Sebelum adzan Magrib berkumandang, Ibam dan Rai memilih pamit dari rumah Bude’ Aya. Mereka diantarkan oleh Naura yang masih saja menampakkan senyum begitu manis diwajahnya. Setelah meninggalkan rumah bude’ Aya mereka langsung menuju masjid yang ada didalam area pesantren.
“Rai, jangan bilang ke umi ya, kalau aku nyerempet orang.” Tutur Ibam yang berada dibelakang Rai. Kali ini Rai yang mengendarai motor.
“Kenapa memangnya ? Biar bu nyai tau Bam.” Ucap Rai sambil fokus menyetir.
“Iya aku takut ntar umi cemas dan takut juga ngomelin aku Rai.” Ujar Ibam dengan cemas.
“Emang gimana sih ceritanya, kok bisa gitu.” Tanya Rai kembali.
“Iya Rai, tadi pagi pas mau ke Rumah sakit aku telponan singkat sama Ari, pas aku tutup telpon dan gadis itu mau nyeberang, trus aku juga nggak liat depan. Dan ya akhirnya gitu deh.” Jelas Ibam dengan singkat.
“Akan aku usahakan untuk tidak menceritakannya Bam.” Ujar Rai.
“terima kasih.” Balas Ibam.
Raiyan dan Ibam memang tumbuh bersama dilingkungan pesantren. Walaupun Ibam adalah anak dari pemilik pesantren tempat Rai mengajar. Tak menjadikan adanya pemisah antara kedua pria tersebut. Ibam malah menyuruh Rai untuk memangggil namanya saja langsung tanpa ada kata mas, ataupun yang lainnya.
Setelah sampai dilingkungan pesantren, dengan segera mereka berjalan menuju tempat wudhu untuk ikut sholat berjamaah. Setelah menyelesaikan sholat Magrib, kini Ibam dan Rai mengaji dengan para santri laki-laki. Ibam begitu fokus dengan bacaannya sedangkan Rai, entah kenapa laki-laki itu terlihat gusar dan beberapa kali mengucapkan Istigfar disela-sela bacaannya.
Puk,,
Rai begitu terkaget ada seseorang yang memukul pundaknya. Ternyata pak kyai.
“Kamu kenapa ?” Tanya pak kyai Abu, dan mengajak Rai menjauh dari yang lainnya.
“Ah tidak apa-apa pak kyai.” Jawab Rai sopan.
“Apa ada hal yang mengganggu pikiranmu nak ?” Tanya pak kyai kembali.
“Saya rasa begitu pak kyai.” Jawab Rai kemudian menyudahi dan menutup Al-Qur’annya.
“Ada apa memangnya ?” Tanya pak kyai lagi-lagi.
“Sayapun tidak mengerti, pikiran apa yang sedang membuat saya begitu gusar pak kyai.” Jawab Rai dengan menatap kesembarang arah.
“Perbanyak sholat dan dzikir nak, semoga Allah menyudahi kegusaranmu itu.” Saran pak kyai dan meninggalkan Rai.
Rai mengikuti saran pak kyai Abu, dan kini ia larut dalam dzikirnya. Sambil memejamkan mata ia begitu khusyu’ dalam menyebut nama sang pencipta. Hingga tak menyadari kehadiran Ibam disampingnya. Ibam menunggu Rai dengan sabar, tak ingn mengganggu sahabatnya itu.
“Bam.” Panggil Rai yang kini menyudahi dzikirnya.
“Hmm.” Jawab Ibam singkat.
“Kenapa ?” Tanya Rai.
“Kamu yang kenapa ? Tiba-tiba udah nggak ada diantara santri.”
“Iya tadi ada pak kyai.” Jawab Rai.
“Abi ? Kamu ngomong apa ke abi Rai ?” Tanya Ibam dengan penasarannya.
“Nggak, nggak ngomong apa-apa. Cuma tadi pak kyai ngasih saran buat perbanyak sholat dan dzikir.” Jawab Rai jujur.
“Memangnya kamu kenapa ?” Tanya Ibam kembali.
“Entahlah.” Ucap Rai dengan wajah datar.
Ibam hanya menatap Rai singkat dengan ekspresi datarnya.
Setelah mendapatkan jawaban yang menurut Ibam kurang sesuai dengan pertanyaannya. Ibam langsung mengerti bahwa Rai belum siap atau bahkan tidak siap untuk bercerita kepadanya. Kemudian dua pemuda itu hanya berbincang-bincang kecil tentang segala hal yang bisa diperbincangkan, dan sesekali menimbulkan gelak tawa pada keduanya.
Suara adzan Isya kini terdengar dan menghentikan perbincangan keduanya, mereka beriringan menuju tempat wudhu yang telah ramai oleh para santri laki-laki. Setelah keduanya menyelesaikan wudhu merekapun ikut bergabung dengan para santri dan menunaikan ibadah sholat Isya.
“Ibam.” Panggil pak kyai dan menghentikan obrolan Ibam dengan salah satu santri ketika usai melaksanakan sholat Isya.
“Abi, iya bi ada apa ?” Tanyanya sambil berjalan sopan mengarah pada sang abi.
“Kamu masih ada kegiatan setelah ini ?” Tanya Pak Kyai Abu.
“Sudah tidak ada abi.” Jawab Ibam.
“Ya sudah, mari kita ke rumah.” Ajak kyai Abu dan menggandeng tangan anak laki-lakinya itu.
Ibam hanya menurut saja dan mengikuti langkah pak kyai Abu yang berjalan menuju rumah.
“Assalamualaikum.” Ucap Ibam dan pak kyai Abu.
“Waalaikumussalam.” Jawab seorang wanita dari arah rumah. “Abi, Ibam. Sudah pulang ternyata.” Suara wanita itu terdengar begitu lembut, beliau adalah Ibu Nyai Zainab Istri dari pemilik pesantren Al-Ali.
“Iya umi.” Jawab Ibam dan berjalan beriringan dengan kedua orang tuanya itu.
“Bam, kamu tadi sore kemana nak ?” Tanya kyai Abu pada putranya yang kini duduk dimeja makan.
“Ehh, keluar bi.” Jawab Ibam dengan gugupnya.
“Keluar kemana ?” Tanya bu Nyai Zainab sembari mengambil lauk pauk untuk pak kyai.
“Ada urusan sebentar umi.” Jawab Ibam sopan.
“Tadi sore ada seorang santri yang melihatmu bersama Rai keluar. Makanya abi menanyakan kalian kemana ?” Ucap kyai Abu dan memulai makannya.
“Iya abi, tadi Ibam mengajaknya, karena ada sesuatu yang Ibam urus bi.” Jawab Ibam yang tak memberi tahu hal apa yang diurusnya itu.
“Iya sudah, ayo makan.” Ajak bu Nyai Zainab.
Tiga orang yang berada dimeja makan itupun menikmati makan malamnya dengan sesekali berbincang.
***
Sedikit berbeda dikediaman bude’Aya, Indara masih menunggu Bude’ Aya yang belum pulang dari pabrik sambil melanjutkan membaca buku, sedangkan Naura memilih mengerjakan tugas kuliahnya.
“Kamu ngerjain apa Nau ?” Tanya Indara menutup buku bacaannya.
“Ini mbak cantik, lagi ngerjain essay.” Jawab Naura tanpa mengalihkan pandangan pada Indara.
“Ohh, eh Nau. Tadi siapa namanya cowok yang nyerempet aku tadi pagi ?” Tanya Indara dan langsung membuat Naura mengehentikan ketikan dari keyboard laptopnya.
“Mas Ibam mbak.” Jawab Naura kemudian menatap Indara.
“Kalau temannya itu, siapa ?” Tanya Indara kembali.
“Itu, itu mas Rai mbak. Dia ngajar dipondok pesantren milik orang tua mas Ibam.” Jelas Naura dengan singkat.
“Dia anak kyai berarti ?”
“Iya mbak cantik. Anak pemilik pesantren yang nggak jauh dari rumah ini.” Jawab Naura pada Indara.
“Apa pesantren itu yah ?” gumam Indara. “Kalau nggak salah namanya Al-Ali.” Gumamnya kembali.
“Iya mbak, pesantren Al-Ali, kami biasanya juga ikut pengajian disana. Biasanya ada kajian rutin gitu dan terbuka untuk umum.” Jelas Naura.
“Apa aku boleh ikut juga Nau ?” Tanya Indara.
“Boleh mbak, biasanya itu setiap Rabu sama Jum’at sore.” Ucap Naura memberitahu jadwal pengajian pada Indara.
“Dua kali seminggu yah.” Tegas Indara.
“Iya mbak cantik.” Jawab Naura dan melanjutkan mengetik kembali.
“Kok, bude’ tau nama cowok itu Nau ?” Lagi-lagi Indara bertanya.
“Iya mbak, Bu Nyai Zainab berteman baik dengan ibu. Biasanya kalau ada acara dipesantren ibu membantu konsumsinya mbak cantik.” Terang Naura.
“Ohh, gitu.” Timpal Indara dan melanjutkan membaca buku.
Beberapa lama setelah itu terdengar suara mobil yang berhenti didepan rumah. Pertanda Bude’ Aya telah sampai. Bu Titi dengan sigap langusng menuju pintu depan untuk membukakan pintu bagi pemilik rumah.
“Assalamualaikum.” Salam Bude’ Aya sambil berjalan keruang keluarga tempat ponakannya berada.
“Waalaikumussalam.” Jawab Indara dan Naura bersamaan.
“Kalian sudah makan ?” Tanya Bude’ Aya dan duduk disofa yang tak jauh dari Indara.
“Belum bude’, nunggu bude’.” Jawab Indara.
“Ya sudah, ayo kita makan dulu. Biar habis makan bude’ langsung bersih-bersih. Masih ada yang harus bude’ kerjakan lagi.” Jelas Bude’ Aya.
“Kakimu gimana Ra ? Apa Ibam kesini tadi ?” Tanya bude’ kembali.
“sudah tidak sesakit tadi bude’, iya tadi dia kesini.” Jawab Indara dan membenarkan ucapan bude’nya tadi pagi, yang mengatakan bahwa Ibam akan kembali memeriksa lukanya.
“Sendiri ?” Tanya bude’ Aya kembali.
“Tidak bude’, sama temannya. Tapi siapa ya namanya.” Jawab Indara dan mengingat teman laki-laki yang memeriksa lukanya tadi.
“Mas Rai bu.” Jawab Naura yang sedang mempersiapkan makanan.
“Ah iya Rai namanya.”
Bude’ Aya hanya mengangguk dan bergumam “sama Raiyan.”
Bude’ Aya, Indara, Bu Titi, dan Naura kini sedang menikmati makan malamnya. Sesekali mereka selingi dengan obrolan ringan hingga Indara mengingat sesuatu.
“Bude’ pengajian rutin dipondok pesantren itu Rabu ini ada kah ?” Tanya Indara.
“Iya ada Ra.” Jawab bude’ Aya.
“Indara boleh ikut nggak bude’, bareng sama bude’.” Pintanya.
“Boleh dong.” Jawab Bude’ Aya disela makannya. “Tapi Bude’ nggak janji ya nak, bude’ sama mbakmu lagi sibuk-sibuknya dipabrik. Makanya hari ini bude’ pulang malam . abis dari pabrik.” Jelas Bude’ Aya.
“Hmmm, ya udah bude’.” Jawabnya singkat dengan nada sedikit kecewa. “Kalau kamu Nau bisa ?” Tanyanya kemudian pada Naura.
“Kalau nggak ada jam pengganti mata kuliah mbak.” Jawab Naura dengan lembut.
“Ya udah sama bu Titi saja. Bisa nggak bu ?” Tanyanya lagi pada bu Titi yang kini menjadi penentu, karena tak mungkin ia akan kepengajian itu sendiri.
“Kalau kakinya mbak Ara sudah tidak sakit lagi.” Ucap bu Titi dan tersenyum lembut.
“Okeeh.” Ucapnya dengan kembali semangat.
Seusai menikmati makan malam, mereka kembali pada kegiatan masing-masing. Bude’ sudah lebih dulu kembali kekamarnya dan melanjutkan pekerjaanya. Sementara Indara ingin membantu untuk membersihkan perlengkapan makan mereka namun malah dilarang oleh Bu Titi juga Naura. Alhasil ia juga kembali kedalam kamarnya, dengan berjalan sangat hati-hati.
Sesampainya dikamar ia meletakkan buku yang sempat dibaca tadi di atas rak buku. Kemudian beranjak ke tempat tidur dan memeriksa ponsel miliknya. Perhatiannya teralihkan pada nomor yang mengiriminya pesan namun tidak tersimpan dikontak HPnya.
Assalamualaikum mbak. Insya Allah besok pagi saya ketempat mbak lagi untuk mengganti perbannya. –Ibam.
“Waalaikumussalam. Iya, kan memang jadwalnya besok. Nggak usah panggil mbak, cukup panggil Dara atau Ara saja.” Balasnya dengan ketus.
Ibam yang baru saja akan meletakkan ponselnya di atas meja samping tempat tidur, mengurungkan niatnya ketika menerima notif balasan pesan dari Indara. Senyum disunggingkan saat membaca pesan tersebut. Dengan cepat jemarinya pun mengetik dan mengirim balasannya pada Indara.
Baiklah, aku akan memanggilmu Dara.
Indara hanya membaca pesan tersebut tanpa berniat untuk membalasnya. Kemudian mulai membersihkan diri sebelum beranjak tidur.
Sementara disalah satu kamar di sebuah rumah, seorang pemuda sedang tersenyum kecil dan menghiasi wajah tampannya. Namun entah apa yang menjadi penyebab senyum itu muncul.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments