episode2

Malam itu langit sedikit mendung. Gemuruh mulai terdengar dari langit, mengundang hawa dingin has hujan. Nampak seorang laki-laki dengan motor gagahnya yang berwarna merah melaju membelah jalanan yang sedikit lengang.

 Setelah nongkrong dengan Devan di bengkel Bang Zaki dan sempat mengantar temannya itu pulang, Ray yang masih sedikit enggan untuk pulang memilih untuk berkeliling dengan motor kesayangannya itu sebentar. Iya biasa melakukan hal itu saat dirinya Tengah merasa bosan. 

Ray harus menginjak pedal remnya keras saat tiba-tiba mobil yang berada di depannya berhenti. Cowok itu membunyikan klakson motornya sambil mengumpat.

 “Woy! bisa bawa mobil gak sih!” teriak Ray lantang. 

Saat dia sudah berada di samping mobil itu, samar-samar cowok itu melihat seorang perempuan berambut panjang berada di belakang kemudi. Sesaat setelah kaca mobil itu diturunkan, barulah Ray bisa melihat jelas wajah perempuan itu. Seorang perempuan yang Ray perkirakan usianya masih di bawah umur.

 “Sorry, mobil aku kehabisan bahan bakar,” ucap perempuan itu dengan meringis.

Sejenak Ray terpaku pada wajah perempuan itu. Wajah mungil itu memiliki mata belo dengan bulu mata yang lentik, hidungnya yang mancung serta bibirnya yang berwarna merah jambu itu membuat siapapun yang melihatnya akan merasa gemas. Ray merasa Tak asing dengan wajah itu. 

Di bawah sinar rembulan yang timbul menghilang karena awan mendung, kedua insan itu saling terpaku satu sama lain. Sebelum akhirnya gelegar petir memutuskan tatapan keduanya.

Ray mendengus bosan. Kemudian berucap sarkas,

 “Lain kali kalau mau jalan tuh dicek dulu indikator BBM lu. Dasar manusia ceroboh!” 

Perempuan yang ada di dalam mobil itu hanya bisa melongo mendengar perkataan pedas yang terlontar dari laki-laki yang entah siapa namanya itu. Bukannya menolong, cowok itu malah meninggalkannya begitu saja. 

Masih terdengar teriakan keras perempuan yang ada di dalam mobil yang tak dihiraukan Ray. Cowok itu terus menarik gas motornya sambil melewati mobil itu dengan menggerutu kesal. 

 Ray yang baru saja sampai langsung memarkirkan motornya di garasi rumah. Cowok itu berjalan santai memasuki rumah sambil sesekali membalas pesan dari Devan. 

 “Dari mana kamu?”

Ray yang mendengar suara ayahnya itu seketika menghentikan langkah kakinya pelan. Nampak sosok tegas dengan postur tubuh tinggi besar itu tengah duduk di sofa ruang tamu. Sebuah iPad yang berada di tangannya membuat semua atensi laki-laki itu hanya terfokus kesana. Dia bertanya tanpa harus menatap Putra semata wayangnya. Kacamata baca yang bertengger manis di Pangkal hidungmya membuat siapa saja segan dengan pembawaan laki-laki yang merupakan kepala keluarga di rumah itu.

 “Dari rumah temen, Pa,” jawab Ray sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Bukan niat Ray untuk berbohong, toh Nyatanya dia memang tadi sepulangnya dari bengkel sempat mampir sebentar di rumah Devan.

 “Gimana sekolah kamu?” tanya Herman kembali. Sebuah pertanyaan monoton yang biasa dia lontarkan pada putranya itu.

 “Lancar Pa,” jawab Ray seperti biasa. 

Herman yang mendengar itu mengangguk puas,

 “Bagus.” 

Hanya Seperti itulah interaksi setiap hari antara keduanya. Meskipun Ray merupakan anak satu-satunya, sedari kecil dia tidak dididik untuk menjadi anak yang manja dan pemalas. Katanya menjadi seorang pemimpin itu harus kuat, harus pintar, dan yang pasti jadi pemimpin itu tidak boleh lemah apalagi cengeng. Menjadi satu satunya penerus kerajaan bisnis Sanjaya membuat Ray Terikat dengan segala peraturan ayahnya itu.

 “Ray ke kamar dulu, Pa.”

Setelah melihat anggukan samar dari ayahnya itu Ray berjalan menuju tangga. Ketika kakinya hendak menaiki anak tangga pertama, dilihatnya pintu kamar yang ada di samping tangga itu sedikit terbuka.

 Langkahnya pun mendekati kamar itu. Diketuknya daun pintu berwarna coklat itu pelan. 

 “Kenapa Oma belum istirahat?” ucap Ray saat ia memasuki kamar neneknya. Terlihat sosok bertubuh renta itu Tengah menonton televisi yang menampilkan sinetron kesukaan ibu-ibu yang entah apa itu judulnya.

Wanita lanjut usia yang tengah duduk berselonjor Di atas kasur itu menoleh dan tersenyum lembut kemudian menjawab, 

 “Oma nungguin Ray pulang.” 

Wanita itu mengusap halus rambut cucunya yang sudah duduk bersila di lantai.

 “Cucu Oma ini Dari mana hayo?” selidik wanita itu. Wajahnya yang Sudah terdapat beberapa kerutan itu semakin terlipat dalam saat alisnya sedikit terangkat penasaran.

 “Yah, biasa. Dari bengkel.” Ray berkata sedikit berbisik yang diangguki sang nenek. Jika dengan sang nenek Ray tak pernah berbohong. Dia akan selalu menceritakan apa saja yang telah ia lakukan ataupun yang ia rasakan. Bagi Ray sikap sang nenek yang selalu mendukung pilihannya dan yang selalu mendengar pendapatnya bagaikan angin sejuk yang ia dapatkan di tengah oase kerinduannya pada sosok ibu.

 “Cucu Oma sudah makan belum?” 

Ray yang sudah meletakkan kepalanya di atas kasur itu mengangguk,

 “Makan bakso tadi sama temen.”

Kepala Ray yang diletakkan miring menghadap ke nakas yang ada di samping tempat tidur itu tak sengaja melihat ada sebuah piring yang berisikan dua potong pisang goreng. Dengan sedikit mengangkat kepalanya tangan cowok itu meraih pisang goreng itu satu lalu memasukkan ke dalam mulutnya.

 “Enak. Ini siapa yang buat, Oma?” tanya Ray dengan mulut berisi pisang goreng yang ternyata sudah dingin itu.

 “Tadi sore dikasih sama tetangga baru depan rumah,” wanita yang usianya sudah menginjak 70 tahun itu meraih remote control yang berada di samping bantal untuk mengecilkan sedikit volume televisi yang sedari tadi tengah ia tonton,

 “habisin aja. Tadi Oma udah makan kok,” ujar wanita itu saat dilihatnya sang cucu Tengah menimang nimang pisang goreng yang hanya sisa satu itu.

Ray yang mendengar itu nyengir sebelum akhirnya kembali memasukkan pisang goreng itu ke mulutnya,

 “Hmm, Oma tuh gak boleh makan beginian banyak-banyak tahu. Kalorinya terlalu tinggi, nanti kolesterolnya naik. Aku aduin ke Papa loh.” Mulut cowok itu yang penuh dengan pisang goreng membuat perkataannya tidak begitu jelas.

 “Bilang aja kalau kamu kurang kan?” ejek sang nenek yang dibalas dengan cengiran ray.

Wanita itu mengambil segelas air hangat yang berada di atas nakas lalu ia berikan pada cucunya,

 “Tadi di depan ketemu Papa nggak?” tanyanya sambil perlahan membaringkan tubuh rentanya.

 “Iya. Lagi sibuk sama kerjaannya deh kayaknya,” jawab Ray sembari beranjak dari duduk bersilanya dilantai.

 “Jangan terlalu cuek, lain kali ajaklah Papamu itu mengobrol,” pinta wanita itu dengan wajah bersungguh-sungguh. Ia prihatin akan hubungan Sang putra dengan cucunya itu yang jauh dari kata akrab. Putranya yang ambisius dan gila kerja itu menurutnya terlalu mengekang cucunya. Sebenarnya ia pernah membicarakan hal itu dengan Sang putra. Namun, putranya yang memang pada dasarnya keras kepala itu hanya menganggap keberatan-keberatan yang selama ini cucunya utarakan padanya itu hanyalah fase biasa yang terjadi pada remaja labil yang belum menemukan jati dirinya.

Ray menganggukan kepalanya pelan,

 “Iya. Kapan-kapan aku ajakin ngobrol. Ya udah sekarang Oma istirahat ya,” kata Ray sambil membenarkan selimut Omanya yang tersingkap sedikit. Sebelum cowok itu keluar dikecutnya pipi neneknya itu dengan sayang,

 “Selamat istirahat, Oma.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!