Aula sekolah, sore hari. Lomba pidato antar kelas berlangsung. Dira duduk di barisan peserta, wajahnya pucat. Namanya baru saja dipanggil.
------
Maya Nurhaliza
(berbisik dari samping):
Dir... kamu bisa. Lihat ke depan, bukan ke bawah.
dira kusumawardani
(pelan):
Tanganku dingin. Kaki lemas. Semua orang ngelihatin aku kayak aku alien.
Maya Nurhaliza
Enggak. Mereka lihat karena mereka penasaran. Dan kamu akan kasih mereka alasan buat kagum
-------
(Dira bangkit perlahan. Suasana aula senyap. Ia menaiki panggung, berdiri di balik mikrofon. Tangan bergetar. Pandangannya kabur… sampai matanya menangkap satu wajah di barisan penonton depan: Raka.)
-----&
Raka Permana
(tanpa suara, tapi jelas dari gerakan mulut):
Kamu bisa.
(Dira menarik napas panjang. Diam beberapa detik. Lalu—ia mulai.)
dira kusumawardani
(lantang, walau suara sedikit bergetar):
“Selamat sore.
Namaku Dira.
Aku… kecil.
Secara ukuran tubuh, aku kalah jauh dari banyak orang. Tapi hari ini, izinkan aku berdiri di tempat tertinggi—karena aku punya suara.
Suara yang mungkin kecil, tapi penuh makna.”
(Beberapa murid mulai terdiam. Bahkan guru-guru mulai memperhatikan dengan serius. Dira melanjutkan dengan lebih percaya diri.)
dira kusumawardani
“Selama ini aku dianggap remeh. Ditertawakan karena tubuhku mungil.
Tapi hari ini… aku tidak akan mengecilkan diri lagi, hanya demi membuat orang lain nyaman.”
(Raka menggenggam tangan di dadanya. Matanya penuh kebanggaan.)
dira kusumawardani
(menutup pidato):
“Jadi untuk semua yang pernah merasa kecil, tidak terlihat, dan tidak dianggap…
Kita tidak perlu jadi besar.
Kita hanya perlu berdiri—dan bicara.
Terima kasih.”
(Aula hening sejenak. Lalu, satu tepuk tangan terdengar—dari Raka. Disusul Maya. Lalu seluruh aula bergemuruh dalam tepuk tangan berdiri.)
Maya Nurhaliza
(berteriak):
Itu sahabatku!!!
Raka Permana
(tersenyum dan berbisik ke diri sendiri):
Akhirnya kamu tahu... kamu selalu besar di mataku.
Comments