BAB 2 Titik Balik

Siang itu, apartemen terasa begitu sepi setelah kepergian Mas Satria. Keheningan yang menyesakkan, hanya sesekali diselingi suara hembusan angin dari luar jendela. Aku memutuskan untuk membersihkan apartemen, berharap kesibukan bisa mengusir pikiran-pikiran kalut yang berputar di kepalaku. Setiap sudut yang kusentuh, setiap benda yang kurasakan, seolah memicu ingatan akan kebersamaan kami. Foto pernikahan yang terpajang di nakas, dua cangkir kopi yang selalu kami gunakan untuk sarapan, bahkan deretan buku di rak yang sebagian besar adalah koleksi Mas Satria. Semuanya terasa seperti peninggalan dari masa lalu yang tak akan kembali.

Aku menyapu lantai ruang tamu, pandanganku terhenti pada bantal dekorasi yang tadi malam ku pegang. Bantal itu masih berbau samar parfum Mas Satria. Sebuah aroma yang dulu selalu membuatku merasa aman, kini hanya menimbulkan rasa hampa. Aku menyingkirkan bantal itu dengan sedikit kasar, seolah ingin membuang semua kenangan yang terikat padanya.

Pukul tiga sore, ponselku berdering. Nama Mas Satria tertera di layar. Aku mengangkatnya dengan sedikit enggan. "Hallo, Sayang," sapanya ceria. "Aku dijalan pulang nih. Pak Hendra sudah selesai main golf, jadi kami mau langsung ke apartemen." ucapnya di ujung telepon.

Jantungku berdesir. Hendra. Nama itu, entah kenapa selalu berhasil memicu reaksi yang berbeda di dalam diriku. Sebuah campuran antara rasa penasaran, sedikit gugup, dan entah mengapa semacam harapan. "Oh, ok, Mas. Mau kubuatkan minum apa nanti?" tanyaku, berusaha terdengar biasa. "Apa saja, Sayang. Terserah kamu. Aku mau ganti baju sebentar, keringetan banget." jawabnya kepadaku. "Siap," ucapku dengan hati berdebar.

Panggilan terputus. Aku menatap ponsel di tanganku. Mengapa aku merasa gugup? Bukankah ini hanya pertemuan biasa antara teman dan sahabat? Aku menghela nafas panjang, mencoba menenangkan diri. Ada yang salah dengan diriku. Aku tahu itu. Aku segera bergegas ke dapur. Memutuskan untuk membuatkan es teh lemon dan beberapa camilan ringan. Saat memotong lemon, tanganku sedikit gemetar. Mengapa aku jadi seperti ini? perasaan bersalah semakin menghimpit.

Tidak lama kemudian, suara bel pintu terdengar. Aku segera membuka pintu. Mas Satria berdiri di sana, senyum lebar terlihat di wajahnya yang agak memerah, karena terpapar matahari. Disampingnya, Hendra berdiri dengan senyum khasnya yang selalu menawan. Mengenakan kaos polo berwarna cerah dan celana pendek, dia terlihat jauh lebih santai daripada Mas Satria.

"Hai, Sayang!" Mas Satria mencium keningku. "Sudah lama nunggunya?" tanyanya kepadaku. "Nggak, kok, baru juga selesai siap-siap," jawabku, tersenyum padanya, lalu aku mengalihkan pandangan pada Hendra. " Hai, tania," sapa Hendra, matanya berbinar. " Wah, makin cantik saja nih istrinya Satria. Benar-benar beruntung banget kamu, Satria punya istri seperti tania." ucapnya sambil menepuk pundak mas Satria. Pujian itu, lagi-lagi membuat pipiku sedikit memerah. Jantungku berdetak lebih cepat. Aku melirik Mas Satria, yang hanya tersenyum bangga. Dulu, pujian seperti itu akan membuatku merasa sangat dicintai oleh Mas Satria, tapi kini, rasanya justru terasa aneh, karena datang dari Hendra, sahabat suamiku. "Bisa saja, pak hendra," kataku, mencoba tertawa kecil. "Silahkan masuk, " ajakku kepada kedua laki-laki tersebut.

Mereka berdua masuk. Mas Satria langsung menuju kamar untuk berganti pakaian, sementara Hendra duduk di ruang tamu. Aku meletakkan nampan berisi minuman teh lemon dan camilan di meja. "Makasih ya, tania. Kamu repot- repot saja," kata Hendra sambil mengambil es teh lemon. "Nggak repot kok, Pak Hendra. Biasa saja," jawabku, duduk di sofa seberangnya. Kami terdiam sesaat. Lalu Hendra memulai percakapan. "Satria cerita katanya kamu lagi suntuk ya belakangan ini?" tanyanya, suaranya terdengar lembut. Aku sedikit terkejut. Mas Satria bercerita tentangku pada Hendra? "Eh, nggak juga sih, Pak. Biasa saja," jawabku mencoba mengelak. "Jangan sungkan, kita kan sudah kayak keluarga sendiri, kalau ada apa-apa cerita saja, siapa tau aku bisa bantu," katanya, menatapku dengan tatapan hangat. Tatapan itu, entah mengapa, membuatku terasa nyaman sekaligus gelisah. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda dari tatapan Mas satria. Tatapan hendra, terasa lebih dalam, lebih memahami.

"Kadang memang begitu, Pak Hendra. Pekerjaan Mas Satria banyak, kami jadi jarang ngobrol," aku akhirnya mengakui, setengah berharap dia bisa mengerti. Hendra mengangguk pelan. "Iya, Satria memang gila kerja. Tapi kan harusnya ada waktu juga buat istri. Kamu harus ingatkan dia, Tania," ucap Hendra, sambil memandang lekat kearahku. Aku hanya tersenyum tipis. Bagaimana bisa aku mengingatkan Mas Satria, jika aku sendiri sudah tidak yakin dengan apa yang aku inginkan. "Pasti dia sayang banget sama kamu, ya tania," lanjut Hendra, seolah membaca pikiranku. "Kadang cowok memang begitu. Saking fokusnya sama satu hal, jadi lupa sama yang lain." dia berkata lembut dengan senyumnya yang menghanyutkan.

Obrolan kami mengalir begitu saja. Hendra bercerita tentang pengalamannya travelling ke berbagai negara, tentang makanan-makanan aneh yang pernah dia coba, dan tentang kelucuan yang sering terjadi di kantor. Setiap ceritanya selalu diselingi tawa dan ekpresi wajah yang menyenangkan. Aku merasa nyaman sekali mengobrol dengannya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, aku merasa benar-benar hidup. Aku tertawa lepas, merespon setiap leluconnya, dan bahkan ikut menambahkan beberapa cerita dari pengalamanku sendiri. Tak terasa, Mas Satria sudah bergabung dengan kami. Dia terlihat lebih segar setelah mandi.

"Wah, asyik banget ngobrolnya!" serunya, duduk disampingku. "Iya dong, Mas. Ini Pak Hendra cerita banyak hal lucu," kataku, masih tersenyum. Melihat kami berdua tertawa bersama, Mas Satria pun ikut tersenyum. Tapi aku bisa merasakan, ada sedikit kerutan di dahinya saat dia memandangku dan Hendra bergantian. Atau itu hanya perasaanku saja?

Sore itu, suasana di apartemen memang terasa lebih hidup. tawa kami mengisi ruangan, obrolan kami tak ada hentinya. Hendra memang pandai mencairkan suasana. Dia selalu punya cara untuk membuat orang sekitarnya merasa nyaman. Saat Hendra pamit pulang, Mas Satria mengantarnya sampai ke depan pintu. Aku mengikutinya. "Makasih ya, Tania, makanannya enak banget. lain kali kalau boleh, aku main kesini lagi, ya, kalau aku rindu masakanmu," kata Hendra, tersenyum padaku. "Sama-sama, Pak Hendra. Pasti", jawabku, balas tersenyum. Dia menatapku sejenak, tatapannya hangat dan penuh arti. Lalu dia mengalihkan pandangannya pada Mas Satria, menepuk pundaknya." Satria, jaga baik-baik istrimu, permata seperti dia banyak yang suka, jangan sampai kamu menyesal lo, kalau ada yang merebut dia dari kamu,"ucapnya membuatku terkejut. Mas Satria tertawa." Pasti dong, Hendra."

Setelah Hendra pergi, keheningan kembali menyelimuti apartemen. Kali ini, rasanya lebih berat daripada sebelumnya. Aku merasakan gejolak aneh di dalam dadaku. Ada perasaan campur aduk, sedikit senang, sedikit bersalah, dan sedikit cemas. "Hendra memang selalu bikin suasana jadi ramai ya," kata Mas Satria, memecah keheningan. Dia tidak menatapku, melainkan ke luar jendela. Aku hanya mengangguk. "Dia memang orang baik," lanjut Mas Satria. "Selalu perhatian sama orang lain." Ada nada suara yang sulit kuartikan dalam suaranya. Aku menatapnya. Wajahnya terlihat datar.

"Kenapa, Mas?" tanyaku, memberanikan diri. Mas Satria menoleh kepadaku. Matanya menatapku lurus. "Ngga apa-apa. Cuma... kamu terlihat lebih ceria kalau ada Hendra." Jantungku langsung mencelos. Keterkejutanku pasti terlihat jelas di wajahku. "Maksud Mas apa?" tanyaku, pura-pura tidak mengerti. "Ya, kamu taulah. Kamu kan jadi banyak senyum, lebih banyak ketawa," katanya, nadanya sedikit lebih dingin dari biasanya. "Aku senang kok kalau kamu senang. Cuma... aneh saja. Kan Hendra sahabatku, bukan suamimu." Kata-kata nya menamparku. Sebuah kebenaran yang tak bisa ku, bantah, namun begitu menyakitkan untuk didengar. Aku terdiam, lidahku kelu, rasanya seperti ada tangan kasat mata yang mencekik tenggorokanku.

"Aku....aku tidak bermaksud begitu, Mas," kataku terbata. "Aku cuma....senang saja ada teman ngobrol."

Mas Satria menghela nafas panjang. Dia memalingkan muka lagi ke jendela. "Sudahlah, aku mau tidur sebentar. Aku capek." Dia berjalan menuju kamar tidur, meninggalkan aku sendirian di ruang tamu yang kembali sunyi. Aku terduduk lemas di sofa. Kata-kata Mas Satria berputar-putar di Kepalaku. Dia menyadarinya. Dia menyadari perubahan dalam diriku. Dan yang lebih buruk, dia mengaitkan dengan Hendra. Rasa bersalah yang tadi sempat sedikit terobati oleh kebersamaan dengan Hendra, kini kembali menghantamku dengan kekuatan penuh. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Apakah ini awal dari sebuah masalah yang lebih besar? Apakah Masih Satria mulai mencurigai sesuatu?

Malam itu, tidurku tidak nyenyak. Setiap kali aku memejamkan mata, wajah Hendra dengan senyum menawannya dan tatapan hangatnya muncul di benakku. Lalu, disusul oleh wajah Mas Satria yang datar, dengan nada dingin yang terlontar dari bibirnya. Aku merasa terpecah belah. Disatu sisi, aku merasa berdosa karena perasaanku yang mulai menyimpang. Disisi lain, aku merasa Mas Satria sendiri yang telah menciptakan celah itu, dengan jarak dan rutinitas yang monoton dalam pernikahan kami

Aku tahu, apa yang terjadi sore itu adalah sebuah titik balik. Sebuah alarm. Apakah aku akan memilih untuk memperbaiki retakan yang sudah ada, atau justru membiarkannya semakin membesar dan menghancurkan semuanya? aku tidak tahu jawabannya. Yang jelas, malam itu, aku merasa semakin tersesat, dan jalan pulang semakin jauh.

Apa yang akan terjadi selanjutnya, ikuti terus kisahnya Tania, Satria dan Hendra. Apakah Tania akan memilih mengejar cintanya ataukah mempertahankan pernikahannya. Bab selanjutnya akan lebih seru, ikuti terus ya Pembaca yang Baik Hati.

Terpopuler

Comments

niadatin tiasmami

niadatin tiasmami

Agak gak suka sama tania, suami udah semputnang msih aja selingkuh

2025-06-08

1

niadatin tiasmami

niadatin tiasmami

Bagus ceritanya

2025-06-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!