Anne menatap punggung Ivan sejenak sebelum melangkah masuk ke dalam kamar. Ia meraih kantong kresek di atas meja, lalu meneteskan Betadine di atas lutut, sementara keningnya mengernyit. Menarik napas pendek saat rasa perih menyentak di kulitnya. Kemudian ia membalutnya dengan kain kasa perlahan.
Anne menatap linglung kain kasa yang menempel di lututnya. Ingatannya melayang pada permintaan Ivan saat mereka berada di apotek. Perlahan, ia beranjak bangkit menuju lemari pakaian. Menarik napas dalam-dalam sebelum berganti piyama satin panjang.
Ia mengambil ponsel dan menekan nomor bernama Yuyun. Jari-jarinya bergerak cepat di atas layar, menuliskan pesan singkat pada ibunya, meminta supaya cepat cepat mengirimi mobil dan sopir pribadi untuknya bersekolah.
Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar bersamaan layar yang menyala. 'Lima hari lagi sampai' itu isi pesan ibunya.
Selama lima hari berikutnya, Anne masih terus membonceng di belakang Ivan. Hampir setiap hari telinganya dijejali gerutuan Ivan mengenai helmnya yang tampak aneh dan tidak cocok dengan motornya. Juga keluhan motornya yang terlalu pendek dan terasa sempit.
"Ehh, mobilmu sudah sampai?" ucap Ivan, begitu sampai depan gerbang.
Anne melongok dari balik helm Ivan. Mobil sport kuning terparkir di depan teras, tampaknya juga ada seorang tamu yang duduk di ruang tamu. Ia buru-buru turun, melepaskan helm dan masuk ke rumah.
Namun langkahnya berhenti di ambang pintu. Seorang pria yang telah lama dikenal duduk berhadapan dengan neneknya. Seolah menyadari kehadirannya, pria itu langsung menoleh.
"Non?" sapa pria itu sembari mengangguk ringan.
Anne menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya pendek. "Pak Ari?" jawab Anne.
Ia kembali melangkah masuk rumah, menyalami nenek dan pak Ari sebelum bergegas ke kamarnya. Anne menaiki tangga dengan langkah ringan, namun kedua tangannya terkepal erat. Ohh drama perebutan anak, masih belum kelar juga, batinnya.
----------------
Hujan turun sejak pagi hari buta. Hanya ada Ivan dan ayahnya yang tengah fokus pada layar laptop. Sementara jemarinya asyik mengetuk-ngetuk layar bermain game.
"Belum berangkat?" tanya ayahnya sekonyong-konyong.
Ivan menoleh singkat, lalu kembali menatap layar ponsel. "Loh kan sama papa," celetuknya.
"Papa nggak berangkat."
Ivan menoleh. Wajah ayahnya masih terpaku pada layar laptop tanpa ekspresi sementara tangannya sesekali akan menekan tombol keyboard.
"Darah tingginya, naik lagi?" tanyanya dengan suara dalam.
Ayahnya mendongak, menatapnya sekilas dari balik kacamatanya yang tebal dengan wajah yang masih tanpa ekspresi.
"Sudah periksa kemarin, sama ibumu."
Ivan mengintip layar laptop ayahnya. Lagi-lagi menampakan dokumen tugas mahasiswa berisi deretan tulisan bak koran.
Ia ingin berteriak sambil merebut paksa laptopnya.
"Kalo sakit berhenti kerja lah! apa susahnya sehari nggak ngadep laptop?" namun suaranya tercekat. Entah sudah keberapa kali dirinya meminta ayahnya istirahat—bahkan tak kurang-kurang meminta ibunya untuk menasihati ayahnya. Tapi tetap saja tak satupun dari mereka didengarkan.
"Sana berangkat bareng kakakmu sama Pak Ari." ucap ayahnya.
Ivan beranjak bangun, mengeluarkan bunyi keras kursi yang berderit. Melangkah pergi tanpa mengucapkan sepatah kata. Menahan amarahnya di tenggorokan dengan bibir terkatup.
Sampai di teras, lampu mobil Anne yang terparkir seketika menyala, kaca jendela depan menurun perlahan. Wajah Pak Ari muncul di baliknya sambil tersenyum menampakan deretan gigi.
"Ayo tuan muda," ucap Pak Ari.
Ivan mengendus dingin menahan geli. Tuan muda apaan tuan muda? Gerutunya dalam hati. Lalu tanpa pikir panjang, ia menekan panel pintu penumpang depan. Pandangannya refleks, melihat kebelakang. Anne duduk diam, kepalanya miring menatap rintik hujan di kaca jendela.
Sesekali Pak Ari mengajaknya mengobrol tapi Anne tetap diam sepanjang perjalanan. Tiap kali ia melirik melalui spion wajah Anne juga masih terpaku pada kaca jendela hingga tiba di depan gerbang sekolah.
Ivan menatap linglung tiap butir air hujan yang menetes cepat di kaca jendela. Anjing malah lupa bawa payung!
Ia melirik kaca spion, Anne hendak membuka pintu sembari bersiap menekan gagang payung. Seolah menyadari kekhawatirannya, Anne menyodorkan payung ke arahnya.
"Mau bareng?
Ivan menoleh, menatap Anne yang menaikkan salah satu alisnya. Tanpa ragu ia merebut payung di tangan Anne dan bergegas keluar dengan payung di tangannya, menghampiri Anne di depan pintu kursi penumpang belakang.
Payung kecil itu, nyaris tak mampu menutupi mereka berdua. Ia mencondongkan payung ke arah Anne membuat lengan bajunya di sisi lain basah kuyup tertimpa air hujan.
"Jamur sama ini payung juga gedean jamur," gerutunya.
Anne mendongak, menatapnya datar. Memperlihatkan ujung matanya yang tajam sebelum kembali menunduk. Dia nggak tersinggung kan?
"Soalnya bukan buat jasa antar payung," ucap Anne, suaranya terdengar santai.
Bola matanya memutar ke atas, mengendus kesal. Cantik-cantik punya mulut ngga ada lembut-lembutnya, gerutunya dalam hati.
Lantai koridor di depannya hanya berjarak empat langkah. Ivan langsung menarik tangan Anne, menyuruhnya menggenggam payung sementara dirinya menghentakkan kaki melompat ke lantai koridor.
Di ruang kelas Ivan menatap jam tangannya, jarum jam menunjukkan pukul setengah delapan. Ia mendorong pintu perlahan, berjaga-jaga kalau gurunya masuk.
Saat pintu terbuka lebar, terlihat tak ada yang duduk di bangku guru.
"Guru belum masuk kan?" tanyanya sambil berjalan lenggang, memandang isi kelas.
"Udahh," jawab teman sekelasnya secara serempak.
Ivan menoleh kebelakang, menunjukkan tulisan 'Tugas bahasa Indonesia, buatlah autobiografi. Dikumpulkan!' di papan tulis. "Itu apa?"
"Ya udah kalo udah tau ngapain tanya, cepet kerjain!" teriak gadis bernama Chloe.
Sesaat kemudian pintu kembali terbuka, kini Anne masuk tanpa mengucapkan sepatah kata hanya menoleh menatap papan tulis. Lalu menuju bangkunya.
"Tuh Van, jadi cowo kaya Anne. Pendiam jadi keliatan cool!" celetuk Ratri di depannya.
"Apaan sih Jonggrang," cibir Ivan sembari menulis.
Mendadak, sebuah tangan terulur menyambar bukunya. Belum sempat dirinya merebut kembali, Farhan berteriak keras-keras mengeja setiap kata.
"Nama saya Ivan Benjamin...Saya bercita-cita menjadi seorang tentara...karena saya ingin memegang semua jenis senjata api sungguhan." Farhan tertawa terpingkal-pingkal sampai menular pada teman sekelasnya.
Anak laki-laki di seluruh kelas juga sontak bertepuk tangan dan memanggil dirinya dengan sebutan jendral, marsekal dan panggilan ketentaraan lainnya. Sampai seorang anak laki-laki bertubuh pendek berteriak, "Siap, Bung Amin!"
Ia terkekeh, beranjak berdiri, meletakkan tangan kanannya di samping pelipis. Tatapannya menyapu isi kelas yang riuh oleh gelak tawa yang mengaburkan suara hujan di luar.
Dari sudut matanya, ia tak sengaja menangkap Anne yang ikut tertawa kecil. Jantungnya berdebar tak karuan, dipenuhi rasa malu. Ia kembali duduk, tersenyum kecut menahan malu. Kenapa ketawa sih!
Tiba-tiba, pintu kelas terbuka. Spontan seisi kelas terdiam kaku menutup mulut.
"Haha hihi haha hihi, ketawa di lapangan!" teriak pria itu, membanting pintu.
Oh my angel, baby my angel. Gumamnya dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments