BAGIAN 5

Jauh dari tempat Jasmine berada sekarang, Adimas dengan langkah terburu-buru berlari cepat masuk ke sebuah restoran berlantai dua tersebut. Matanya menelusuri setiap sudut, memastikan posisi seseorang. Ternyata yang dicarinya tidak ada di lantai satu.

Tanpa pikir panjang, ia bergegas menuju tangga. Anak-anak tangga dilaluinya cepat, seakan napasnya tertinggal beberapa langkah di belakang. Hingga tiba di lantai atas, pandangannya langsung mencari di antara deretan sofa yang menghadap ke jendela besar.

Saat itulah matanya menangkap sosok perempuan berambut panjang sedang sendiri. Adimas berusaha mengatur napasnya agar tidak terlihat kelelahan. Ia ke sini untuk menenangkan perempuan tersebut.

Dengan langkah tegapnya ia pun segera mendekati perempuan itu. Ketika sudah dekat, saat itulah Adimas bisa melihat jelas bahu perempuan itu sedang bergetar. Perempuan itu menangis dan wajahnya ia tutupi dengan telapak tangannya.

Sebelum benar-benar memanggil perempuan itu, Adimas menghela napasnya. "Rindu,"

Rindu menoleh. Matanya sembab. Tanpa berkata sepatah pun, ia berdiri dan langsung memeluk Adimas erat. Tangisnya langsung pecah saat ia berada dalam pelukan Adimas.

Adimas memeluknya dengan tenang. Tangannya mengusap pelan punggung Rindu. Ia tidak berkata apa-apa. Ia tahu, Rindu hanya butuh tempat untuk bersandar. Ia tidak akan memaksa gadis itu untuk bicara sebelum ia siap.

Beberapa menit berlalu sebelum isak tangis itu mulai mereda.

“Maaf... aku nggak tahu harus ke mana lagi,” ucap Rindu lirih sambil melepaskan pelukan.

"Tak perlu minta maaf," balas Adimas tenang. "Kamu bisa menghubungiku kapan pun kamu mau. Aku akan selalu ada untukmu."

Mereka lalu duduk bersebelahan di sofa tersebut. Cahaya sore memantul di wajah Rindu yang kini tampak lelah. Setelah mengatur napas, Rindu mulai bicara.

“Orangtuaku... mereka nggak pernah benar-benar menerima pilihan hidupku. Kegagalanku menjadi dokter seperti aib untuk mereka. Kepala ku rasanya ingin pecah karena mereka terus membahas itu,” katanya, mencoba tertawa kecil yang malah terdengar pahit.

Matanya menatap Adimas dengan lelah. "Padahal kamu tahu sendiri, Kak, semenjak lulus SMA dan mengambil jalan berbeda, aku tidak lagi menumpang hidup pada mereka. Aku bangun bisnisku sendiri. Aku lawan keterpurukanku dan semua orang bilangnya aku sukses jadi selebgram dan punya brand skincare sendiri. Namun itu nggak cukup untuk mereka." Rindu memang sudah lebih tenang, namun sesak di dadanya semakin terasa.

Adimas mendengarkan tanpa menyela. Matanya tak lepas dari wajah Rindu.

“Mereka bilang, aku bikin malu keluarga. Setiap kali pulang, aku nggak dianggap. Aku capek, Kak."

Adimas menarik napas panjang, menahan emosi yang mulai merayap dalam dadanya. Ia menggenggam tangan Rindu di atas meja. “Meskipun mereka bilang kamu adalah aib, bagi ku dan sampai kapan pun itu, kamu adalah orang hebat. Kamu bisa bertahan sejauh ini, di atas kakimu sendiri, itu sudah membuktikan kalau kamu hebat."

Rindu menggigit bibirnya, menahan tangis baru yang siap pecah. Ia kemudian bersandar di bahu Adimas. Napasnya sudah mulai teratur, meskipun matanya masih sembab. Adimas tidak berkata apa pun, membiarkan keheningan berbicara.

“Hidup kayak gini tuh bikin capek ya, Kak.…” bisik Rindu lirih.

Adimas menoleh pelan, menatap wajah yang selalu ingin ia lindungi. “Kamu kuat, Rin."

Rindu tertawa hambar. “Apa salahku ya, Kak? Aku tidak menginginkan kecelakaan itu terjadi. Bukan salah ku jika tangan ini harus cacat. Bukan salahku, kan, kalau tangan ini akhirnya selalu tremor parah saat memegang sesuatu. Mana bisa tangan cacat ini pegang alat bedah? Memegang jarum suntik aja kayaknya bakalan nggak bisa."

Inilah yang membuat Adimas sangat membenci Jasmine. Karena perempuan itu, Rindu harus terpuruk bertahun-tahun lamanya. Karena perempuan itu, Rindu harus menanggung beban yang tidak seharusnya ia tanggung.

“Hei, ini semua bukan kesalahan kamu. Tidak seharusnya kamu seterpuruk ini sekarang. Kamu bisa jadi yang terbaik dengan versi kamu sendiri” ujar Adimas tenang. Ia lalu menatap Rindu dengan tatapan yang dalam. "Dan kamu harus tahu, aku akan selalu ada untuk kamu."

Rindu tertawa kecil di tengah matanya yang masih basah. “Kamu sudah punya istri, Kak. Kita nggak akan bisa kayak gini terus. Bisa-bisa Jasmine nanti ngamuk jilid dua."

Hati Adimas melengos seketika. Ia sendiri tahu kini statusnya sebagai seorang suami. Ia bukan lagi lelaki single. Namun pernikahan ini bukanlah pernikahan yang ia inginkan.

Pengantin idamannya bukanlah Jasmine. Namun perempuan di sampingnya ini, Rindu. Perempuan itu masih memegang tahta tertinggi di hatinya.

Sejenak, hanya suara musik lembut dan denting sendok dari meja lain yang terdengar. Tangan keduanya masih saling bertautan.

“Dengan statusmu itu, aku bisa dikira orang ketiga, Kak," gumam Rindu lirih, ia juga melepaskan tangannya dari genggaman Adimas.

Adimas menatap Rindu, terdiam. Ingin berkata bahwa Jasmine bukan siapa-siapa. Tapi hatinya tahu, ia tak bisa menyangkal sepenuhnya keberadaan perempuan itu di hidupnya sekarang.

Waktu terus bergulir tanpa bisa dicegah. Langit sudah gelap ketika Adimas dan Rindu keluar dari restoran. Angin malam berembus pelan, membuat helaian rambut Rindu sedikit berantakan. Adimas membukakan pintu mobil untuknya, dan Rindu masuk tanpa banyak bicara, namun senyumnya sangat menenangkan Adimas.

Perjalanan mereka malam itu begitu hening. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Di balik kemudi, Adimas sesekali melirik Rindu yang memandangi jalanan. Ia terlihat lebih tenang, tapi ada sisa luka yang belum sempat sembuh sepenuhnya di matanya.

“Kamu yakin mau pulang ke rumah itu?” tanya Adimas tiba-tiba, memecah keheningan.

Rindu menoleh pelan, lalu terkekeh. “Sebenarnya enggak. Tapi aku nggak punya pilihan lain. Kamu tahu sendiri hidup tanpa dukungan orang tua itu lumayan susah."

“Kalau kamu mau... kamu bisa tinggal di tempat lain. Apartemen ku masih kosong. Kamu bisa tinggal di sana,” ujar Adimas sambil tetap fokus ke jalan.

Rindu tersenyum tipis. “Nggak. Aku nggak mau menambah beban jika nanti Jasmine tahu. Apalagi jika keluargamu tahu. Apa yang akan aku jawab?"

Adimas terdiam. Pertanyaan itu tepat menghantam dadanya. Ia menekan rem pelan saat lampu merah menyala.

“Aku hanya ingin kamu bahagia, Rindu,” ucap Adimas akhirnya, lirih. “Kamu bisa hidup sendiri tanpa keluargamu itu. Dan aku akan selalu mendukung kamu. Kamu tidak benar-benar sendiri, Rin."

Rindu menunduk lalu tertawa pelan. "Lucu ya, Kak. Kita saling menghibur dengan kasus yang sama. Keluarga kita sama berantakannya."

"Mungkin itu yang membuat kita cocok." Adimas berkata jujur dibalas dengan tawa sinis Rindu.

Rindu benar, ia dan Rindu sama saja. Tumbuh dalam keluarga yang tidak benar-benar menginginkan mereka. Berusaha terlihat baik-baik saja padahal babak belur dihantam orang terdekat. Terpinggirkan oleh keluarga mereka sendiri dan kehadirannya dianggap aib.

Lampu hijau menyala. Mobil kembali melaju. Namun suasana dalam mobil tetap membeku oleh perasaan yang menggantung.

Setibanya di depan rumah keluarga Rindu, Adimas turun lebih dulu, membukakan pintu mobil seperti biasa. Rindu turun, menatap wajah Adimas dalam-dalam.

“Terima kasih sudah menemaniku hari ini,” ucapnya.

Adimas hanya mengangguk. “Jangan lupa jaga dirimu, ya.”

Rindu melangkah masuk. Adimas menatap punggungnya yang menghilang di balik pagar.

Saat mobilnya mulai menjauh dari rumah Rindu, telepon Adimas berdering. Nama "Eyang Putri" muncul di layar. Ia buru-buru menekan tombol jawab dan menempelkan ponsel ke telinga.

“Iya, Eyang?”

“Adimas, kalian di mana? Kok jam segini belum pulang?” suara tua itu terdengar khawatir, namun tetap lembut.

Adimas menelan ludah. Ia memejamkan mata sejenak. “Maaf, Eyang. Dimas masih di jalan pulang. Tadi ada pekerjaan."

“Kamu nggak bareng Jasmine? Kalian tidak bertengkar, kan?” nada suara Eyang sedikit berubah, ada nada tidak suka di sana.

Adimas memijit pelipisnya. Ia salah menjawab. “Tidak, Eyang,” jawab Adimas buru-buru. “Tadi Dimas hanya ke kantor dan Jasmine di kafe. Ini baru mau di jemput."

Eyang menghela napas. “Dia adalah tanggung jawabmu, Dimas. Sekarang kamu adalah seorang suami. Ya udah segera pulang.”

“Iya, Eyang. Maaf,” jawabnya pelan. “Kami akan segera pulang."

Begitu telepon berakhir, Adimas menatap ponselnya. Dahinya berkerut. Ia juga baru menyadari sesuatu sekarang.

“Bodoh,” gumamnya. “Gue bahkan enggak punya nomor teleponnya.”

Sambil menggerutu dalam hati, ia memutar mobil dan melaju menuju kafe milik Jasmine. Beberapa menit kemudian, ia tiba dan segera turun. Tapi suasana kafe tampak ramai. Ia berharap Jasmine di sana. Setidaknya ia tidak perlu capek-capek mencari perempuan itu.

Adimas segera masuk ke area kafe. Matanya melihat sekeliling. Berharap ada seseorang yang bisa ia tanyakan tentang keberadaan Jasmine.

Hingga seseorang kemudian menyapanya sopan. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?"

Adimas menoleh. Ia kemudian mengangguk. "Saya-"

"Loh, Bapak kan suaminya Kak Shaf. Bener, kan, ya?" Tiba-tiba seorang gadis muda datang, memotong perkataannya dengan tidak sopan. Ah, gadis ini sama tidak sopannya dengan Jasmine.

"Shaf?" tanya Adimas bingung. Ia tidak mengenal seseorang bernama aneh itu.

"Nama itu juga kita yang tahu, Lila. Si Bapak Bos mana tahu." Kali ini si remaja lelaki itu bersuara. Lalu matanya kembali menatap Adimas. "Maksudnya, Kak Jasmine, Pak. Bapak bener suami beliau, kan?"

Adimas mengangguk kaku. Dua remaja di depannya ini memperlambat waktunya. "Jasmine ada di sini, kan?" tanya Adimas cepat.

Dua remaja itu saling tatap. Kemudian si lelaki itu menjawab. "Tidak, Pak. Sedari abis Ashar tadi Kak Jasmine pergi. Nggak balik lagi sampai sekarang."

"Kalian tahu dia kemana?" tanya Adimas berharap cemas. Selain orang-orang di kafe ini, ia mana tahu orang-orang terdekat Jasmine. Itu akan menyulitkannya mencari perempuan itu.

“Saya kurang tahu, Pak. Beliau enggak bilang," jawab si remaja lelaki dengan sopan.

Si remaja perempuan juga mengangguk. "Saya juga. Kak Shaf itu kan sibuk. Tapi, Bapak kan bisa telepon beliau langsung. Walaupun sibuk, Kak Shaf itu tidak pernah mengabaikan pesan atau panggilan masuk," ujarnya memberi saran.

Adimas terdiam. Bagaimana bisa ia menjelaskan bahwa ia tidak memiliki kontak perempuan itu. Ah tidak, gengsi untuknya membeberkan itu di depan dua remaja ini.

Adimas akhirnya mengangguk lemah. “Baik, terima kasih.”

Pintu ditutup kembali. Adimas berdiri di depan kafe itu cukup lama, memandang kosong ke jalan. Malam semakin larut, dan pikirannya makin kacau. Ia bukan mengkhawatirkan Jasmine, ia sendiri tidak peduli dengan keadaan perempuan itu.

Adimas hanya memperdulikan dirinya sendiri. Keluarganya bisa marah besar jika mereka tahu, Adimas gagal membawa Jasmine pulang bersama.

Untuk pertama kalinya, ia sadar bahwa ia benar-benar tidak mengenal istrinya. Bahkan tak tahu harus mencarinya ke mana

Episodes
1 BAGIAN 1
2 BAGIAN 2
3 BAGIAN 3
4 BAGIAN 4
5 BAGIAN 5
6 BAGIAN 6
7 BAGIAN 7
8 BAGIAN 8
9 BAGIAN 9
10 BAGIAN 10
11 BAGIAN 11
12 BAGIAN 12
13 BAGIAN 13
14 BAGIAN 14
15 BAGIAN 15
16 BAGIAN 16
17 BAGIAN 17
18 BAGIAN 18
19 BAGIAN 19
20 BAGIAN 20
21 BAGIAN 21
22 BAGIAN 22
23 BAGIAN 23
24 BAGIAN 24
25 BAGIAN 25
26 BAGIAN 26
27 BAGIAN 27
28 BAGIAN 28
29 BAGIAN 29
30 BAGIAN 30
31 BAGIAN 31
32 BAGIAN 32
33 BAGIAN 33
34 BAGIAN 34
35 BAGIAN 35
36 BAGIAN 36
37 BAGIAN 37
38 BAGIAN 38
39 BAGIAN 39
40 BAGIAN 40
41 BAGIAN 41
42 BAGIAN 42
43 BAGIAN 43
44 BAGIAN 44
45 BAGIAN 45
46 BAGIAN 46
47 BAGIAN 47
48 BAGIAN 48
49 BAGIAN 49
50 BAGIAN 50
51 BAGIAN 51
52 BAGIAN 52
53 BAGIAN 53
54 BAGIAN 54
55 BAGIAN 55
56 BAGIAN 56
57 BAGIAN 57
58 BAGIAN 58
59 BAGIAN 59
60 BAGIAN 60
61 BAGIAN 61
62 BAGIAN 62
63 BAGIAN 63
64 BAGIAN 64
65 BAGIAN 65
66 BAGIAN 66
67 BAGIAN 67
68 BAGIAN 68
69 BAGIAN 69
70 BAGIAN 70
71 BAGIAN 71
72 BAGIAN 72
73 BAGIAN 73
74 BAGIAN 74
75 BAGIAN 75
76 BAGIAN 76
77 BAGIAN 77
78 BAGIAN 78
79 BAGIAN 79
80 BAGIAN 80
81 BAGIAN 81
82 BAGIAN 82
83 BAGIAN 83
84 BAGIAN 84
85 BAGIAN 85
86 BAGIAN 86
87 BAGIAN 87
88 BAGIAN 88
89 BAGIAN 89
90 BAGIAN 90
91 BAGIAN 91
92 BAGIAN 92
93 BAGIAN 93
94 BAGIAN 94
95 BAGIAN 95
96 BAGIAN 96
97 BAGIAN 97
98 BAGIAN 98
99 BAGIAN 99
100 BAGIAN 100
101 BAGIAN 101
102 BAGIAN 102
Episodes

Updated 102 Episodes

1
BAGIAN 1
2
BAGIAN 2
3
BAGIAN 3
4
BAGIAN 4
5
BAGIAN 5
6
BAGIAN 6
7
BAGIAN 7
8
BAGIAN 8
9
BAGIAN 9
10
BAGIAN 10
11
BAGIAN 11
12
BAGIAN 12
13
BAGIAN 13
14
BAGIAN 14
15
BAGIAN 15
16
BAGIAN 16
17
BAGIAN 17
18
BAGIAN 18
19
BAGIAN 19
20
BAGIAN 20
21
BAGIAN 21
22
BAGIAN 22
23
BAGIAN 23
24
BAGIAN 24
25
BAGIAN 25
26
BAGIAN 26
27
BAGIAN 27
28
BAGIAN 28
29
BAGIAN 29
30
BAGIAN 30
31
BAGIAN 31
32
BAGIAN 32
33
BAGIAN 33
34
BAGIAN 34
35
BAGIAN 35
36
BAGIAN 36
37
BAGIAN 37
38
BAGIAN 38
39
BAGIAN 39
40
BAGIAN 40
41
BAGIAN 41
42
BAGIAN 42
43
BAGIAN 43
44
BAGIAN 44
45
BAGIAN 45
46
BAGIAN 46
47
BAGIAN 47
48
BAGIAN 48
49
BAGIAN 49
50
BAGIAN 50
51
BAGIAN 51
52
BAGIAN 52
53
BAGIAN 53
54
BAGIAN 54
55
BAGIAN 55
56
BAGIAN 56
57
BAGIAN 57
58
BAGIAN 58
59
BAGIAN 59
60
BAGIAN 60
61
BAGIAN 61
62
BAGIAN 62
63
BAGIAN 63
64
BAGIAN 64
65
BAGIAN 65
66
BAGIAN 66
67
BAGIAN 67
68
BAGIAN 68
69
BAGIAN 69
70
BAGIAN 70
71
BAGIAN 71
72
BAGIAN 72
73
BAGIAN 73
74
BAGIAN 74
75
BAGIAN 75
76
BAGIAN 76
77
BAGIAN 77
78
BAGIAN 78
79
BAGIAN 79
80
BAGIAN 80
81
BAGIAN 81
82
BAGIAN 82
83
BAGIAN 83
84
BAGIAN 84
85
BAGIAN 85
86
BAGIAN 86
87
BAGIAN 87
88
BAGIAN 88
89
BAGIAN 89
90
BAGIAN 90
91
BAGIAN 91
92
BAGIAN 92
93
BAGIAN 93
94
BAGIAN 94
95
BAGIAN 95
96
BAGIAN 96
97
BAGIAN 97
98
BAGIAN 98
99
BAGIAN 99
100
BAGIAN 100
101
BAGIAN 101
102
BAGIAN 102

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!