Bertahun-tahun telah berlalu sejak ledakan maha dahsyat menghancurkan Desa Terang — tragedi yang mengguncang dunia sihir hingga ke akar-akarnya. Namun waktu, seperti biasa, berjalan tanpa belas kasihan… dan umat manusia, seperti biasa, memilih untuk bangkit.
Sekolah sihir Sendai Tatsuno, simbol harapan dan kebangkitan, kini berdiri kembali. Dindingnya yang dulu hangus kini menjulang megah, menampung harapan baru generasi penerus. Di antara mereka, seorang elf tua bernama Melly, saksi hidup tragedi masa lalu, kini berdiri sebagai guru sihir paling dihormati. Dengan ketenangan dan kebijaksanaannya, ia membimbing para murid muda — menyalakan nyala api kecil di dalam jiwa mereka.
---
Di tepi desa, di sebuah rumah kayu sederhana, dua saudara tengah berlatih.
Chaerin, gadis remaja berambut hitam panjang dan sorot mata tegas, memegang pedang kayu dengan tangan mantap. Setiap gerakannya tajam dan cepat — seperti bayangan yang menebas udara. Di hadapannya, berdiri seorang anak laki-laki bermata cokelat yang penuh semangat, tubuh kecilnya dibasahi keringat. Mugi — adik sekaligus murid satu-satunya.
“Bersiaplah, Mugi,” ucap Chaerin, sambil mengangkat pedangnya. “Kau akan masuk sekolah sihir. Pedang dan sihir, kau harus tangkas dalam keduanya.”
Mugi menatap kakaknya dengan wajah polos.
“Meskipun aku berlatih sekeras apa pun... aku tetap tidak akan menang melawan Kakak, kan?”
Chaerin tersenyum, berusaha menyembunyikan kekecewaan yang samar di balik kelembutan wajahnya.
“Kau tidak boleh seperti itu, Mugi. Kau pasti bisa.”
Chaerin melompat menyerang. Pedang kayunya menghujani Mugi dengan gerakan cepat dan beruntun. Mugi berusaha menangkis, tapi gerakannya kaku dan lamban. Beberapa pukulan menghantam tubuhnya, menjatuhkannya ke tanah.
“Aduh... Kakak terlalu kuat...” keluh Mugi sambil mengelus lengannya yang memar.
Chaerin menatap adiknya dengan tatapan resah.
“Dia masih belum berkembang…” bisiknya dalam hati. “Mugi, kau harus berlatih sendiri dulu. Aku akan pergi sebentar.”
Chaerin meninggalkan halaman, langkahnya berat.
Tapi saat punggungnya menghilang di balik pintu rumah...
Mugi berdiri perlahan, dan senyum licik terukir di bibirnya.
“Berakting jadi orang lemah itu… sangat melelahkan,” gumamnya.
Ia berjalan masuk ke kamar dan menarik sebuah buku tua dari bawah ranjang. Sampulnya lusuh, namun di dalamnya tergambar sosok berjubah gelap — Pembunuh Bayangan. Tatapan Mugi menyala.
“Dia… keren banget,” bisiknya. “Nanti di sekolah, aku juga akan jadi sosok misterius seperti ini. Lemah di luar... tapi sebenarnya hebat.”
---
Keesokan harinya, gerbang Sendai Tatsuno dibuka lebar-lebar. Murid-murid baru membanjiri halaman utama dengan wajah penuh semangat, takut, dan rasa penasaran. Di antara mereka, Mugi berdiri, mengenakan jubah lusuh dan ekspresi kosong.
“Lumayan banyak murid baru,” gumamnya. “Baiklah... mode ‘figuran lemah’ aktif.”
Di kejauhan, dua gadis berjalan berdampingan. Zahra, dengan rambut dikuncir dan langkah percaya diri, menunjuk ke arah Mugi.
“Lihat cowok itu, Rida. Culun banget, ya?”
Rida, yang lebih kalem dan sopan, tersenyum.
“Kita nggak boleh nilai dari tampangnya aja. Siapa tahu dia jago sihir.”
Zahra mendengus. “Ah, mungkin kau benar.”
Rida menarik Zahra menuju aula penyambutan. Di lantai dua, Melly memandang dari jendela kaca besar, menyapu barisan murid baru dengan senyum hangat... hingga pandangannya jatuh ke satu anak.
Mugi.
Ia membelalak. Tatapan matanya tajam, membaca aura yang tak terlihat oleh manusia biasa.
“Itu… inti sihir penciptaan…” bisiknya. “Seperti… Haruto…”
Langkah kaki menghentikannya. Pak Gensou, kepala sekolah tua dengan jubah panjang dan tongkat berlambang bintang tiga, menghampiri.
“Pagi, Melly,” ucapnya ramah.
“Selamat pagi, Pak Gensou,” balas Melly.
Pak Gensou mengangguk perlahan.
“Pekerjaanmu semakin berat, ya?”
Melly menghela napas. “Sepertinya begitu... murid-murid terus bertambah.”
Gensou menatap langit.
“Jangan menyerah. Mereka ini bukan sekadar murid. Mereka calon pahlawan masa depan. Sekolah ini… hanya tiang pancang. Kau, Melly, adalah jembatannya.”
Melly menunduk dalam-dalam, mengenang wajah seseorang.
“Haruto…” gumamnya. “Mimpimu… akhirnya terwujud.”
---
Di ruang kelas, suasana riuh penuh tawa dan perkenalan. Tapi di sudut ruangan, Mugi duduk sendirian, wajahnya malas.
“Berisik banget,” gerutunya dalam hati.
Tiba-tiba, seorang anak laki-laki berambut cokelat acak-acakan menghampirinya.
“Yo! Kenapa diem aja, teman?” sapanya ceria. “Namaku Oneal! Sihirku suport — aku bisa ngasih buff ke orang lain!”
Mugi memandangnya datar.
“Kau terlalu mencolok…”
Tak lama kemudian, seorang anak laki-laki lain, Leon, mendekat sambil menyeringai sinis.
“Cowok… dan tipe sihir suport? Memalukan.”
Oneal gugup. “Tapi... bukankah sihir suport bisa memperkuat teman dalam pertarungan?”
Leon menyeringai dan mendorong bahunya. “Kau berani membantah seorang bangsawan?”
Mugi menyipitkan mata.
“Menarik…” pikirnya. “Tapi aku hanya figuran. Belum saatnya tampil.”
Leon mengangkat tangan — api muncul di telapak tangannya.
“Kau mau ngerasain ini, hah?”
Tiba-tiba—
SHHH!
Sebuah pelindung air muncul, membendung api itu.
“APA-APAAN ITU!?” bentak seorang gadis.
Rida berdiri di depan Oneal, wajahnya marah.
“Kau menyerang orang yang bahkan tak menyakitimu? Dasar pengecut!”
Leon tertegun. Tapi dalam sedetik, senyumnya kembali.
“Hmm… kemampuanmu lumayan… dan kau juga cantik.” Ia mengedip. “Aku mulai mengagumimu, Nona.”
Rida memutar bola mata.
“Menjijikkan.”
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments