Jauh dari tempat Jasmine berada sekarang, Adimas dengan langkah terburu-buru berlari cepat masuk ke sebuah restoran berlantai dua tersebut. Matanya menelusuri setiap sudut, memastikan posisi seseorang. Ternyata yang dicarinya tidak ada di lantai satu.
Tanpa pikir panjang, ia bergegas menuju tangga. Anak-anak tangga dilaluinya cepat, seakan napasnya tertinggal beberapa langkah di belakang. Hingga tiba di lantai atas, pandangannya langsung mencari di antara deretan sofa yang menghadap ke jendela besar.
Saat itulah matanya menangkap sosok perempuan berambut panjang sedang sendiri. Adimas berusaha mengatur napasnya agar tidak terlihat kelelahan. Ia ke sini untuk menenangkan perempuan tersebut.
Dengan langkah tegapnya ia pun segera mendekati perempuan itu. Ketika sudah dekat, saat itulah Adimas bisa melihat jelas bahu perempuan itu sedang bergetar. Perempuan itu menangis dan wajahnya ia tutupi dengan telapak tangannya.
Sebelum benar-benar memanggil perempuan itu, Adimas menghela napasnya. "Rindu,"
Rindu menoleh. Matanya sembab. Tanpa berkata sepatah pun, ia berdiri dan langsung memeluk Adimas erat. Tangisnya langsung pecah saat ia berada dalam pelukan Adimas.
Adimas memeluknya dengan tenang. Tangannya mengusap pelan punggung Rindu. Ia tidak berkata apa-apa. Ia tahu, Rindu hanya butuh tempat untuk bersandar. Ia tidak akan memaksa gadis itu untuk bicara sebelum ia siap.
Beberapa menit berlalu sebelum isak tangis itu mulai mereda.
“Maaf... aku nggak tahu harus ke mana lagi,” ucap Rindu lirih sambil melepaskan pelukan.
"Tak perlu minta maaf," balas Adimas tenang. "Kamu bisa menghubungiku kapan pun kamu mau. Aku akan selalu ada untukmu."
Mereka lalu duduk bersebelahan di sofa tersebut. Cahaya sore memantul di wajah Rindu yang kini tampak lelah. Setelah mengatur napas, Rindu mulai bicara.
“Orangtuaku... mereka nggak pernah benar-benar menerima pilihan hidupku. Kegagalanku menjadi dokter seperti aib untuk mereka. Kepala ku rasanya ingin pecah karena mereka terus membahas itu,” katanya, mencoba tertawa kecil yang malah terdengar pahit.
Matanya menatap Adimas dengan lelah. "Padahal kamu tahu sendiri, Kak, semenjak lulus SMA dan mengambil jalan berbeda, aku tidak lagi menumpang hidup pada mereka. Aku bangun bisnisku sendiri. Aku lawan keterpurukanku dan semua orang bilangnya aku sukses jadi selebram dan punya brand skincare sendiri. Namun itu nggak cukup untuk mereka." Rindu memang sudah lebih tenang, namun sesak di dadanya semakin terasa.
Adimas mendengarkan tanpa menyela. Matanya tak lepas dari wajah Rindu.
“Mereka bilang, aku bikin malu keluarga. Setiap kali pulang, aku nggak dianggap. Aku capek, Kak."
Adimas menarik napas panjang, menahan emosi yang mulai merayap dalam dadanya. Ia menggenggam tangan Rindu di atas meja. “Meskipun mereka bilang kamu adalah aib, bagi ku dan sampai kapan pun itu, kamu adalah orang hebat. Kamu bisa bertahan sejauh ini, di atas kakimu sendiri, itu sudah membuktikan kalau kamu hebat."
Rindu menggigit bibirnya, menahan tangis baru yang siap pecah. Ia kemudian bersandar di bahu Adimas. Napasnya sudah mulai teratur, meskipun matanya masih sembab. Adimas tidak berkata apa pun, membiarkan keheningan berbicara.
“Hidup kayak gini tuh bikin capek ya, Kak.…” bisik Rindu lirih.
Adimas menoleh pelan, menatap wajah yang selalu ingin ia lindungi. “Kamu kuat, Rin."
Rindu tertawa hambar. “Apa salahku ya, Kak? Aku tidak menginginkan kecelakaan itu terjadi. Bukan salah ku jika tangan ini harus cacat. Bukan salahku, kan, kalau tangan ini akhirnya selalu tremor parah saat memegang sesuatu. Mana bisa tangan cacat ini pegang alat bedah? Memegang jarum suntik aja kayaknya bakalan nggak bisa."
Inilah yang membuat Adimas sangat membenci Jasmine. Karena perempuan itu, Rindu harus terpuruk bertahun-tahun lamanya. Karena perempuan itu, Rindu harus menanggung beban yang tidak seharusnya ia tanggung.
“Hei, ini semua bukan kesalahan kamu. Tidak seharusnya kamu seterpuruk ini sekarang. Kamu bisa jadi yang terbaik dengan versi kamu sendiri” ujar Adimas tenang. Ia lalu menatap Rindu dengan tatapan yang dalam. "Dan kamu harus tahu, aku akan selalu ada untuk kamu."
Rindu tertawa kecil di tengah matanya yang masih basah. “Kamu sudah punya istri, Kak. Kita nggak akan bisa kayak gini terus. Bisa-bisa Jasmine nanti ngamuk jilid dua."
Hati Adimas melengos seketika. Ia sendiri tahu kini statusnya sebagai seorang suami. Ia bukan lagi lelaki single. Namun pernikahan ini bukanlah pernikahan yang ia inginkan.
Pengantin idamannya bukanlah Jasmine. Namun perempuan di sampingnya ini, Rindu. Perempuan itu masih memegang tahta tertinggi di hatinya.
Sejenak, hanya suara musik lembut dan denting sendok dari meja lain yang terdengar. Tangan keduanya masih saling bertautan.
“Dengan statusmu itu, aku bisa dikira orang ketiga, Kak," gumam Rindu lirih, ia juga melepaskan tangannya dari genggaman Adimas.
Adimas menatap Rindu, terdiam. Ingin berkata bahwa Jasmine bukan siapa-siapa. Tapi hatinya tahu, ia tak bisa menyangkal sepenuhnya keberadaan perempuan itu di hidupnya sekarang.
Waktu terus bergulir tanpa bisa dicegah. Langit sudah gelap ketika Adimas dan Rindu keluar dari restoran. Angin malam berembus pelan, membuat helaian rambut Rindu sedikit berantakan. Adimas membukakan pintu mobil untuknya, dan Rindu masuk tanpa banyak bicara, namun senyumnya sangat menenangkan Adimas.
Perjalanan mereka malam itu begitu hening. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Di balik kemudi, Adimas sesekali melirik Rindu yang memandangi jalanan. Ia terlihat lebih tenang, tapi ada sisa luka yang belum sempat sembuh sepenuhnya di matanya.
“Kamu yakin mau pulang ke rumah itu?” tanya Adimas tiba-tiba, memecah keheningan.
Rindu menoleh pelan, lalu terkekeh. “Sebenarnya enggak. Tapi aku nggak punya pilihan lain. Kamu tahu sendiri hidup tanpa dukungan orang tua itu lumayan susah."
“Kalau kamu mau... kamu bisa tinggal di tempat lain. Apartemen ku masih kosong. Kamu bisa tinggal di sana,” ujar Adimas sambil tetap fokus ke jalan.
Rindu tersenyum tipis. “Nggak. Aku nggak mau menambah beban jika nanti Jasmine tahu. Apalagi jika keluargamu tahu. Apa yang akan aku jawab?"
Adimas terdiam. Pertanyaan itu tepat menghantam dadanya. Ia menekan rem pelan saat lampu merah menyala.
“Aku hanya ingin kamu bahagia, Rindu,” ucap Adimas akhirnya, lirih. “Kamu bisa hidup sendiri tanpa keluargamu itu. Dan aku akan selalu mendukung kamu. Kamu tidak benar-benar sendiri, Rin."
Rindu menunduk lalu tertawa pelan. "Lucu ya, Kak. Kita saling menghibur dengan kasus yang sama. Keluarga kita sama berantakannya."
"Mungkin itu yang membuat kita cocok." Adimas berkata jujur dibalas dengan tawa sinis Rindu.
Rindu benar, ia dan Rindu sama saja. Tumbuh dalam keluarga yang tidak benar-benar menginginkan mereka. Berusaha terlihat baik-baik saja padahal babak belur dihantam orang terdekat. Terpinggirkan oleh keluarga mereka sendiri dan kehadirannya dianggap aib.
Lampu hijau menyala. Mobil kembali melaju. Namun suasana dalam mobil tetap membeku oleh perasaan yang menggantung.
Setibanya di depan rumah keluarga Rindu, Adimas turun lebih dulu, membukakan pintu mobil seperti biasa. Rindu turun, menatap wajah Adimas dalam-dalam.
“Terima kasih sudah menemaniku hari ini,” ucapnya.
Adimas hanya mengangguk. “Jangan lupa jaga dirimu, ya.”
Rindu melangkah masuk. Adimas menatap punggungnya yang menghilang di balik pagar.
Saat mobilnya mulai menjauh dari rumah Rindu, telepon Adimas berdering. Nama "Eyang Putri" muncul di layar. Ia buru-buru menekan tombol jawab dan menempelkan ponsel ke telinga.
“Iya, Eyang?”
“Adimas, kalian di mana? Kok jam segini belum pulang?” suara tua itu terdengar khawatir, namun tetap lembut.
Adimas menelan ludah. Ia memejamkan mata sejenak. “Maaf, Eyang. Dimas masih di jalan pulang. Tadi ada pekerjaan."
“Kamu nggak bareng Jasmine? Kalian tidak bertengkar, kan?” nada suara Eyang sedikit berubah, ada nada tidak suka di sana.
Adimas memijit pelipisnya. Ia salah menjawab. “Tidak, Eyang,” jawab Adimas buru-buru. “Tadi Dimas hanya ke kantor dan Jasmine di kafe. Ini baru mau di jemput."
Eyang menghela napas. “Dia adalah tanggung jawabmu, Dimas. Sekarang kamu adalah seorang suami. Ya udah segera pulang.”
“Iya, Eyang. Maaf,” jawabnya pelan. “Kami akan segera pulang."
Begitu telepon berakhir, Adimas menatap ponselnya. Dahinya berkerut. Ia juga baru menyadari sesuatu sekarang.
“Bodoh,” gumamnya. “Gue nahkan enggak punya nomor teleponnya.”
Sambil menggerutu dalam hati, ia memutar mobil dan melaju menuju kafe milik Jasmine. Beberapa menit kemudian, ia tiba dan segera turun. Tapi suasana kafe tampak ramai. Ia berharap Jasmine di sana. Setidaknya ia tidak perlu capek-capek mencari perempuan itu.
Adimas segera masuk ke area kafe. Matanya melihat sekeliling. Berharap ada seseorang yang bisa ia tanyakan tentang keberadaan Jasmine.
Hingga seseorang kemudian menyapanya sopan. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
Adimas menoleh. Ia kemudian mengangguk. "Saya-"
"Loh, Bapak kan suaminya Kak Shaf. Bener, kan, ya?" Tiba-tiba seorang gadis muda datang, memotong perkataannya dengan tidak sopan. Ah, gadis ini sama tidak sopannya dengan Jasmine.
"Shaf?" tanya Adimas bingung. Ia tidak mengenal seseorang bernama aneh itu.
"Nama itu juga kita yang tahu, Lila. Si Bapak Bos mana tahu." Kali ini si remaja lelaki itu bersuara. Lalu matanya kembali menatap Adimas. "Maksudnya, Kak Jasmine, Pak. Bapak bener suami beliau, kan?"
Adimas mengangguk kaku. Dua remaja di depannya ini memperlambat waktunya. "Jasmine ada di sini, kan?" tanya Adimas cepat.
Dua remaja itu saling tatap. Kemudian si lelaki itu menjawab. "Tidak, Pak. Sedari abis Ashar tadi Kak Jasmine pergi. Nggak balik lagi sampai sekarang."
"Kalian tahu dia kemana?" tanya Adimas berharap cemas. Selain orang-orang di kafe ini, ia mana tahu orang-orang terdekat Jasmine. Itu akan menyulitkannya mencari perempuan itu.
“Saya kurang tahu, Pak. Beliau enggak bilang," jawab si remaja lelaki dengan sopan.
Si remaja perempuan juga mengangguk. "Saya juga. Kak Shaf itu kan sibuk. Tapi, Bapak kan bisa telepon beliau langsung. Walaupun sibuk, Kak Shaf itu tidak pernah mengabaikan pesan atau panggilan masuk," ujarnya memberi saran.
Adimas terdiam. Bagaimana bisa ia menjelaskan bahwa ia tidak memiliki kontak perempuan itu. Ah tidak, gengsi untuknya membeberkan itu di depan dua remaja ini.
Adimas akhirnya mengangguk lemah. “Baik, terima kasih.”
Pintu ditutup kembali. Adimas berdiri di depan kafe itu cukup lama, memandang kosong ke jalan. Malam semakin larut, dan pikirannya makin kacau. Ia bukan mengkhawatirkan Jasmine, ia sendiri tidak peduli dengan keadaan perempuan itu.
Adimas hanya memperdulikan dirinya sendiri. Keluarganya bisa marah besar jika mereka tahu, Adimas gagal membawa Jasmine pulang bersama.
Untuk pertama kalinya, ia sadar bahwa ia benar-benar tidak mengenal istrinya. Bahkan tak tahu harus mencarinya ke mana
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments