Flashback : Masa Kecil
Sinar matahari menerobos lewat jendela, jatuh tepat di atas kepala seorang anak perempuan berambut hitam pendek. Duduk tenang di pojok kelas, Azkaira kecil menulis dengan rapi.
Tangannya mungil. Senyumnya kecil. Dunia baginya cuma seputar satu hal: belajar dan membuat semua orang bangga.
Azkaira Elzahra
“Selama aku pintar… mereka akan tetap baik padaku, kan?”
Satu demi satu nama dipanggil. Ketika nama “Azkaira” disebut, semua mata menoleh.
Azkaira Elzahra
//Ia berjalan pelan, menerima hasil ujiannya: peringkat satu.//
Sebelumnya, dia bukan murid yang mencolok. Jarang angkat tangan. Diam. Pendatang baru.
Tapi ternyata... dia luar biasa pintar.
•Pengumpulan buku catatan•
Guru
“Anak-anak, kalian harusnya rajin seperti Azkaira. Belum saya suruh, dia sudah menulis semua materi dengan rapi.”
Guru
“Bagus, Nak. Lanjutkan, ya.”
Azkaira Elzahra
//Senyum kecil//
Azkaira Elzahra
“Terima kasih, Bu...”
Azkaira Elzahra
(Tapi... kenapa suasananya terasa aneh? Bu guru memuji terlalu berlebihan...)
Guru
“Ibu akan kasih kalian PR."
Guru
"PR untuk minggu depan, ya. Ini penting buat persiapan ujian akhir.”
Siswa-siswa lain:
“Baik, Bu!”
Di meja belajar, Azkaira serius ngerjain PR. Pensil berputar di jari. Tapi... fokusnya pecah.
"Kai, soal no.3 jawabnya apa?"
"Susah bgt. Bisa kirim jawabanmu gak?"
"Gue udah nyerah, Kai. Bantuin dong plisss."
Dia ingin bantu, awalnya. Tapi mereka hanya mengeluh, bahkan gak berusaha.
Lama-lama... risih.
Azkaira Elzahra
//Menghela napas pelan, lalu aktifkan mode pesawat.//
Azkaira Elzahra
"Berisik."
Musik
|| “Youth” – Daughter ||
BEBERAPA HARI KEMUDIAN - PERSIAPAN UJIAN
Gelap. Hanya cahaya ponsel yang menyinari wajahnya.
Azkaira membuka video acak. Tanpa sadar... jari-jarinya berhenti di video kasus pembunuhan berantai.
Ia tonton. Ia scroll. Lalu lanjut lagi.
Azkaira Elzahra
“Manusia bisa sekejam ini?” gumamnya tidak percaya.
Malam itu, bukan belajar yang dia lakukan—melainkan berpikir.
Pertama kalinya ia mempertanyakan hidupnya:
Azkaira Elzahra
“Apa aku bener-bener suka Matematika? Apa aku beneran jadi diri sendiri selama ini? Atau cuma jadi mesin buat nyenengin orang lain?”
•Pembagian hasil ulangan harian•
Suasana tegang. Nilai dibagikan. Kali ini... nilai Azkaira turun drastis.
Guru
“Kenapa, Azkaira? Nilaimu kali ini tidak seperti biasanya.”
Azkaira Elzahra
//Menunduk, menggigit bibir.//
Azkaira Elzahra
(Aku malu... harusnya belajar. Tapi semalam...)
Guru
“Nanti di ujian akhir semester diperbaiki, ya?”
Azkaira Elzahra
//Mengangguk pelan//
Azkaira Elzahra
“...Baik, Bu.”
Azkaira Elzahra
(Kalau aku nggak lagi pintar... apa mereka masih akan baik padaku?)
KAMAR AZKAIRA – MALAM HARI
Di bawah cahaya lampu meja belajar, Azkaira duduk diam. Buku pelajaran terbuka... tapi tak satupun kalimat masuk ke otaknya.
Pikiran Azkaira melayang ke kata-kata gurunya tadi siang.
Ke notif yang tak berhenti masuk meski HP sudah tidak aktif lagi.
Azkaira Elzahra
“Aku cuma alat bantu... buat mereka.”
Tangannya menggenggam pensil, kuat. Tapi kepalanya tertunduk lemas.
FLASHBACK – KELAS SD – SIANG
Teman 1:
“Kamu pintar sih, Zah. Gampang banget pasti buat kamu.”
Teman 2:
“Eh, bisa pinjem PR-nya? Nanti kukembaliin kok.”
Teman 3 (berbisik):
“Sombong banget sih dia sekarang. Gak ngebalas chat.”
Semua kata-kata itu... menumpuk. Azkaira tak pernah membalas satu pun dengan marah. Hanya... diam.
Azkaira menatap wajahnya di cermin.
Wajah anak yang katanya “pintar”.
Wajah anak yang semua orang bilang “baik dan patuh.”
Azkaira Elzahra
“Kalau aku berhenti jadi pintar… siapa yang masih peduli?”
RUANG TAMU – DUA HARI KEMUDIAN
Berita TV membahas kejahatan, pembunuhan, politik kotor, dan korupsi.
Azkaira yang biasanya cuek mulai menatap layar lekat-lekat.
Azkaira Elzahra
“Kenapa dunia ini... gini banget? Apa cara pandang ku yang selama ini salah??”
Ia mulai mencari tahu sendiri.
Artikel. Video. Buku-buku berat yang bukan untuk anak seumurannya.
Tentang psikologi. Tentang manipulasi. Tentang sistem.
SEKOLAH – WAKTU ISTIRAHAT
Saat semua anak sibuk main, Azkaira duduk di pojok tangga, membaca.
Tapi jurnal psikologi kriminal dan artikel politik.
“Aku capek jadi anak yang harus selalu sempurna.
Aku capek jadi orang yang harus ngerti semua orang, tapi gak pernah dimengerti.
Dunia ini terlalu kejam buat orang baik yang polos.
Aku gak boleh tetap jadi anak yang lemah.
Aku harus ngerti... gimana cara kerja dunia ini.”
Azkaira Elzahra
“Kalau ingin bantu orang lain... aku harus belajar melindungi diriku dulu.”
Matanya tak lagi kosong. Ada tekad. Ada luka. Tapi juga harapan.
Azkaira mulai bangun jam 5 pagi, olahraga ringan di halaman rumah.
Nafasnya terengah, tapi dia terus melangkah.
Azkaira Elzahra
“Sedikit demi sedikit... aku gak boleh kalah dari rasa malas.”
Ia bikin jadwal di papan tulis kecil di kamarnya.
Ada jam belajar, jam istirahat, latihan fisik, dan sesi nonton dokumenter.
Tapi tiap malam... selalu ada coretan.
Selalu ada waktu yang terlewat.
Guru mengajar di depan, murid-murid sibuk menyalin catatan.
Azkaira diam. Fokusnya kabur. Tangannya menggenggam pulpen, tapi matanya kosong.
Azkaira Elzahra
“Kenapa semua ini tetap terasa hampa?”
Ponsel Azkaira berdering. Ia angkat.
Azkaira Elzahra
//Beberapa detik bicara, matanya membelalak.//
Azkaira Elzahra
//Dia berlari keluar rumah sambil pakai jaket, panik. Langsung memasuki mobil dengan orang bawahan kakeknya yang sudah menunggu.//
Lorong sunyi. Hanya suara sepatu dan detak jam.
Azkaira berdiri diam di depan ruang ICU.
Kaca jendela jadi batas tipis antara dia dan seseorang yang begitu berarti.
Sosok tua itu terbaring dengan selang dan alat monitor detak jantung.
Azkaira menempelkan tangannya ke kaca.
Wajahnya datar, tapi air mata menetes tanpa henti.
Azkaira Elzahra
“Aku gak cukup kuat buat nyelamatin mereka…”
Azkaira Elzahra
“Aku cuma bisa belajar, tapi gak bisa nyelametin orang yang aku sayang.”
Azkaira Elzahra
“Apa gunanya pintar kalau cuma bisa jadi penonton?”
Banyak orang mondar-mandir, tapi dunia terasa diam.
Dia melihat bayangannya sendiri di kaca jendela rumah sakit.
Mata yang dulu penuh ambisi... kini retak.
Di meja belajar, papan tulis penuh catatan kini kosong.
Azkaira Elzahra
"Tujuan baru: Lindungi. Bukan hanya tahu."
Azkaira Elzahra
"Bertindak. Bukan hanya berpikir."
Azkaira Elzahra
"Kuat. Bukan untuk menang... tapi supaya gak kehilangan lagi."
Azkaira mengunjungi kakeknya secara rutin.
Angin menerpa rambut Azkaira yang masih pendek. Kedua tangannya menggenggam pagar besi yang dingin. Di bawahnya, lampu kota berkedip-kedip. Tapi matanya tidak menatap ke arah sana.
Azkaira Elzahra
“Mulai sekarang… aku gak mau lagi jadi orang yang diam waktu ada ketidakadilan."
Azkaira Elzahra
"Aku akan tahu… akan lihat… akan lawan.”
Azkaira Elzahra
“Aku bersumpah.”
Azkaira Elzahra
//Azkaira menyentuh dada kirinya—tepat di atas jantungnya.//
Azkaira Elzahra
“Aku akan melindungi yang gak bisa melindungi diri sendiri."
Azkaira Elzahra
"Meski harus melawan semuanya.”
Musik
|| "Human" - Christina Perri ||
“Gak semua luka harus berdarah untuk terasa sakit.”
Di ruang tamu yang hangat, Thalisha kecil duduk di karpet, memperhatikan dari jauh.
Sang kakak baru saja memenangkan lomba sains, dan seluruh keluarga tersenyum, bangga, bertepuk tangan.
Ibunya menepuk kepala sang kakak.
Ibu: “Kakak kamu tuh memang luar biasa, kan?”
Ayah: “Kamu harus belajar banyak dari dia, Thalisha.”
Thalisha Ardenza
//Thalisha tersenyum kecil... sambil menunduk.//
Thalisha duduk di meja belajar, menyalin rumus.
Kertasnya kusut. Matanya lelah.
Thalisha Ardenza
“Aku juga mau... sekali aja, dipuji karena aku. Bukan karena aku ‘harus seperti’ dia.”
Thalisha dan sahabatnya sedang duduk bareng di perpustakaan.
Sahabat: “Tolong bantuin dong yang ini, aku gak ngerti.”
Thalisha Ardenza
“Oke, pelan-pelan ya... aku jelasin.”
Beberapa bulan kemudian… nilai ujian dibagikan.
Sahabatnya tersenyum lebar—nilai sempurna.
Thalisha menatap lembar jawabannya: nilai merah.
LORONG SEKOLAH – BEBERAPA BULAN KEMUDIAN
Thalisha berjalan sendiri.
Dari kejauhan, sahabatnya tertawa bersama teman-teman baru.
Thalisha berhenti sejenak. Menatap sepatunya sendiri.
Thalisha Ardenza
“Kayaknya... gak semua teman ngerti apa itu ‘bareng-bareng.’”gumamnya sedih.
Ayah dan ibu membahas prestasi sang kakak lagi.
Thalisha hanya duduk di meja, mengaduk sup yang sudah dingin.
Thalisha Ardenza
(Lucu ya, mereka selalu minta aku jadi dewasa... tapi mereka gak pernah ngeliat aku tumbuh.)
MALAM ITU – DI DEPAN CERMIN
Aku liat bayanganku sendiri.
Muka yang sama kayak kakakku. Tapi kenapa perlakuan orang tuaku beda?
Thalisha Ardenza
“Mungkin karena aku gak sepintar dia. Mungkin karena aku gak sehebat dia.
Tapi aku juga manusia, kan?”
Thalisha Ardenza
//Tanganku nempel di kaca. Dingin.//
Thalisha Ardenza
//Mataku mulai panas.//
Thalisha Ardenza
“Gak apa-apa. Aku harus kuat. Harus tetap kelihatan senyum. Kalau aku nangis… nanti mereka bilang aku cengeng.”
KAMAR THALISHA– MALAM HARI (Thalisha sedang latihan beladiri).
Keringat menetes di pelipisnya. Dia jatuh. Bangun lagi. Jatuh. Bangun lagi.
Thalisha Ardenza
“Kalau aku kuat... aku gak bakal ditinggalin lagi.”
Thalisha Ardenza
“Kalau aku tahan... mereka gak akan bisa hancurin aku kayak dulu.”
KAMAR THALISHA– MALAM HARI
Aku mulai latihan. Lagi. Lagi. Lagi.
Keringat netes di pelipis, tapi gak bisa ngalahin sesak di dada.
Thalisha Ardenza
“Kekuatan itu... bukan buat ngalahin orang lain. Tapi buat gak jatuh waktu aku sendirian.”
Waktu aku mukul samsak sekuat tenaga, aku ngerasa kayak lagi ngeluarin semua yang gak pernah bisa aku omongin.
Thalisha Ardenza
“Satu... buat semua kekecewaan.”
Thalisha Ardenza
“Dua... buat semua orang yang ninggalin.”
Thalisha Ardenza
“Tiga... buat semua janji yang gak ditepatin.”
Thalisha Ardenza
(Kalau aku gak bisa jadi yang paling disayang…Aku bakal jadi orang yang paling kuat. Supaya gak ada yang bisa ninggalin aku tanpa alasan lagi.)
Thalisha Ardenza
“Aku pernah jadi anak yang terlalu berusaha untuk cukup. Tapi kayaknya, di mata mereka... aku gak pernah benar-benar cukup.” gumamnya sebelum tertidur pulas.
Hari itu cerah, tapi hatiku enggak.
Aku lagi duduk di bangku belakang kelas, nyoret-nyoret buku agenda, bukan karena bosan, tapi karena... yah, aku gak tahu lagi harus ngapain biar gak mikirin hal yang sama terus-menerus.
"Tha, kamu bantuin aku belajar buat ulangan nanti ya?"
"Kamu baik banget, ngerti semua pelajaran!"
"Eh, kamu udah bikin tugas ini belum, pinjem dong."
Kalimat-kalimat itu kedengeran manis di awal, tapi lama-lama... rasanya kayak hutang yang gak pernah lunas.
Aku bantu mereka, mereka pergi.
Aku percaya mereka, mereka hilang.
Thalisha Ardenza
(Lucu ya, katanya aku ini orangnya humble... tapi mereka gak tahu, kan? Kalau aku harus pura-pura senyum biar gak dibilang baperan.)
Aku lihat diriku di kaca, lengkap dengan seragam yang rapi, senyum yang manis, dan mata yang... udah jago nutupin lelah.
Thalisha Ardenza
“Lihat? Aku bisa kok keliatan ceria. Padahal aku lagi capek banget pura-pura baik-baik aja.”
Thalisha berdiri di lapangan upacara.
Matanya menyapu sekeliling. Murid baru, guru baru… dunia baru.
Tapi senyumnya tetap muncul.
Thalisha Ardenza
“Mulai sekarang... aku tetap ramah. Tapi aku gak akan kasih semuanya ke orang yang gak bisa jaga.”
Thalisha duduk di bawah lampu teras rumahnya. Tangannya kotor karena baru selesai latihan beladiri. Ia menatap ke arah bulan. Pipinya masih basah oleh air mata.
Thalisha Ardenza
“Aku capek jadi orang yang selalu dimanfaatin. Kalau orang lain bisa menyakiti orang lain semudah itu... Maka aku akan jadi yang berdiri di antara mereka dan korban.”
“Aku janji.”
Thalisha Ardenza
“Aku akan melindungi yang gak bisa melindungi diri sendiri."
Thalisha Ardenza
"Meski harus melawan semuanya.”
“Thalisha tuh lucu ya, selalu ceria.”
“Iya, anaknya santai banget.”
Thalisha hanya tertawa. Padahal di balik itu semua… dia sudah belajar membentengi dirinya sendiri dengan senyum.
Aku duduk sengaja duduk sendirian. Tapi bukan karena gak punya teman.
Karena aku udah milih... buat gak deket sama orang yang salah lagi.
Seseorang datang. Cewek, rambut panjang, bawa laptop dan flashdisk.
Namanya Azkaira.
Dia diem. Tapi matanya... kayak pernah ngerasain luka juga.
Kita beda cara hidup, tapi... aku bisa ngerasain: dia kayak aku.
Sama-sama nyimpen sesuatu yang gak bisa diceritain ke siapa-siapa.
Thalisha Ardenza
(Dari semua hal yang pernah aku lakuin sendirian, mungkin yang paling penting adalah...)
Thalisha Ardenza
(Gak lagi ngelewatin semuanya sendiri.)
Dua anak. Dua tempat. Dua luka. Satu sumpah.
Yang kelak... akan mempertemukan mereka di jalan yang penuh bahaya, pengkhianatan, dan harapan.
⚠️ Disclaimer / Peringatan:
Cerita ini adalah karya fiksi. Semua nama, tokoh, tempat, organisasi, dan kejadian merupakan hasil imajinasi penulis. Meskipun beberapa elemen mungkin terinspirasi dari dunia nyata, cerita ini tidak dimaksudkan untuk merepresentasikan situasi politik, sosial, atau budaya tertentu secara akurat.
Penulis tidak bermaksud menyinggung, menyudutkan, atau menyerang pihak manapun. Jika terdapat kemiripan dengan kejadian atau individu nyata, itu semata-mata kebetulan belaka.
-7 Tahun Kemudian, Tahun 2025-
Azkaira Elzahra
"Gimana? Udah ketemu??
Azkaira Elzahra
"Bagus, kalau begitu atur waktu pertemuan ku dengannya."
Vian
"Baik nona muda. Segera saya laksanakan."
Comments