Angin sore berhembus lembut melewati rumah kecil sederhana di pinggir desa. Cahaya matahari masuk dari jendela, menyorot wajah kecil Rida yang ceria, duduk di meja makan bersama ayahnya.
"Anak ayah makan dengan lahap ya. Tumbuh lah jadi anak yang kuat ya?" kata sang ayah, senyum hangat merekah di wajahnya yang lelah.
Rida kecil mengangguk penuh semangat.
"Baik, ayah! Rida akan menjadi kuat!"
Tangan kasar sang ayah mengelus kepala Rida penuh kasih.
"Bagus, bagus... Ayah selalu percaya padamu."
Tak lama, sang ibu datang dengan senyum manis, menyuapi Rida dan menatap suaminya.
"Tentu saja dia akan jadi kuat, sayang. Dia anak yang berbakat…"
Sang ayah hanya bisa mengangguk, lalu memeluk mereka berdua.
"Aku akan selalu melindungi kalian. Sampai kapan pun."
Namun janji itu hancur… pada suatu malam berdarah.
---
BRAAAK!!
Pintu rumah hancur diterjang paksa. Tiga orang pembunuh bertopeng masuk, mata mereka memancarkan niat jahat.
"Serahkan harta kalian semua!!" teriak salah satu dengan suara kasar.
Rida kecil menjerit, tubuhnya langsung dipeluk oleh ibunya. Ayah Rida berdiri menghadang mereka, tubuhnya gemetar tapi matanya penuh keberanian.
"Pergilah! Kami tidak punya harta!"
Salah satu pembunuh tertawa sinis dan mendekat.
"Oh? Tak masalah. Ginjal dan matamu pun cukup mahal."
Tawa mereka memenuhi ruangan. Lalu—ZRAK!
Pisau panjang menembus tubuh sang ayah.
"AYAH!!!" Rida menjerit histeris, melepaskan diri dari pelukan ibunya dan berlari.
Salah satu pembunuh langsung mengangkat pisau tinggi, siap menebas gadis kecil itu. Tapi… "TIDAK!!" sang ibu mendorong Rida — DUSK!
Pisau itu malah menancap di tubuh ibunya sendiri.
"Ri…da… lari lah… hi…dup… ja-dilah kuat…"
Suara terakhir ibunya terpotong oleh hembusan napas yang terakhir. Dunia Rida runtuh dalam sekejap. Tubuh kecilnya terduduk, tak bisa bergerak, menatap dua jasad orang yang paling ia cintai.
"Bersiaplah, bocah. Kau menyusul mereka."
Namun…
"AAAAAAAAAARGH!!!"
Sihir dalam tubuh Rida meledak liar — air di sekeliling bergemuruh, berputar dalam amarah dan kesedihan. Dari pusaran itu, terbentuk seekor naga air raksasa yang meraung dan menyapu ketiga pembunuh dengan kekuatan mematikan.
Dan saat semuanya usai... Rida hanya bisa menatap langit, kosong, sunyi... dan patah.
---
Kembali ke masa kini.
Gudang tempat Rida disekap penuh darah dan ketakutan. Seorang pembunuh sudah tersungkur, terbatuk darah. Sosok berjubah hitam berdiri di atasnya — Keter.
"Kau tahu? Aku benci pecundang... terutama mereka yang menindas yang lemah," gumam Keter, dingin.
Ia menarik rambut pembunuh itu, menciptakan pedang sihir dari energi bayangan, lalu menebas kepala sang pembunuh tanpa ampun.
"Tebus dosamu di neraka."
Darah menetes di lantai. Hening. Lalu Keter berbalik menatap Rida.
Rida terdiam. Tubuhnya masih gemetar, tapi kali ini bukan hanya ketakutan — ada juga trauma yang terbangun kembali.
"K-kenapa... kau menatapku seperti itu...?"
Keter melangkah perlahan. Suaranya tajam seperti pisau.
"Kenapa kau tidak melawan? Kenapa pasrah pada kematianmu? Kau punya potensi!"
Rida menggigit bibirnya. Di dalam pikirannya, suara ayah dan ibunya bergema... "Jadilah kuat."
Keter mengangkat pedangnya. Rida menutup mata, menanti akhir hidupnya.
Namun—pedang itu berhenti… tepat di lehernya.
"Kenapa kau pasrah? Kau bahkan bisa menendang tanganku dan kabur kalau mau."
Rida menangis. Bukan karena takut — tapi karena kecewa pada dirinya sendiri.
"Ini bukan urusanmu! Bunuh aku saja!!" teriaknya.
Keter mengernyit.
"Dirimu yang sebenarnya… sedang terkubur. Bunuh rasa takut itu. Tunjukkan siapa kau sebenarnya."
Ia menghilangkan pedangnya, menghancurkan borgol sihir Rida, lalu mengangkat tubuh gadis itu.
"Bangkit. Jadilah kuat. Aku akan mengantarmu pulang."
Rida terdiam... lalu untuk pertama kalinya sejak kecil, matanya berbinar — tidak dengan air mata, tapi dengan harapan kecil yang tumbuh kembali.
---
Beberapa waktu kemudian…
BRAK!
Pintu gudang didobrak. Leon masuk, langkahnya penuh percaya diri — sampai ia melihatnya…
Mayat para pembunuh.
"APA!?" Leon menggeram. "Siapa yang melakukan ini!? Rida!? Tak mungkin!"
Tiba-tiba, suara datar terdengar dari balik kegelapan.
"Aku."
Leon menoleh. Sosok berjubah muncul dari bayangan — Keter.
"Siapa kau!? Berani ikut campur urusanku!?"
"Aku adalah Keter. Yang berburu dari bayangan."
Leon membentuk bola api raksasa, lalu meneriakkan:
"MATILAH!!!"
BOOOOM!
Ledakan mengguncang gudang. Api melahap ruangan.
Tapi dari balik kobaran itu… suara tawa terdengar.
"Hahaha… Inikah... sihir terkuatmu?"
Keter berdiri tanpa luka. Sebuah penghalang sihir berbentuk bayangan melindunginya. Ia menciptakan pedang lagi dan berjalan mendekat.
Leon gemetar.
"A-apaan kau ini…!?"
Dalam sekejap, Keter menghilang dari pandangan dan muncul di belakang Leon — pedangnya hanya menggores pipi pemuda itu.
"Besok pagi... minta maaf pada Rida. Kalau tidak… kau akan menyesal."
Leon berdiri membatu. Keter menghilang.
"SIAAAALLL!!!" raungnya, menendang puing di sekitarnya.
---
Di tempat lain...
Seseorang berdiri di depan cermin di dalam kamar asrama.
Jubah hitam itu menghilang dalam kilatan sihir.
"Aku tadi keren banget anjir!!!" seru Mugi, wajahnya dipenuhi rasa puas, tapi juga sedikit... kesepian.
Lalu ia menatap bayangannya sendiri dan berbisik pelan...
"Tapi... sampai kapan aku bisa sembunyi...?"
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments