Beberapa hari berselang, suasana kelas riuh penuh canda dan bisikan obrolan. "Cepetan ganti baju olahraga! Bu Sri udah nunggu di lapangan!" teriak Chloe.
Anne mengulurkan tangan hendak mengambil setelan olahraganya. Namun, tangannya berhenti di depan kerah kaos berukuran XXL.
Anne menoleh menatap Ratri yang memperlihatkan punggungnya. Buru-buru, ia kembali menarik resleting tas. "Aku lupa bawa baju olahraga," ucapnya berat.
Ratri sontak menoleh, menyipitkan matanya. "Hah kok bisa? biasanya kamu rajin."
Ia menghela napas pendek, berkata. "Aku begadang semalaman, bangunnya agak kesiangan
"Nanti bisa dihukum loh sama Bu Sri," ucap Ratri, terdengar iba.
"Gimana lagi."
Mba mar pasti kurang teliti, kalau tadi nggak kesiangan aku juga bakal ngeh pas masukin ke tas, pikirnya menyesal. Ia secara naluri melirik Ivan yang segera menatap balik, menaikkan satu sudut alisnya.
Meski dirinya tak berganti setelan olahraga, ia tetap menemani Ratri berganti sebelum bergegas ke lapangan olahraga.
Di pinggir lapangan, ia melihat. Bu Sri meletakkan kedua tangannya di pinggang, berdiri berhadapan dengan Ivan yang mengenakan kaos oblong berwarna putih dan celana osis, menggaruk-garuk belakang kepalanya.
Ivan tampak mengacungkan jari ke arahnya, lantas Bu Sri menoleh, berteriak "Anne! Kamu kesini"
Ia hanya mampu menghela napas berat, berjalan menghampiri.
Kedua alis Bu Sri berkerut tampak mau menyatu, menatapnya tampak kesal. "Kamu kenapa nggak pake baju olahraga?"
"Maaf Bu, saya lupa jadwalnya," ujarnya, sambil menunduk.
"Yang satu lupa belum dicuci, yang satu lupa sama jadwal!" bentak wanita itu. "Berapa umur kalian? lima puluh? enam puluh? masih muda sudah pikun!"
"Lima belas tahun Bu," timpal Ivan.
Ngapain di jawab sih! batinnya. Ia melirik Bu Sri yang menarik napas hingga dadanya membusung, mengeluarkannya perlahan-lahan. "Sabar, sabar," gumam wanita itu.
"Setelah pemanasan ringan, kamu lari tujuh putaran yang lainnya mau lompat tinggi" tambahnya.
"Iya Buu." jawab Anne
"Masa aku dua puluh Anne cuma tujuh? Enggak adil banget." timpal Ivan.
Tanpa menjawab sepatah kata, Bu Sri memukul ringan kepala Ivan, menyuruhnya memimpin pemanasan.
Selagi dirinya dan Ivan berlari memutari lapangan area pinggir lapangan. Matanya sesekali melihat Ratri dan yang lainnya tengah melakukan lompat tinggi di tengah lapangan.
Beberapa saat kemudian, Ratri dan Farhan tampak pergi meninggalkan lapangan. Sementara Bu Sri dan lainnya masih duduk menonton dirinya dan Ivan, sembari berbincang bincang.
Sisa dua putaran lagi, hitungnya dalam hati. Anne tetap berjalan santai tanpa sedikitpun menambah kecepatan. Bagaimana pun ia harus mengenakan seragam sampai pulang, akan repot jika basah oleh keringat.
Namun, setiap kali Ivan hampir menyelip. Suara napasnya yang terengah-engah sudah terdengar dari jarak satu meter. Membuat kepalanya menoleh secara refleks. Melihat Ivan selalu memelototi dengan bibir bawahnya yang dicibirkan ke atas membentuk senyum terbalik seraya menggeleng-gelengkan kepala. "Orang gila," gumamnya pelan.
"Siput aja insecure sama kamu Ann," ejek Ivan, berlari menyelip.
"Loh siapa yang saingan sama siput?"
Ivan menoleh sekilas, mengacungkan jari tengahnya sebelum kembali menambah kecepatan larinya. Rambutnya tampak klimis dan kaos oblongnya yang menempel di kulit punggung. Membuat dirinya ikut merasa gerah bercampur kesal.
Anne masih terus berjalan santai di bawah terik matahari yang menyengat kulitnya. Sampai, suara Ivan kembali terdengar dari belakang.
"Ini salah...nya mba mar," ucap Ivan terbata-bata. "Nggak, nggak...ini salahnya kamu," timpalnya, saat berlari mendahului.
Saat mengetahui seragam mereka yang tertukar sampai rasa haus dan terik matahari yang menyengat. Anne terus menekan rasa kesalnya yang ingin di lampiaskan. Mendengar ucapan Ivan, ia berlari menambah kecepatan, menghampiri Ivan. Tanpa pikir panjang, terdengar bunyi "duk" pelan saat kakinya menendang belakang lutut Ivan.
Seketika, Ivan jatuh terjerembab. "Bangsat!" di belakang, terdengar Ivan kembali berteriak. "Dasar cewe gilaa!"
Tanpa menoleh, Anne kembali berlari menambah kecepatan. Bu Sri juga terdengar berteriak memarahi keduanya. Ia menutup telinganya dan tetap berlari.
Baru setelah menyelesaikan putaran terakhir, Anne berjalan terengah-engah menghampiri Bu Sri untuk melapor. Ia sempat di marahi karena menendang Ivan, meski akhirnya diperbolehkan kembali ke kelas.
Begitu sampai di kelas, Anne duduk, menyambar buku di atas meja dan mengipasi dirinya. Dari sudut matanya, Ratri tampak menatapnya tajam. Ia pun menoleh, menunggu Ratri berbicara.
Pintu kembali terbuka. Ia melirik sekilas, Ivan tengah berjalan melewati ambang pintu.
"Kalian berdua mending jujur aja deh!" ujar Ratri tiba-tiba, saat Ivan memelototinya.
Anne menoleh kebelakang, Farhan menyuarakan tanda persetujuan seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kembali menatap Ratri tapi tak mengerti apa yang dibicarakan Ratri. Adapun Ivan yang berjalan melewatinya sambil mengacung-acungkan jari tengah.
"Kalian kenapa sih?"
Ratri mengendus dan berkata. "Kamu sama Ivan pacaran kan?"
"Hah?!"
"Hah?!"
Ucap mereka secara serempak. Kok bisa mikir gitu?
"Pacaran? Siapa sama siapa? Aku sama Anne?" cecar Ivan, mengerutkan kening.
Farhan menghela nafas layaknya lelaki tua "udah ngaku aja bro, lagian Anne cantik kok," tambahnya.
Ia linglung sejenak, masih tak mengerti asal tuduhan mereka. Apa aku keliatan kaya orang pacaran sama Ivan?
"Kalian sama sama bawa setelan olahraga, tapi bilang nggak bawa karena mau berduaan di lapangan kan?" tukas Ratri.
Anne mendesah pelan, melirik Ivan yang menyipitkan mata, tampak menyelidik. Ya lagian cepat atau lambat juga bakal ketauan kan?
"Kita sepupuan," ucapnya.
Dari sudut matanya, Ivan segera berpaling meminta tisu pada gadis di sampingnya. Lalu mengelap keringat di wajahnya yang tampak acuh tak acuh, seolah tak perduli. Bahkan saat Farhan ikut bertanya, dia memajukan dagunya menunjuk ke arah dirinya.
“Pantesan! pas hari pertama masuk kelas...kamu masuk bareng Ivan!" seru Ratri girang. "Terus, terus pas hujan kalian juga sepayung!"
Ratri terbahak menatap wajahnya dan Ivan yang menurutnya tak cocok menjadi saudara. “Ohh, jadi baju kalian ketukar?” tanya Ratri di sela tawanya.
"Ya," jawabnya singkat.
Di luar Anne ikut tertawa. Namun dalam hatinya ia merasa tak nyaman, melirik ekspresi Ivan yang tampak acuh tak acuh. Dia nggak marah kan? pikirnya dalam hati.
"Ann, Ann sini..." bisik Ratri, menarik lengannya supaya mendekat. "Ann, kamu kenal Yuda?" tambahnya.
Anne berfikir sejenak, Yuda? dirinya juga penasaran, siapa anak yang di sebut-sebut Ivan. "Nggak, tapi Ivan sering nyebut namanya."
"Dia temen masa kecil Ivan, dari SD sampai SMA."
Pantesan, batinnya. "Terus, terus?"
"Ckk, aku suka sama dia."
Ia menatap mata Ratri yang tak bergeming, "Terus?"
Ratri mendesah, mengambil ponselnya, lalu menunjukkan potret dua remaja laki-laki berjersey putih saling merangkul.
Dalam sekali lihat, ia tau Ivan yang berkulit lebih terang. Walau begitu, Ratri masih menjelaskan satu per satu. Potret, itu diambil dua tahun lalu saat mereka memenangkan juara tingkat kabupaten.
Jempol Ratri kembali menggeser dan terus menggeser. Anne mendekatkan wajahnya, melihat lebih dekat. Semuanya sama, gambar sosok buram yang diambil dari kejauhan.
"Itu Yuda," ujarnya.
Ia mendongak, wajah Ratri tampak lesu. "Ann...boleh minta tolong nggak?"
Anne tahu apa yang diinginkan Ratri darinya. Ia ingin menolak, tapi melihat wajah dan foto buram di ponselnya. Ia dengan berat hati menyetujui permintaan Ratri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
Daisy
Mantap betul!
2025-05-12
0