Gelap. Sunyi. Lalu—tertawa. Suara anak-anak. Cemoohan yang tajam seperti pecahan kaca.
"Anak haram!"
"Ngapain kamu di sini? Nggak ada yang mau main sama kamu!"
"Kehadiranmu itu tidak diharapkan!"
"Kamu dan ibumu hanyalah beban di sini. Pergi sana!"
"Kamu tidak pantas berada di sini!"
"Mama...!
"Mama.... Adi ikut....!!!"
Dan ketika ia menangis sekeras-kerasnya, sebuah suara dengan lembut memanggil namanya...
"Mas, bangun dulu, yuk!"
"Mas!"
"Mas!"
"Mamaa....!"
Mata Adimas terbuka. Napasnya tersengal, tubuhnya basah oleh keringat. Kamar hotel itu begitu temaram, hanya diterangi cahaya lampu tidur kecil di samping ranjang. Ia masih terbaring di sofa. Dadanya terasa sesak.
Deru napas Adimas masih belum beraturan. Matanya langsung terbuka dan jantungnya masih berdegup kencang. Mimpi sialan itu lagi-lagi mengganggu ketenangannya.
"Minum dulu, Mas," suara lembut itu membuat Adimas tersentak. Entah sejak kapan Jasmine berada di dekatnya. "Ini," Jasmine memberikan segelas air untuk Adimas yang baru terbangun dari mimpi buruknya.
Melihat wajah yang kini memandangnya dengan kasihan membuat Adimas kesal. Adimas nyaris menepis tawaran itu. Mana bisa ia menerima bantuan dari seseorang yang sangat ia benci. Tapi tenggorokannya begitu kering, seperti pasir di tengah padang. Ia akhirnya menerima gelas itu tanpa suara dan meminumnya habis.
Kesunyian melingkupi kamar. Jasmine masih duduk di lantai dekat sofa, matanya tak lepas menatapnya. Ada kekhawatiran, atau mungkin iba. Apapun itu sangat membuat Adimas kesal.
Ia mengembalikan gelas itu, matanya menatap tajam.
"Mau lagi?" tanya Jasmine dengan nada yang sama, begitu lembut dan penuh perhatian.
Adimas mendengus. Lalu tanpa suara ia segera berdiri, berusaha melawan degup jantungnya yang masih berdegup kencang. Lagi-lagi mimpi itu datang. Lebih kesalnya harus datang saat ia bersama Jasmine.
Ah, ini pasti karena ia lupa minum obatnya.
"Mas? Kamu butuh sesuatu?"
Adimas hanya menoleh sekilas. "Tidak usah sok peduli. Bagi saya kamu tetaplah sama. Jangan berharap banyak pada saya apalagi pernikahan sialan ini. Saya tidak benar-benar menganggap kamu istri saya."
Tanpa memperdulikan Jasmine, Adimas segera ke kamar mandi untuk segera mandi dan berwudhu. Ia belum sholat subuh. Segera ia membasuh wajahnya, saat air dingin itu mulai menyentuh wajahnya, saat itulah ia merasa lebih baik. Sesaat setelah itu, ia menatap dirinya di kaca kamar mandi. Mata yang memerah, rambut berantakan. Penampilan Adimas benar-benar kacau.
Tidak seharusnya ia melupakan obatnya semalam. Masih terekam di pikirannya, semalam ia berniat menemui dokter pribadinya untuk mengambil obatnya. Namun bukannya bertemu dokter, ia justru bertemu dengan seorang perempuan hamil ditemani seorang lelaki yang sedang mendorong motor.
Awalnya Adimas tetap melajukan mobilnya tanpa peduli pada dua orang tersebut, namun sisi kemanusiaannya membawanya menuju tempat dua orang tersebut. Saat itulah ia melihat wajah pucat perempuan tersebut sambil merintih kesakitan. Kejadian itulah yang membuatnya lupa mengambil obatnya pada dokternya tersebut. Hingga berakhir ke mimpi buruk yang kembali hadir.
Cukup lama ia berada di kamar mandi, setelah selesai berwudhu, ia segera keluar kamar mandi. Kini badannya terasa lebih segar. Matanya kemudian melihat Jasmine sedang duduk bersila di sofa sambil memegang sebuah buku saku. Mulutnya tampak bergerak. Entah apa yang Jasmine lakukan, Adimas sama sekali tidak peduli.
Pun perempuan itu sendiri tidak melihat ke arahnya. Lebih tepatnya, posisi Jasmine itu membelakanginya.
Ia segera menuju sajadah yang dijadikan Jasmine alas sholat tadi. Setelah bersiap dan merapikan pakaiannya, ia lalu segera melaksanakan rukun Islam yang kedua tersebut.
"Allahu Akbar...."
Jika banyak yang mengira Adimas sholat karena ia adalah sosok yang religius, maka itu sebenarnya salah. Adimas sholat bukan untuk itu. Ia sendiri bukanlah sosok yang peduli untuk memperdalami ilmu agama.
Ia sholat hanya untuk mengingat mamanya. Hanya itu yang diwariskan mamanya sebelum pergi.
Setelah ia sholat, ia segera melipat sajadah tersebut dan meletakkannya di pinggiran sofa. Mata Adimas melihat sekeliling namun ia tidak menemukan Jasmine di sudut manapun.
"Lebih baik begini dari pada ada dia," gumamnya pelan.
Adimas sama sekali tidak peduli. Ia segera melangkah menuju lemari, lalu mengambil kemeja yang sudah ia gantungkan kemarin. Lebih tepatnya ia meminta Akmal meletakkan pakaian kerjanya itu kemarin.
Tanpa ragu, ia lalu membuka baju kaos yang membungkus tubuhnya, lalu melepasnya begitu saja, memperlihatkan dada dan perut yang kekar karena rutin olahraga. Ia baru saja akan mengambil kaos lain dari koper, namun saat itulah ia mendengar suara setengah berteriak seorang perempuan.
“Astaghfirullah!Kamu kenapa nggak pakai baju?!" seru Jasmine yang diduga Adimas baru keluar dari kamar mandi.
Refleks, Adimas menoleh, hanya untuk melihat punggung gadis itu membelakanginya. Tubuhnya kaku. Jasmine jelas-jelas panik. Ia bahkan memejamkan mata dan mengangkat satu tangan ke atas seolah-olah mengusir dosa yang tiba-tiba menyerbu pandangannya.
Adimas diam. Lalu tertawa kecil, namun nada sinis yang biasa tetap terdengar.
“Munafik,” gumamnya pelan, cukup keras untuk didengar Jasmine. “Kamu bahkan sering berganti pacar dari semasa sekolah. Saya rass tidak ada yang bisa menjamin kamu belum pernah melihat dada lelaki. Kamu tidak sepolos itu."
"Terserah apa yang kamu pikirkan. Tapi cepat pakai bajumu." seru Jasmine panik.
“Udahlah, nggak usah sok suci,” ucap Adimas, kini lebih dingin. “Saya bahkan ragu kamu masih perawan atau tidak." Adimas tidak peduli perkataannya akan menyakiti Jasmine atau pun tidak. Namun ia berharap iya. Karena itulah tujuannya menikahi Jasmine.
Gadis itu tidak menjawab. Pun Adimas juga tidak peduli. Ia langsung mengenakan kemeja kerjanya. Setelah memastikan kemejanya rapi, ia menatap Jasmine dengan dingin. Wajahnya yang tadinya sinis berubah datar.
Menyadari Jasmine masih memakai piyama yang semalam, Adimas pun berkata dengan datar. "Cepat ganti bajumu. Kecuali kalau kamu mau tetap di sini."
Jasmine yang tadinya diam menatapnya dengan tatapan yang....entahlah, tatapannya kosong. Namun saat mendengar suara Adimas, wajah itu seketika berubah hangat.
"Kita akan kemana? Bukannya seharusnya kita masih di sini?"
Adimas menggeleng cepat. "Tidak. Saya kerja hari ini. Jangan kamu kira saya mengambil cuti hanya demi pernikahan ini."
"Hmmmh, baiklah. Kita tidak sarapan dulu?"
"Tidak. Kecuali kalau kamu mau pulang sendiri."
Jasmine mengangguk. "Oke. Tunggu sebentar. Aku ganti baju dulu." Perempuan itu segera melangkah menuju kopernya, lalu segera mengambik beberapa pakaian ganti. Setelah itu, ia segera ke kamar mandi.
Sebenarnya Adimas bisa saja tidak peduli. Namun ia khawatir eyangnya akan menelponnya kembali. Sepertinya eyangnya sendiri mengkhawatirkan akan perlakuan dirinya pada Jasmine. Eyangnya bahkan sudah mengirimkan beberapa foto rumah untuknya.
Sayangnya, mau sebaik apapun eyangnya sekarang, Adimas sendiri yakin, perempuan yang wajahnya mirip ayahnya itu melakukan itu hanya untuk Jasmine. Bukanlah untuk dirinya. Sama seperti betapa khawatirnya eyangnya saat neneknya Jasmine menelpon untuk mengabarkan tentang perjodohan tersebut.
Kalau bukan karena kondisi neneknya Jasmine yang mulai memburuk dan paksaan dari eyangnya, Adimas tidak akan sudi menggantikan posisi Adrian. Selain itu, ada alasan lain yang membuat Adimas akhirnya setuju.
Sembari menunggu Jasmine, Adimas iseng melihat foto di galerinya. Senyum tipis terbit di wajah dinginnya. Hampir foto di galeri tersebut adalah foto Rindu. Dari mulai foto Rindu yang secara sadar hingga foto yang dipotret Adimas secara random.
"Habis ini kita akan kemana?"
Adimas tersentak. Ia segera meletakkan ponselnya di saku celananya saat Jasmine tiba-tiba bersuara. Sekarang perempuan itu sudah berganti pakaian. Adimas terdiam, bukan karena terpukau, melainkan terkejut dengan penampilan Jasmine.
Siapa yang menyangka gadis yang dulunya akrab dengan pakaian pendek, kini beralih ke pakaian tertutup. Memang Jasmine tidak terlihat seperti ibu-ibu pengajian, ia lebih terlihat seperti ukhti-ukhti yang sering Bani bicarakan.
Apalagi dengan Jasmine yang walaupun serba tertutup, kecuali wajah, pakaian itu tampak pas ia pakai. Menambah anggun dan aura yang positif. Jilbab panjang berwarna hitam dengan motif kecil berwarna cream di pinggirannya, dipadukan dengan outer berwarna cream dan rok berwarna hitam.
Apakah Adimas kagum? Ah tidak. Sama sekali tidak. Justru dengan penampilan Jasmine yangs sekarang ditambah dengan cara ia bersikap semakin membuat Adimas muak.
"Mas?"
Suara lembut itu membuat Adimas tersadar. Dirinya terlalu lama mengabaikan pertanyaan yang tadi Jasmine tanyakan.
"Saya akan ke kantor. Kamu akan saya antar ke rumah."
Jasmine masih diam. Mata Adimas menatapnya dengan bingung.
"Mas?"
"Hmmmh..." gumam Adimas malas.
"Aku ke kafe saja. Maksudku, jika Mas tidak keberatan, bisa tolong antarkan aku ke sana?" tanya Jasmine hati-hati.
Adimas menjawab dengan anggukan. Tanpa menunggu lama, ia segera merapikan pakaiannya dan memasukkan ke koper. Begitu pula Jasmine. Perempuan itu lebih banyak diam. Sejauh ini, Jasmine lebih banyak menurut pada Adimas.
Setelah memastikan semua barang sudah dibawa, mereka langsung keluar. Untuk menjaga nama baik keluarganya, Adimas berjalan beriringan dengan Jasmine. Namun mereka masih dalam mode saling diam.
Langkah kaki mereka sampai di loby hotel dan setelah melakukan check out, Adimas berjalan lebih dulu menuju area parkir diikuti Jasmine di belakangnya. Sesampainya mereka di dekat mobil Adimas, Jasmine mengikuti Adimas meletakkan kopernya di bagasi mobil Adimas.
"Kamu tidak usah dekat-dekat dengan saya. Sampai kapan pun saya tidak sudi berdekatan dengan kamu."
Jasmine mengangguk. Lalu ia segera meraih pintu tengah mobil. Namun Adimas segera berseru sinis.
"Kamu mau ngapain? Kenapa duduk di belakang?"
"Mas tadi bilangnya nggak mau kalau aku terlalu dekat sama Mas. Jadi ya sudah, aku di belakang aja."
Adimas menghela napasnya dengan kasar. "Tidak begitu. Kamu kira saya sopir kamu apa. Pindah ke depan cepat!"
Hati Adimas mendadak semakin buruk. Sudahlah buruk karena akan bertemu dengan Jasmine setiap hari, kini ia juga harus siap menghadapi sikap sok tenang Jasmine yang terkadang membuatnya seperti oranh bodoh.
Ia terlalu banyak bicara hari ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments