Kembali masuk ke rumah. Nenek dan bibinya menyuruhnya tidur di kamar tamu untuk sementara sampai Ivan selesai memindahkan barangnya. "Jangan tidur kemaleman ya sayang," tutur bibinya sambil bejalan.
Anne hendak masuk kamar. Namun, matanya tak sengaja melihat pamannya berdiri menyender pada pagar kayu di balkon. Kepalanya mendongak menatap langit malam tanpa bintang, sebatang rokok terselip di antara bibir dan jemari. Asap putih mengepul menyelimuti wajahnya yang kosong. Anne langsung mengundurkan niat menyapa, dan menekan panel pintu tanpa suara.
Semalam berlalu cepa. Kini, Anne duduk menatap piring berisi secentong nasi putih, tumis pakis dan dua ceplok telur goreng, dan sendok terjepit di jemarinya. Suara denting sendok Ivan sesekali memecah hening. Baru dua hari lalu, dirinya menyantap junkfood sendirian di rumahnya di Bogor.
Tiba-tiba tangan pamannya terulur menjepit selembar tisu di depannya. "Anne, kamu berangkat bareng Ivan ya. Om sudah kesiangan, ada kelas pagi."
"Pah, aku bareng Yuda," sahut Ivan cepat.
Anne masih belum sempat menjawab. Bibirnya mengerucut sedetik sebelum senyum terkembang di wajahnya. Ia semakin tak tahu apa yang harus dikatakan. Lagipula memaksa orang menerima dirinya juga tak mungkin dilakukan.
"Iyaa pah," timpal Ivan.
Anne melirik pamannya. Sorot matanya yang tajam ditunjukkan pada Ivan. Kalo ada pilihan lain aku juga nggak mau, batinnya.
Di teras Anne menunduk mengikat tali sepatu. Tiba-tiba terdengar suara pintu garasi terbuka. Ia menoleh, Ivan mengenakan helm full face tengah mendorong Scoopy berwarna merah. Hingga sampai di depan gerbang."Mau ikut nggak?" teriak Ivan. "Kalo nggak, aku tinggal!"
Anne menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan pendek, berjalan menuju Ivan. Segera, Ivan melemparkan helm bonusan motor ke arahnya sambil tersenyum mengejek.
Anne menangkapnya sigap. Mengabaikan senyum menjijikannya Ivan. Kaya bocah SD! gerutunya dalam hati
Sepanjang jalan mereka terdiam, hanya suara helm saling beradu yang terus terdengar. Jalan yang mereka lalui penuh lubang dimana-mana, Ivan mengendarai dalam kecepatan tinggi.
Saat Ivan tak mampu menghindari lubang, pantat Anne akan terlepas dari jok dan bahunya akan menghantam punggung Ivan. Ia takut terjatuh tapi masih tak sudi berpegangan pada Ivan. "Bisa pelan nggak sih?"
"Ckk, mundur dikit sana. Sempit tahu!" seru Ivan.
Saking marahnya, ia hampir muntah darah. Anne mencoba bergeser sambil mendorong pundak Ivan. Namun ia tak menyangka dorongannya begitu keras. Tangan Ivan kehilangan keseimbangan, membuat motor ikut goyah.
Mengejutkan seekor ayam yang segera berlari melompat ke arah motor. Dalam sepersekian detik dunia berputar, Anne merasa dirinya terlempar beserta suara motor terbanting. Helmnya membentur aspal begitu keras hingga telinganya berdengung. Kalimat 'baru hari pertama sekolah' yang masih terngiang di benaknya.
"Ann!" teriak Ivan, menarik pundaknya. "Kamu nggak papa kan?" suaranya terdengar panik.
Anne menoleh, kening Ivan berkerut tampak sangat cemas. Ia mengangkat lengannya yang tergores mengeluarkan darah, kedua lututnya juga tak lebih baik. Rasa sakitnya menjalar sampai terasa pegal.
"Ayo ke puskes..."
"Nggak usah," tukas Anne. "Nanti kita telat."
Mata Ivan masih terpaku pada luka di lututnya. Anne buru-buru melambaikan tangan, menyuruh Ivan mendirikan motor yang rubuh. Ia pun beranjak berdiri dengan bibir terkatup, menahan sakit.
Ia merasa kesal, melihat tak satupun tubuh Ivan yang terluka bahkan tak ada debu menempel pada seragamnya. Padahal dirinya dan motor yang ditumpangi juga lecet-lecet.
Sampai di sekolah, Anne bergegas menuju ruang UKS. Seorang gadis perawat dengan tangkas membersihkan dan membalut lukanya dalam sekejap. Sambil bertanya bagaimana ia terluka. Ia berkata bahwa dirinya jatuh tanpa menjelaskan detail.
Ia mengucapkan terima kasih, berjalan keluar UKS. Ivan sudah berdiri di samping pintu, menatapnya linglung. "Kelasnya dimana?"
"Ayo," ajak Ivan, berjalan mendahuluinya.
Anne mencoba berjalan tampak normal, meskipun rasa sakit berdenyut di lututnya. Pandangannya terus tertunduk menatap kain kasa putih, takut-takut darahnya akan merembes.
Langkah Ivan terhenti. "Mbak, kamu kenapa?" tanya seorang wanita tiba-tiba.
Anne mendongak di depan mereka seorang guru wanita yang tampak berusia tiga puluhan. "Jatuh Bu," jawabnya sopan.
"Parah nggak?" selidiknya, berjalan mendekati Anne. "Masuk Van."
"Bu, dia anak kelas kita juga," ucap Ivan, sebelum masuk kelas.
Mata wanita itu langsung terbelalak kaget, "Oh kamu yang baru bisa masuk ya?"
Ia mengangguk, "iyaa Bu."
Wanita itu memperkenalkan dirinya singkat. Para guru dan siswa-siswi selalu memanggilnya Bu jeni, ia juga wali kelasnya—kelas IPS unggulan dua. Anne sudah mengetahui dari tag namanya yang bertuliskan Janice.
Kemudian mereka masuk kelas. Tatapan mereka tertuju padanya yang tampak iba. Bu jeni menyuruhnya memperkenalkan diri singkat. Lantas menambahi mengatakan bahwa namanya yang sudah lama tertulis di buku presensi, tanpa satupun kehadiran.
Dan ia pun disuruh duduk di bangku kosong, tepat di depan Ivan. Teman sebangkunya, seorang gadis berambut pendek. Anne menganggukkan kepala sebagai sapaan. Gadis itu langsung menepuk-nepuk tempat duduk kosong dan memperkenalkan diri.
"Ann, kenalin aku Ratri," ucapnya, mengulurkan tangan, menjabat tangan Anne .
Ratri terus berbisik, mengajaknya mengobrol, seolah telah menantikan seseorang duduk di bangku sebelahnya. Tampaknya Ratri juga mengenal batasan tertentu, ia tak mendesak dirinya bercerita mengenai luka-lukanya.
"Orang di belakangmu namanya Ivan, dia nyebelin banget suka usil," bisik Ratri. "Yang di belakangku, namanya Farhan, dia wibu akut nggak bisa ketolong."
Anne melirik orang di belakang Ratri, yang mengenakan kacamata kotak berbingkai tebal. Dan jaket hijau lumut bergambar logo sayap tergeletak di atas meja. Yah kayanya dokter juga lepas tangan, batin Anne.
Sinar matahari menembus gorden berwarna ungu, membiaskan warna cat biru muda. Terdengar bel berbunyi nyaring, jam pelajaran telah usai.
Ivan memilih mengambil jalan memutar, melewati jalan raya. Melewati sebuah apotek ia, menghentikan sepeda motornya. "Bentar," ucap Ivan.
Dalam perjalanan pulang. Ivan memutar jalan lewat jalan raya yang mulus meski sedikit macet. Ia mengendarainya pelan, terasa nyaman. Menghilangkan rasa kesalnya di pagi hari.
Ivan berhenti di depan apotek tanpa dimintanya. "Bentar," ujar Ivan, masuk ke apotek.
Ketika kembali, tangannya memegang bungkusan kresek bening berisi perlengkapan obat luka luar yang lengkap.
Peka juga nih anak, pikir Anne. Namun, Ivan tak langsung memberikan bungkusan itu. Ia berdiri diam, menatapnya sejenak sebelum kembali beralih pada kantong kresek.
"Bisa nggak usah ceritain ke papah, nggak?" bisiknya lirih, hampir tak terdengar.
Sudut mulutnya berkedut, menahan tawanya lepas. Ia menyambar kantong kresek di tangan Ivan. Dasar anak papi, cibirnya dalam hati. Sudut mulutnya terangkat, membentuk smirk tipis, "Makasih."
Ivan tampak menyadari senyum liciknya, ia melotot tajam seakan menantang.
Motor berhenti di depan gerbang rumah. Anne masuk rumah sementara Ivan berkata akan pergi ke bengkel. Tak ada satu orang pun di teras maupun ruang tamu. Anne cepat-cepat menaiki tangga, menekan panel pintu kamar. Matanya tercengang, kamar yang tadi malam ia tempati sudah berisi treadmill, dan gitar di pojok ruangan. "Udah diganti, berarti," gumamnya lirih.
Ia menekan panel pintu sebelahnya. Aroma woody bercampur mint menyeruak masuk ke dalam hidungnya. Namun koper dan barang bawaan miliknya telah tertata rapih. Ia pun melangkah masuk, melemparkan tubuhnya di kasur. Dan Mengendus ringan seprai, "Bau detergen."
Matanya perlahan terpejam. Ketika membuka matanya kembali, langit tampak petang melalui kisi-kisi jendela kayu. Anne beranjak bangun, bergegas mandi.
Anne baru saja mengenakan piyama bercelana pendek dan atasan bertali tipis tanpa lengan, supaya tak bergesekan dengan lukanya. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. Ia mengira mungkin Mbak Mar, dan bergegas membukanya.
Ivan berdiri di balik pintu sambil mengerutkan alisnya, tatapannya turun mengamat tubuhnya perlahan lalu berhenti pada tali piyamanya.
"Mau apa?" desaknya dengan nada kesal. Dasar bajingan mesum.
Ivan berdehem, menarik pandang. "Ngambil buku," ujarnya sambil menggaruk-garuk kepala.
Anne mendorong pintu lebih lebar, membiarkan Ivan masuk sementara dirinya berdiri di ambang pintu. Menatap Ivan berjalan masuk, menuju meja belajar berkabinet.
Lantas memutar kunci, mengambil isi di dalamnya. Saat Ivan berjalan mendekat, setumpuk seri novel bersampul karakter Mandarin yang ia sangga di depan dadanya. Ia menatapnya sekilas, "Makasih," ucapnya, melangkahi ambang pintu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments