Kepergian Hendra meninggalkan kekosongan yang aneh di dalam diriku. Bukan kekosongan yang menyakitkan seperti kehilangan, melainkan semacam jeda yang menyesakkan, memberi ruang bagi semua pertanyaan yang selama ini kutekan untuk naik ke permukaan. Ciuman di kening itu terus membakar kulitku, pengakuannya berputar dibenakku, ketegangan yang kami bagi di kafe bandara terasa seperti beban tak kasat mata yang menempel disetiap langkahku.
Mas Satria, seolah tak menyadari badai dalam diriku, semakin menunjukkan usahanya. Setiap malam, dia pulang lebih awal, membawakan bunga atau makanan kesukaanku. Dia sering mengajakku berbicara, menanyakan hariku, atau sekedar berbagi cerita tentang pekerjaannya. Dia berusaha menghidupkan kembali percikan dalam hubungan kami, dan ada kalanya, usaha kami berhasil. Aku akan tertawa lepas saat dia melontarkan lelucon konyol, atau merasakan kehangatan saat dia menggenggam tanganku disaat kami menonton film. Di momen-momen seperti itu, bayangan Hendra akan memudar, digantikan rasa bersalah yang menusuk. Aku merasa seperti penipu, menerima kebaikan Mas Satria, sementara hatiku masih terbagi.
Beberapa hari setelah kepergian Hendra, aku mencoba menjauhkan diri dari media sosial. Aku tahu ini aneh, tapi aku takut melihat unggahan apapun yang mungkin berhubungan dengannya, atau bahkan secara tidak sadar, mencari tahu kabarnya. Aku mencoba memfokuskan diri pada pekerjaanku sebagai konsultan pernikahan lepas. Aku mengambil beberapa klien yang mengalami masalah pernikahannya , menghabiskan waktu berjam-jam di depan laptop. berharap kesibukan bisa mengusir pikiran-pikiran yang mengganggu.
Semakin aku mencoba, jeda itu tidak membebaskanku. Justru, keheningan dari Hendra semakin memperkuat kehadirannya dalam pikiranku. Aku mulai menganalisis setiap detail pertemuanku dengannya, tatapan matanya, nada suaranya, cara dia menahan tanganku. Aku bertanya-tanya apakah yang dia lakukan di semarang. Apakah dia juga memikirkanku? apakah dia dengan mudah melupakanku, menganggap pertemuan kami hanyalah sebuah kesalahan sesaat? pertanyaan-pertanyaan seperti itu seperti diri kecil yang terus menusuk, menggangguku di siang hari, dan menghantuiku di malam hari.
Suatu sore, saat Mas Satria sedang mandi, ponselnya berdering. Aku melihat nama Hendra di layar. Jantungku mencelos. Tiba-tiba rasa penasaran yang selama ini kutahan, meledak. Aku tahu ini salah, salah besar, tapi tanganku bergerak sendiri. Aku mengangkat ponselnya, membiarkan deringnya berhenti, dan melihat riwayat panggilan. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Hendra dalam beberapa hari terakhir. Rasa lega bercampur kecewa membanjiri diriku. Lega karena Mas Satria belum sempat mengangkatnya, kecewa karena... entahlah. Mungkin aku berharap ada pesan singkat darinya yang entah bagaimana bisa kubaca.
Aku cepat-cepat meletakkan ponsel Mas Satria kembali ketempatnya seolah tidak terjadi apa-apa, tepat saat dia keluar dari kamar mandi. "Siapa yang menelepon, Sayang?" tanyanya, sambil mengeringkan rambutnya. "Oh, tidak ada," jawabku, berbohong, mencoba menjaga suaraku untuk tetap tenang. "Hanya nomor tak dikenal." Mas Satria mengangguk, tidak curiga. Rasa bersalah kembali menggerogotiku. Aku merasa kotor, merasa telah menghianati kepercayaannya dalam diam.
Minggu-minggu berlalu. Mas Satria terus menunjukkan perbaikan, dan aku merasakan sedikit ketenangan kembali menyelimuti hubungan kami. Kami mulai melakukan hal-hal kecil bersama lagi, memasak makan malam, menonton serial TV favorit kami, atau sekedar berbincang di balkon apartemen sambil menikmati secangkir teh. Ada saatnya aku berpikir, "Mungkin ini bisa berhasil. Mungkin aku bisa melupakan Hendra dan kembali mencintai Mas Satria sepenuhnya. Namun ditengah semua momen yang terasa hangat itu, ada sesuatu yang terasa janggal. Seperti ada sebuah tirai tipis yang memisahkan diriku dari Mas Satria, sebuah rahasia yang tak bisa kubagi. Aku merasa seperti hidup dalam dua realitas berbeda, satu dimana aku adalah istri yang setia dan mencintai, dan satu lagi dimana aku menyimpan rahasia gelap tentang perasaanku pada sahabat suamiku.
Suatu malam, saat kami sedang makan malam, Mas Satria tiba-tiba berkata, "Oh ya, Tania, sepertinya Pak Hendra akan kembali ke Jakarta minggu depan. Dia bilang ada urusan pekerjaan yang belum selesai. "Sendok ku terhenti di tengah jalan menuju mulutku. Dunia seolah berhenti berputar. Hendra akan kembali. Kata-kata itu bergaung di kepalaku, menciptakan riak-riak gelombang di ketenangan yang baru saja kudapatkan. "Benarkah?" tanyaku, berusaha terdengar biasa saja, padahal jantungku berdetak kencang. "Iya," jawab Mas Satria tidak menyadari ekspresiku. "Dia bilang ingin mampir kesini begitu sampai. Mungkin kita bisa makan malam bersama lagi." Seketika, semua usaha yang telah kubangun untuk melupakan Hendra runtuh dalam sekejap. Kelegaan yang kurasakan saat dia pergi berubah menjadi ketegangan yang mencekik. Aku tahu, jika dia kembali, semua godaan itu akan muncul lagi. Perasaanku yang selama ini ku coba kubur dalam-dalam akan kembali bangkit, lebih kuat dari sebelumnya.
Malam itu, tidurku kembali tidak nyenyak. Aku memejamkan mata, dan wajah Hendra kembali muncul, lebih jelas dari sebelumnya. Aku membayangkan pertemuanku dengannya di bandara, ciuman di kening dan pengakuannya yaang tulus. Aku tahu aku dalam masalah besar. Aku telah mencoba, benar-benar mencoba, untuk kembali ke Mas Satria. Tapi kehadiran Hendra terlalu kuat, terlalu memikat. Pertanyaan yang sebelumnya menghantuiku kini semakin mendesak, apa yang harus kulakukan saat Hendra kembali? apakah aku akan berusaha menghindarinya dan mempertahankan pernikahanku, atau justru membiarkan diri terbawa arus perasaanku yang tak terkendali? aku tahu, jawabannya ada di dalam diriku, tapi aku terlalu takut untuk mengakuinya. Aku takut dengan apa yang terungkap, takut dengan konsekuensi yang kuhadapi.
Keesokan harinya, aku merasa seperti boneka yang digerakkan oleh benang tak terlihat. Aku melakukan rutinitas harian seperti biasa, tapi pikiranku jauh melayang. Aku tidak bisa berhenti membayangkan pertemuan berikutnya dengan Hendra. Apakah dia masih merasakan hal yang sama? ataukah jarak telah membuat perasaannya memudar, seperti yang dia harapkan? Ponselku berdering. Aku melihat nama Mas Satria di layar. "Ada apa, Mas?" tanyaku, suaraku sedikit bergetar. " Tania, aku lupa memberitahumu," kata Mas Satria di seberang sana, suaranya ceria. " Pak Hendra tiba lebih cepat. Dia ada di kafe dekat kantorku sekarang. Aku sudah bilang padanya, untuk datang di apartemen kita malam ini. Kita akan makan malam bersama!" Darahku berdesir. Malam ini, secepat itu. Aku tidak siap. Aku merasa cengkeraman tak kasat mata itu semakin erat, menarikku kw arah yang tidak aku inginkan, namun pada saat yang sama, aku merasakan semacam antisipasi yang mendebarkan. "Tania, kau mendengarku?" tanya Mas Satria, menyadarkanku. "Ya, ya aku dengar," jawabku, berusaha keras agar suaraku tidak pecah. "Baiklah, sampai nanti malam."
Aku menutup telepon, tangan gemetar. Aku menatap pantulan diriku di cermin. Mata bengkak dan pucat, bibir terkatup rapat, ekspresi bingung dan putus asa terbaru jelas. Ini adalah momen krusial. Batas-batas telah runtuh dan aku tahu, malam ini semuanya akan ditentukan. Apakah aku akan mencoba untuk kembali ke pelukan Mas Satria, atau justru menolak pada godaan yang tak terbendung ini? aku tidak tahu, tapi satu hal yang pasti, hidupku tidak akan pernah sama lagi setelah ini.
Bagaimana pembaca budiman, setelah ini apakah Tania akan mampu menghadapi Hendra dengan perasaannya yang campur aduk, atau justru terjebak lebih dalam dilema hatinya. Ikuti terus kelanjutannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Sherlyssa
Lanjut
2025-06-08
0