Malam itu, tidur enggan menghampiriku. Setiap kali aku memejamkan mata, wajah Hendra muncul, disusul oleh senyum Mas Satria saat kami makan malam. Aku berputar diantara dua bayangan itu, merasa terjebak dalam labirin emosi. Disatu sisi, aku tahu betapa Mas Satria telah berusaha. Dia benar-benar mencoba memperbaiki celah diantara kami, mengisi kekosongan dengan perhatian dan waktu. Hati kecilku bersorak melihat usahanya, merasakan setitik harapan bahwa, kami bisa kembali seperti dulu. Namun, bayangan Hendra selalu saja menyusup, menawarkan alternatif yang tak terucap, sebuah daya tarik yang gelap, namun begitu kuat.
Keesokan harinya aku terbangun dengan kepala pening dan hati yang berat. Mas Satria sepertinya sudah berangkat ke kantor tanpa membangunkanku, sedikit kecewa karena tidak berpamitan dulu denganku, sebelum dia berangkat. Aku teringat, hari ini adalah hari keberangkatan Hendra ke semarang. Aku karena Mas Satria sempat menyebutkannya, dan entah kenapa, informasi itu terpatri kuat di benakmu. Aku berusaha menyibukkan diri. Aku membersihkan apartemen, membaca buku, bahkan mencoba merangkai bunga yang dibeli Mas Satria kemarin. Tapi fokus ku buyar, setiap jarum jam bergerak, semakin mendekatkan pada momen keberangkatan. Hendra, dan aku merasakan kecemasan yang aneh, bercampur dengan kelegaan dan kesedihan.
Siang harinya, ponselku bergetar. Sebuah notifikasi pesan masuk dari nomor tak di kenal. Aku membukanya dengan perasaan was-was. "Tania, ini Hendra. Aku tahu ini mungkin agak tiba-tiba, tapi aku di bandara sekarang. Pesawatku delay beberapa jam. Aku ingin bertanya, apakah kamu punya waktu sebentar untuk minum kopi? ada sesuatu yang ingin aku bicarakan sebelum aku pergi," Pesannya di ponselku. Jantungku berdebar tak karuan. Mataku terpaku pada layar ponsel. Ini adalah kesempatan yang ku benci dan sekaligus ku rindukan. Kesempatan untuk mengucapkan selamat jalan, atau mungkin untuk mengkonfirmasi apapun perasaan yang mengganggu ini. Tapi juga sebuah godaan yang bisa menghancurkan semua usahaku untuk kembali ke Mas Satria.
Aku melihat jam. Mas Satria masih di kantor, dia akan pulang sampai sore. Aku punya waktu. Aku menarik napas dalam-dalam. "Ini salah," bisikku pada diri sendiri. "Ini, sangat salah, " Namun, jari-jariku bergerak sendiri. "Baiklah, Pak Hendra. Aku akan kesana. Dimana kita bertemu?" aku segera bersiap. Mengenakan blus sederhana dan celana panjang, aku memastikan penampilanku tidak terlalu mencolok.
Di perjalan menuju bandara, pikiranku kalut. Apa yang akan dia bicarakan? mengapa dia ingin menemuiku? apakah dia merasakan hal yang sama denganku? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalaku, menciptakan badai emosi yang membuatku nyaris pusing. Setibanya di bandara, ku lihat dia duduk di sebuah kafe, mengenakan kemeja biru muda yang biasa dia pakai, dengan ransel di sampingnya. Dia melambaikan tangan saat melihatku. Senyumnya seperti biasa, hangat dan menyenangkan, seolah dia tahu persis apa yang kurasakan dan tidak menghakimiku.
"Tania, terimakasih sudah mau datang," katanya, berdiri menyambutku. "Tidak masalah, Pak Hendra," jawabku, mencoba terdengar santai, padahal detak jantungku berpacu kencang. Kami memesan kopi dan duduk di sudut yang agak tersembunyi. Keheningan sempat menyelimuti kami, namun bukan keheningan yang canggung. Lebih seperti keheningan penuh antisipasi. "Aku... aku ingin meminta maaf," kata hendra akhirnya, pandangannya lurus menatapku. "Aku tahu ini mungkin tidak pantas, tapi setelah sore itu.. aku tidak bisa berhenti memikirkanmu." Mataku membulat. Dia mengatakannya. Tubuhku terasa panas dingin. "Aku tahu, Satria sahabatku dan kamu adalah istrinya. Aku tidak seharusnya merasakan ini. Tapi setiap kali kita bicara, setiap kali aku melihatmu, aku merasa... tertarik padamu, Tania. Ada sesuatu dalam dirimu yang membuatku merasa nyaman, merasa bisa menjadi diriku sendiri," ucapnya kepadaku. Dia berbicara dengan suara rendah, namun penuh ketulusan.
Aku merasakan air mataku menumpuk di pelupuk mata. Ini adalah pengakuan yang ku benci, tapi juga kurindukan. Sesuatu yang terasa begitu dilarang, namun juga begitu membebaskan.
"Pak Hendra , aku..," tiba-tiba ludahku kelu untuk melanjutkan kata-kataku. "Jangan panggil, pak, Tania, umurku hanya sedikit lebih tua dari kamu dan Satria, lagi pula, aku bukan bapak-bapak berkumis," ucapnya, berusaha meredakan ketegangan yang ada. " Iya, Hendra," ucapku kemudian. Detik kemudian aku mulai berkata serius" Aku.. aku juga tidak tahu harus berkata apa, Hendra, "kataku, suaraku bergetar. " Aku merasa bersalah pada Mas Satria. Dia sedang memperbaiki semuanya,. "
Hendra mengangguk perlahan. "Aku tahu. Dan itu membuatku semakin merasa buruk. Aku tidak ingin merusak pernikahanmu, Tania. Tapi aku juga tidak bisa membohongi diriku sendiri," ucapnya sedih. Dia menatapku, matanya memancarkan kesedihan dan pengertian. "Aku akan pergi untuk beberapa minggu. Mungkin ini adalah yang terbaik untuk kita berdua, untuk memberimu ruang. Mungkin setelah ini, perasaan ini akan memudar."
Ada jeda yang panjang. Aroma kopi memenuhi udara, berpadu dengan ketegangan diantara kami. Aku merasa seperti ada benang tak kasat mata yang menarik kami berdua, dan benang itu semakin kuat, bukan memudar. "Bagaimana jika tidak memudar?" tanyaku, suaraku nyaris tak terdengar. Hendra tersenyum tipis, senyum sedih. "Aku tidak tahu, tania. Aku hanya berharap kamu menemukan kebahagiaan yang kamu cari. Entah itu dengan Satria, atau dengan... sesuatu yang lain."
Tiba-tiba, pengumuman penerbangan Hendra terdengar melalui pengeras suara. Waktunya sudah tiba. Dia berdiri dan aku ikut berdiri. "Aku harus pergi sekarang," katanya, pandangannya tidak lepas dariku. "Jaga dirimu baik-baik, Tania." Sebelum aku membalas, dia meraih tanganku. Genggaman tangannya kuat, seolah ingin menahan perasaan yang tak terucapkan. Lalu dalam gerakan yang sangat cepat, dia menarikku sedikit kearahnya dan mencium keningku. Ciuman itu singkat, namun terasa begitu intens, meninggalkan jejak kehangatan yang menjalar di seluruh tubuhku. "Sampai jumpa," bisiknya, lalu berbalik dan berjalan pergi menuju gerbang keberangkatan. Aku berdiri mematung ditengah cafe, keningku masih terasa hangat, hatiku bergemuruh. Aku melihat punggungnya menjauh, hingga akhirnya menghilang si balik kerumunan penumpang. Air mata yang selama ini kutahan akhirnya tumpah.
Aku kembali ke apartemen dalam keadaan linglung. Ciuman di kening itu, pengakuan Hendra dan perasaanku yang kacau balau, semuanya bercampur menjadi satu. Aku tahu ini adalah titik balik. Hendra memang pergi, tapi kepergiannya justru membuat perasaanku padanya semakin nyata, semakin sulit untuk diabaikan. Itu bukan lagi sekedar bayangan, melainkan sebuah kenyataan yang menyakitkan dan menggoda.
Malamnya, saat mas Satria pulang, dia memelukku erat. "Aku merindukanmu, Sayang," katanya, mencium kepalaku. Aku membalas pelukannya, merasakan kehangatan tubuhnya, namun pikiranku kembali pada ciuman di kening.
Aku tahu aku telah melangkah terlalu jauh. Batasan yang seharusnya tak boleh kulewati, kini terasa kabur Pertanyaan yang tak bisa aku jawab, semakin menghantuiku, apakah aku bisa hidup dengan penyesalan ini? Atau apakah aku akan menyerah pada godaan yang tak terbendung ini? aku tidak tahu, dan ketidakpastian itu membuatku semakin tersesat dalam kegelapan.
Bagaimana Pembaca yang baik hati, apakah Tania akan mencoba melupakan Hendra dan fokus pada pernikahannya, atau justru sebaliknya. Ikuti terus bab berikunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
niadatin tiasmami
Semakin bagus
2025-06-07
2