BAB 4 — SWEAT AND SILENCE

Happy Reading
Hari-hari awal sebagai trainee tidak semanis impian yang pernah mereka lukis di kepala. Di dalam gedung VIVACE, waktu seolah tak berjalan sesuai jam. Satu hari terasa seperti seminggu. Keringat, tekanan, dan diam—itulah makanan sehari-hari. Pagi mereka dimulai pukul 6 dengan latihan fisik. Push-up, sit-up, lari di treadmill, dan plank. Tak ada make-up, tak ada senyum. Hanya napas terengah dan suara pelatih yang terus menghitung. Setelah sarapan kilat, mereka langsung masuk ruang vokal. Nada demi nada, teknik pernapasan, ekspresi wajah. Tidak cukup hanya bisa nyanyi—mereka harus menghidupkan lagu. Lalu koreografi. Jam-jam panjang di ruangan cermin besar, menghitung ketukan musik, mengulang gerakan yang salah. Lutut berdarah bukan alasan untuk berhenti.
Pelatih Tari
Pelatih Tari
“Kalau kalian ingin jadi idol hanya karena ingin terkenal, silakan keluar sekarang. Dunia ini bukan untuk yang manja.”
Sore menjelang malam, mereka diberikan waktu untuk latihan mandiri. Di saat trainee lain memilih pulang lebih awal, empat gadis ini tetap bertahan. Berkeringat, tertatih, tapi tidak menyerah. Malam pertama, mereka duduk di asrama baru mereka—kamar berempat sederhana dengan dua ranjang susun. Tubuh lelah, pikiran kacau. Namun, tidak satu pun dari mereka mengeluh. Hanya diam.
Grizellyn Rossa Aldebaran
Grizellyn Rossa Aldebaran
(berbaring di kasur) “Badanku sakit semua. Tapi anehnya... aku merasa hidup.”
Lynsandra Feligimali Grizellyn
Lynsandra Feligimali Grizellyn
(tertawa lemah) “Ini bukan liburan lagi, ya?”
Kayla Nathalia Azevoyyige
Kayla Nathalia Azevoyyige
“Bukan. Ini medan perang. Tapi kita masuk dengan sadar.”
Nayella Aileen Leiara
Nayella Aileen Leiara
“Dan kita akan keluar sebagai pemenang... atau tidak keluar sama sekali.”
Hari kedua, tekanan lebih tinggi. Mereka diminta membuat cover dance untuk dinilai oleh seluruh pelatih. Mereka hanya diberi dua hari persiapan. Tidak cukup waktu. Tidak ada waktu. Latihan dimulai. Lynsandra mengatur ekspresi dan dinamika vokal. Kayla mencoba menahan tremor di suara saat nada tinggi. Grizellyn fokus mengasah flow rap yang belum sempurna. Nayella terus menari meski kakinya memar. Di tengah latihan, konflik pun muncul.
Grizellyn Rossa Aldebaran
Grizellyn Rossa Aldebaran
“Lyn, kamu masuk terlalu cepat di bagian verse kedua!”
Lynsandra Feligimali Grizellyn
Lynsandra Feligimali Grizellyn
“Aku ikuti hitungan beat dari awal. Mungkin kamu yang lambat?”
Kayla Nathalia Azevoyyige
Kayla Nathalia Azevoyyige
“Ayo, kita enggak punya waktu buat saling menyalahkan.”
Nayella Aileen Leiara
Nayella Aileen Leiara
“Aku ulang koreografi kalian. Dari gerakan tangan ke samping, kita belum sinkron.”
Grizellyn Rossa Aldebaran
Grizellyn Rossa Aldebaran
(berdiri, kesal) “Kita semua lelah! Tapi kalau satu aja nggak fokus, semuanya runtuh!”
Suasana memanas. Ketegangan menggantung di udara. Mata mereka lelah, emosi naik. Tapi sebelum semuanya meledak, Kayla menarik napas panjang.
Kayla Nathalia Azevoyyige
Kayla Nathalia Azevoyyige
“Kita bukan robot. Tapi kita juga bukan musuh. Kita datang sebagai sahabat. Jangan biarkan mimpi yang indah berubah jadi mimpi buruk hanya karena ego kita sendiri.”
Sunyi. Lalu perlahan, kepala mereka menunduk. Tak perlu kata maaf, cukup tatapan pengertian. Malam sebelum penilaian. Asrama kembali tenang. Mereka duduk membentuk lingkaran kecil di lantai dengan mie cup dan botol teh.
Lynsandra Feligimali Grizellyn
Lynsandra Feligimali Grizellyn
“Aku minta maaf soal tadi siang. Aku... cuma takut.”
Grizellyn Rossa Aldebaran
Grizellyn Rossa Aldebaran
“Kita semua takut. Tapi kita juga saling punya.”
Nayella Aileen Leiara
Nayella Aileen Leiara
“Besok kita mungkin dinilai buruk. Mungkin juga diabaikan. Tapi asal kita tetap satu, aku percaya kita akan bersinar.”
Kayla Nathalia Azevoyyige
Kayla Nathalia Azevoyyige
“Karena kita bukan cuma tim. Kita keluarga.”
Esok paginya, mereka berdiri di depan cermin. Wajah mereka polos tanpa riasan, tapi sorot mata mereka memantulkan tekad. Mereka mulai menari. Musik menghentak, tubuh bergerak, suara berpadu. Ada sedikit kesalahan, sedikit ketegangan, tapi aura yang mereka keluarkan—itu tak bisa dibeli atau dipelajari. Itu murni. Itu PHOENIX. Usai tampil, semua pelatih diam. Han Jiwoon melangkah maju.
Han Jiwoon (CEO)
Han Jiwoon (CEO)
“Aku tidak melihat empat trainee... Aku melihat sebuah grup.”
Empat gadis itu saling menatap. Untuk pertama kalinya sejak datang ke Korea, mereka menangis—bukan karena lelah, bukan karena sakit. Tapi karena harapan. To be continued...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!