembut dengan bantal sofa.
Abidar menghampiri pelan, membawa selimut tipis. Ia sempat jongkok, menatap adiknya dalam diam. Sosok usil itu kini berubah tenang.
abidar ali bamantahar
(berbisik)
“Tidur, ya, cewe ke banggan negara"
Ia tersenyum miring, lalu dengan gerakan hati-hati, menyelipkan tangannya ke punggung Viola, satu lagi di bawah lututnya. Ia mengangkat tubuh adik satu-satunya itu perlahan, dengan tenaga penuh kehati-hatian.
viola olive bamanthara
Viola menggeliat pelan, tapi tidak terbangun.
Langkah Abidar melewati lorong rumah sunyi. Lampu malam berpendar lembut di kulitnya. Sampai di kamar Viola, ia mendorong pintu dengan bahu, lalu mendekati tempat tidur yang tertata rapi.
Ia membaringkan Viola perlahan. Diselimutinya tubuh kecil itu, dan jari-jarinya menyingkirkan helai rambut dari wajah Viola. Tatapannya berubah—dari kakak usil, menjadi pelindung diam yang tidak akan pernah menyerah.
abidar ali bamantahar
(dalam hati)
“Kakak nggak tahu apa yang bakal kakak lakuin kalau kehilangan kamu, Dek...”
Matanya terasa panas. Tapi ia mengedip cepat, mengalihkan pandangan ke langit-langit. Ia berdiri, menatap Viola sekali lagi sebelum berbalik dan mematikan lampu. Kamar itu tenang. Sunyi. Tapi penuh kasih.
Comments