Laras masih berada di restoran dengan kegiatan arisannya, melirik jam di tangannya menunjukkan pukul dua lebih. Dia berpamitan kepada teman-temannya untuk segera pulang, pasti cucunya juga sudah di rumah.
Di tengah jalan dirinya melihat Fara sedang menenteng beberapa paper bag, yang baru saja keluar dari salah satu toko.
Tidak ingin berbasa-basi untuk menyapa, Laras melenggang pergi menuju mobilnya.
Sesampainya di rumah.
"Moly, dimana Aiden?"
"Aden sedang tidur, Nyonya," jawab Moly yang tergopoh mendekat ke arah Laras.
Laras mengangguk, hendak menuju kamar cucunya di lantai dua, namun baru undakan pertama Moly menghentikannya.
"Aden tidak tidur di kamarnya, Nyonya."
Laras berbalik, keningnya mengerut dalam. "Lalu?"
"Di sana, Nyonya." tunjuk Moly dengan jempolnya ke arah karpet tebal di depan TV.
Laras terkesiap. "Kenapa dia bisa tidur di sana Moly?" tuntutnya menghampiri.
"Maaf, Nyonya. Tadi aden diantar Nona Stella, aden mengantuk, ingin ditemani Nona Stella, tapi Nona stella menolak untuk tidur di kamar aden, lalu Nona Stella mengajak aden tidur di sana nyonya," jelas Moly menunduk hormat, mengikuti langkah Laras.
Langkah kaki Laras terhenti. "Stella?" gumamnya, sepertinya dia pernah mendengar nama itu.
"Dimana dia sekarang?" tanya Laras menoleh sekilas.
"Sudah pulang satu jam yang lalu, Nyonya."
Laras mengangguk. "Kamu bilang Aiden diantar Stella? Dimana Sandy?" cecarnya menuntut.
"Tuan Sandy belum pulang, Nyonya. Nona Stella tadi bilang, kalau aden sudah lama menunggu di sekolah, tapi belum ada jemputan, jadi Nona Stella mengantar aden pulang," terang Moly menunduk hormat.
Laras mengangguk-angguk. "Baiklah, terimakasih, Moly."
"Iya, Nyonya. Permisi."
***
Malamnya, keluarga Van Houten sedang menikmati makan malam. Di meja panjang tersebut terdapat Vero -Ayah dari Sandy- yang duduk di ujung. Sandy duduk di sebelah kanan dan Laras di sebelah kiri, serta Aiden yang duduk di samping Laras.
Suasana hening, hanya terdengar suara dentingan sendok dan garpu bertemu piring yang memenuhi ruangan, sampai ucapan dari Aiden memecah keheningan.
"Moly," panggil Aiden.
"Iya, den," Moly tergopoh menghampiri Aiden.
"Makanan buatan Bunda tadi siang masih ada?" tanya Aiden, dan seketika suara dentingan berhenti mendengar ucapan pria kecil itu.
Sandy tercengang. 'Bunda? Siapa Bunda?' bathinnya bertanya-tanya.
Tak beda jauh dengan Vero yang nampak terkesiap saat cucunya menyebut nama asing, sedangkan Laras yang sudah pernah mendengar tentang Bunda Stella, terkejut karena wanita itu bahkan membuatkan makanan untuk cucunya.
"Masih, Aden. Mau Bibi panaskan?"
Aiden mengangguk antusias.
"Aiden, siapa yang kamu maksud Bunda?" tanya Sandy penasaran.
"Bunda Stella, yang tadi pagi jemput Aiden sekolah," jawab Aiden dengan polosnya.
Jedarrr...!!
Sandy terkejut bukan main, bukankah tadi pagi dia menyuruh Fara untuk menjemput Aiden, tapi kenapa jadi Stella Stella ini yang mengantar Aiden.
"Siapa Bunda Stella, Aiden?" tanya Vero lagi.
"Dia Bunda Aiden, Opa. Bunda baik sama Aiden, mau nemenin Aiden di sekolah, terus juga mau masakin buat Aiden, bantu Aiden ngerjain pr, terus nyanyiin Aiden sebelum tidur," celoteh Aiden dengan mata berbinar memuji kebaikan Bunda Stella-nya.
"Aiden, sudah Daddy katakan, jangan sembarang dekat dengan orang lain, apalagi mengajaknya ke rumah, kamu ingat itu!" sahut Sandy memperingati, menatap sang anak dengan tatapan dingin.
Seketika raut wajah Aiden berubah muram. "Maaf, Dad," lirihnya menunduk.
"Ini, Tuan Muda," Moly datang meletakkan mangkok makanan dengan berbagai macam sayuran di dalamnya.
Mata Aiden kembali berbinar melihat masakan Bunda Stella-nya.
"Oma ambilkan ya?" tawar Laras di angguki Aiden.
Aiden memakan makanannya dengan lahap, sesekali tersenyum membayangkan wajah Bunda Stella ketika menyuapinya tadi siang. Hal itu tak luput dari tatapan ketiga orang dewasa di meja makan.
"Oma boleh minta?" goda Laras mengulum senyum, melihat bagaimana Aiden berbinar menikmati makanannya.
"Bowyeh, Ohma" jawab Aiden dengan mulut penuh.
Laras mengambil sedikit dan mencicipinya. "Enak," pujinya mengangguk-angguk.
"Masakan Bunda Stella emang enak, Oma," kata Aiden tersenyum lebar, memperlihatkan gigi-giginya.
***
Setelah menidurkan Aiden di kamarnya, Laras menghampiri suaminya yang duduk di sofa ruang tengah.
"Sandy, Mama mau bicara!"
Sandy yang hampir menaiki tangga berbalik dan duduk di seberang orangtuanya yang terhalang meja.
"Ada apa, Ma?"
"Tadi siang Pak Udin bilang sama Mama, Bu Dewi sudah mengabari kalau sekolah pulang pagi, tapi kenapa kamu tidak menjemput Aiden?" tanyanya menuntut.
"Dari mana Udin tahu, Ma?"
"Kamu pikir saja sendiri!" sungut Laras ketus, membuat Sandy bungkam.
"Kalau kamu tidak bisa jemput Aiden, seharusnya kamu bilang sama Mama, biar Mama yang jemput Aiden," dengusnya kesal. "Jangan mengandalkan seseorang yang tidak pasti!" sambungnya penuh sindiran, dia teringat Fara yang dia temui di mall.
"Siapa yang kamu maksud, sayang?" tanya Vero.
"Siapa lagi kalau bukan Fara," sungutnya kesal melirik ke arah Sandy.
Sandy terdiam menatap Laras.
"Tadi Mama ketemu dia sedang shopping di mall, dan Papa tahu? Fara yang nelpon Pak Udin buat jemput Aiden, karena dia bilang lagi sibuk pemotretan."
Laras melipat tangannya. "Bahkan nelponnya juga telat, Pak Udin sampai di sekolah, Aiden sudah pulang dengan Stella. Bu Dewi bilang, sekolah sudah selesai satu jam yang lalu." Beralih menatap Sandy. "Bisa kamu bayangkan? Berapa lama Aiden menunggu, Sandy," tekannya.
"Maafkan Sandy, Ma," sesalnya.
"Maaf, maaf, kamu itu harus mikirin anak kamu juga, Sandy. Sepertinya Fara bukan orang yang tepat untuk menjadi ibu sambung Aiden," hardik Laras sinis, kesal dengan ulah Sandy juga Fara.
"Sandy bakal ngomong sama Fara, Ma. Mungkin Fara butuh adaptasi," bela Sandy.
"Terus saja bela dia!" sungut Laras keras.
"Sudah-sudah," Vero menengahi. "Sandy, apa yang Mama kamu bilang ada benarnya. Ingat, tujuanmu bukan hanya mencari istri, tapi mencari ibu untuk Aiden," sambungnya menatap Sandy, membenarkan kalimat istrinya.
Vero menghela nafas. "Papa tahu, mungkin Fara butuh latihan, butuh adaptasi, butuh proses. Tapi kalau dirinya menolak untuk beradaptasi, bagaimana dia bisa dekat dengan Aiden? Satu-satunya kunci adalah Aiden, kalau Aiden bahagia, Papa akan restui kalian, kalau Aiden terlantar, biarkan Aiden di sini."
"Aiden anakku, Pa," sela Sandy tak terima.
"Papa tahu Aiden itu anakmu, tapi kalau kamu tidak becus mengurusnya biarkan Mama sama Papa yang mengurusnya," balas Vero tak mau kalah, dia juga tidak ingin cucunya tak diperhatikan.
"Mama juga masih sanggup mengurus Aiden," ujar Laras menambahi.
Sandy memijit keningnya yang berdenyut, dia beranjak dari posisinya hendak ke kamar Aiden.
"Sandy ke kamar Aiden dulu," pamitnya kemudian.
Sandy menatap wajah putra tunggalnya, Aiden benar-benar fotocopy dari dirinya, hanya bola matanya yang mirip dengan mendiang istrinya.
Sandy mengelus kepala Aiden, mengecup keningnya.
"Maafkan, Daddy," sesalnya lirih.
~••~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Rohani Omar
kenapa loading ya lama sangat ya
2024-09-01
1
Yuli Yuli
smpe kpn beradaptasinya klo dia aja g mau nemenin anak kmu sandy
2024-02-29
0
Patrish
Sandy.. Sandy... masih mau bilang adaptasi lagi??? itu mah sudah ga bisa diatur...
2024-02-13
1