Sekeluarnya Ibam dari rumah Bude’ Aya, membuat Indara semakin meringis kesakitan dan malah semakin keras.
“Bude’ sakit bude’.” Ucapnya sambil melihat perban dibetisnya.
“Iya iya bude’ tau Ra. Sekarang coba ceritakan pada kami kenapa kamu bisa seperti ini sayang ?” Tanya Bude’ Aya.
“Tadi pas Ara mau nyebrang didepan rumah tu, tiba-tiba aja masnya nyerempet Ara dan jatuh, trus gini deh jadinya. Abis itu ada mas Arfan sama mas Akmal.” Jelas Indara singkat.
“Ya udah kamu hari ini istrahat aja. Jangan ke toko dulu untuk beberapa hari kedepan.” Ujar Bude’ Aya.
“Tapi bude’.” Rengek Indara.
“Nggak ada tapi-tapian. Untung tanganmu nggak parah Ra, cuma lecet dikit.” Jelas bude’ Aya dan langsung menuju kamarnya untuk bersiap-siap ketoko.
“Iya mbak cantik dirumah aja dulu ya. Ntar kalau udah sembuh kan bisa ke toko.” Ucap Naura dengan lembut.
“Iya udah deh.” Ucapnya dengan tatapan sayu. “Ini semua gara-gara tu cowok, dasar.” Gerutunya pada diri sendiri merutuki Ibam yang tak sengaja menyerempetnya tadi.
Naura dan Bu’ Titi langsung melanjutkan aktivitas masing-masing, meninggalkan Indara yang terduduk disofa ruang keluarga dengan mulut yang entah mengucapkan kalimat apa.
Cukup lama Indara duduk disofa ruang keluarga sambil menonton TV dan berusaha sekuat mungkin menahan sakit dibetisnya.
“Ara, nanti kalau kamu butuh apa-apa, bilang ke bu Titi ya.” Ucap bude’ Aya dari kamarnya dan sedang menuruni tangga.
“Iya bude’.” Jawab indara singkat.
“Ingat ya lukamu jangan sampai kena air dulu. Ingat kan apa kata nak Ibam tadi.” Jelas bude’ Aya lagi.
“Iya bude’ Ara ingat.”
“Ya udah bude’ berangkat ya nak. palingan nanti sore nak Ibam kesini lagi buat ngecek luka kamu.” Ujar bude’ Aya sebelum berangkat.
“Nggak usah, nggak perlu repot-repot.” Tolak Indara dengan ketus.
“Lah bukan bude’ yang nyuruh. Tapi liat aja ntar ya.” Ucap bude’ Aya dengan senyum tipis terkesan seperti menggoda.
“Nuara, Nauraa.” Panggil Bude’ Aya pada anak dari asisten rumahnya itu sambil berjalan kearah dapur.
Dari arah kamar disamping dapur terdengar sahutan dari Naura dan segera mendatangi Bude’ Aya.
“Kamu hari ini ada kuliah pagi ?” Tanya Bude’ Aya.
“Iya bu, tapi nanti setelah dari kampus saya langsung ketoko.” Jawab Naura dengan sopan.
“Ya sudah, saya kira nggak ada kuliah pagi. Mau saya ajak kamu sekalian.” Tutur Bude’ Aya.
“Nggak usah bu, saya berangkat sendri saja bu.” Tolak Naura.
“Iya sudah, saya berangkat dulu. Assalamualaikum.” Pamit Bude’ Aya pada orang rumahnya, kemudian berjalan keluar rumah.
“Waalaikumussalam.” Jawab mereka serempak.
***
Ibam yang tadi keluar dari rumah Bude’ Aya langsung melajukan motornya untuk menjemput Ari, dapat dipastikan laki-laki itu akan kesal karena Ibam yang datang terlambat. Begitu juga mereka akan terlambat kerumah sakit.
Setibanya Ibam didepan rumah Ari langsung saja mendapat omelan.
“Lama banget sih kamu Bam, hampir aja aku naik ojek online.” Omel Ari dan duduk dibelakang Ibam.
“Udah jangan cerewet bisa nggak sih.” Ucap Ibam dan langsung menjalankan motornya.
“Kamu kenapa sih ? padahal tadi bilang udah dijalan.” Tanya Ari kembali.
“Tadi aku nyerempet orang dikompleks perumahan, gara-gara kamu nelpon.” Jelas Ibam.
“Kok bisa ?” Tanya Ari dengan kagetnya.
“Iya bisalah.” Sergah Ibam.
“Trus orangnya sekarang gimana ?” Tanya laki-laki itu kembali.
“Udah, ntarku jelasin.” Timpal Ibam singkat dan fokus membawa motor.
Sesampainya di parkir rumah sakit, kedua laki-laki itu bergegas untuk masuk karena mereka sudah telat sekitar 10 menit.
***
Indara masih saja berada didepan TV dan mengganti-ganti chanel yang sekiranya bisa ditonton. Hingga gadis itu menjadi bosan dan menekuk wajah karena kesal.
“Bu Titi, saya kekamar dulu yah. Saya mau mandi.” Ucap Indara pada Bu Titi yang sedang mengepel.
“Iya mbak, tapi lukanya jangan sampai kena air dulu ya mbak.” Ujar bu Titi.
“Iya bu.” Ucap Indara, dan beranjak dari tempat duduk dengan susah payah.
“Biar ibu bantu mbak.” Saran Bu Titi.
“Nggak usah bu, bisa kok ini.” Jawab Indara dan mulai berjalan dengan tertatih-tatih.
“Ini semua gara-gara tu orang. Aku sampai kayak gini. Awas aja.” Gumamnya sambil berjalan menaiki tangga.
Bu Titi yang mendengar gumaman Indara hanya tersenyum kecil.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 16:00, Ibam dan Ari tengah berada disebuah cafe yang dekat dengan Rumah Sakit tempat mereka bekerja. Terlihat lelahnya mereka setelah menyelesaikan shift hari ini.
“Hmm, jadi gimana orang yang kamu serempet tadi ?” Tanya Ari membuka perbincangan.
“Iyaa, nggak gimana-gimana. betisnya kena samping jalan. Lumayan parah tapi tadi aku obatin dulu sebelum jemput kamu. Makanya aku telat.” Jelas Ibam dan menatap kesembarang arah.
“Keluarganya nggak marah ?” Tanya Ari kembali.
“Bude’ nya sih nggak, paling kesal. Tapi dua masnya kayak mau makan aku tadi pagi.” Ucap Ibam dan tersenyum kecil mengingat ekspresi Arfan dan Akmal pagi tadi.
“Bude’ ?”
“Iya, dia ponakannya bu Haya, pemilik toko roti itu.” Jelas Ibam kembali. “Kayaknya tu cewek kesal banget deh sama aku. Tapi abis ini aku mau ngecek lukanya dia lagi.”
Ari hanya mengangguk mendengar penjelasan Ibam, dan kedua pemuda itu hanya berbincang-bincang kecil sambil menghabiskan minuman mereka sore itu.
“Udah mau Magrib ni, pulang yuk. Aku juga harus ngajar ngaji abis Magrib.” Ajak Ibam pada Ari.
“Ayo lah.” Setuju Ari.
Kedua laki-laki itu berjalan keluar cafe dan menuju rumah Ari.
***
“Mbak Ara, mau makan apa ntar malam ?” Tanya Bu Titi dari arah dapur.
“Apa aja bu, yang penting jangan Udang sama Kepiting bu.” Ucap Ara yang sedang berselonjoran di sofa sambil membaca buku.
“Sop sama ikan goreng mau mbak ?” Tanya Bu Titi lagi.
“Iya bu, nggak apa-apa.” Mengangguk tanda setuju. “Emang bude’ biasanya makan sama lauk apa bu ?” Tanya Indara kembali.
“Ibu Haya makan apa aja mbak, apa yang saya masak aja.” Jawab Bu Titi sambil memotong sayur.
Indara hanya ber “oh”, menanggapi bu Titi dan melanjutkan membaca.
“Assalamualaikum.” Terdengar suara orang memberi salam dari arah luar rumah.
“Waalaikumussalam.” Jawab Indara dan Bu Titi. Kemudian Bu Titi berjinjit untuk melihat siapa yang memberi salam.
“Laaah, nak. Ibu kira siapa toh.” Ucap Bu Titi pada anak gadisnya, kemudian membuka pintu gerbang.
“Hehehe iya bu. Tadi saya lupa bawa kunci gerbang.” Ucap Naura dengan cengengesan dan menuntun motornya menuju garasi.
“Ibu mana ?” Tanya Bu Titi pada Naura. “Dan kok tumben kamu pulang jam segini ?” Tanya Bu Titi kembali yang mendahului Naura memasuki rumah.
“Ibu, ke pabrik bu. Iya, ibu nyuruh saya pulang cepet biar ada yang nemenin mbak cantik.” Jelas Naura pada ibunya.
“Iya sudah. Itu mbak Ara lagi diruang keluarga.” Ucap bu Titi dan menunjuk pada Indara.
Naura segera menuju Indara yang sedang asyik membaca hingga tak menyadari kedatangan Naura.
“Mbak cantik lagi baca buku apa ?” Tanya Nuara sembari berjalan menuju Indara.
“Loh Nau, udah pulang ? Bude’ mana ?” Tanya Indara.
“Ibu ke pabrik mbak, saya disuruh pulang cepat biar nemenin mbak cantik.” Jelas Naura kembali.
“Oh iya udah. Aku lagi baca buku ini.” Tutur Ara dan memperlihatkan cover buku yang di baca pada Naura. Cover buku tersebut bertuliskan “Khadijah” istri pertama Rasulullah.
Naura yang melihat buku tersebut hanya tersenyum lebar dan mengangguk.
“Kamu bersih-bersih aja dulu Nau.” Pinta Indara.
“Iya udah mbak cantik, saya kekamar dulu. Ntar saya kesini lagi.” Ucap Naura dan meninggalkan Indara.
***
Ibam yang baru saja sampai dikompleks pesantren langsung ke rumah untuk membersihkan diri, karena sore ini ia berencana untuk melihat bagaimana keadaan Indara, gadis yang diserempetnya tadi pagi.
Setelah membersihkan diri, ia mulai berjalan menuju tempat motornya terparkir. Namun ia berhenti karena memikirkan sesuatu.
“Masa aku kesana sendiri sih.” Gumamnya pada diri sendiri, tak berselang lama wajah tampan itu kini terhias senyum yang sumringah.
“Rai, Raiyan.” Panggil Ibam pada seorang pemuda yang baru saja keluar dari rumahnya yang tak jauh dari kompleks pesantren.
Raiyan yang mendengar panggilan Ibam langsung menoleh pada laki-laki yang memanggilnya itu.
Ibam menggerakkan tangannya dan berkata “Sini Rai.”
Raiyan segera berlari ke tempat Ibam berdiri. “Assalamualaikum Bam. Kenapa ?” Tanya Rai.
“Waalaikumussalam.” Jawab Ibam. “Ikut aku bentar yuk.” Ucap Ibam kembali.
“Kemana ?” Tanya Rai yang kebingungan karena Ibam sekarang sudah berada di atas motor.
“Udah ayo, bentar aja.” Paksa Ibam dan menarik tangan Rai untuk duduk dibelakangnya.
Dua laki-laki itu tengah melaju ke rumah Bude’ Aya, namun Rai masih bingung kemana tujuan mereka.
“Ini kita mau kemana Bam ?” Tanya Rai yang berada dibelakang Ibam.
“Udah ntar kamu juga tau.” Ucap Ibam.
Rai hanya mendengus kesal pada sahabatnya itu, kemudian memilih untuk diam saja.
Tak butuh waktu lama Ibam melajukan motornya dan kini mereka telah sampai didepan rumah Bude’ Aya. Rai terheran-heran kenapa Ibam mengajaknya kerumah pemilik salah satu toko roti terbesar dikotanya itu.
“Kita ngapain Bam kesini ?” Tanya Rai dan turun dari motor.
“Udah ikut aja.” Jawab Ibam dan kemudian memencet bel didepan gerbang.
Di dalam rumah.
Naura yang membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk membersihkan diri, kini terlihat lebih segar dan menggunakan baju rumahan tentu dengan penutup kepala yang senantiasa menutup mahkotanya. Ia melangkahkan kaki kearah ruang keluarga tempat Indara berada, namun pendengarannya mendengar ada yang memencet bel rumah Bude’ Aya. Langsung saja Naura berjalan menuju pintu dan melihat siapa yang bertamu sore-sore begini.
Sesampainya diteras, sontak dadanya berdegub kencang dan rasa gugup mulai melingkupi dirinya. Dilangkahkan kaki menuju gerbang tempat kedua laki-laki tersebut menunggu.
“Assalamualaikum mas Ibam, mas Rai.” Sapa Naura sopan, sambil tangannya membuka gembok gerbang.
“Waalaikumussalam.” Jawab kedua pemuda itu serempak.
“Ada apa ya mas ?” Tanya Naura dengan pandangan yang tertunduk.
“Mbak yang tadi pagi saya serempet itu ada Naura ?” Tanya Ibam.
Rai yang mendengar apa yang dikatakan oleh Ibam, langsung membelalak dan menatap Ibam dengan mata yang hampir terlepas dari tempatnya.
“Kamu nyerempet orang Bam ?” Tanya Rai tak percaya.
“Hmm.”
“Ada mas, ayo saya antarkan.” Ujar Naura mempersilahkan kedua pemuda itu masuk. Sedangkan ia kembali mengunci pintu gerbang dan tersenyum sumringah.
Ibam dan Rai memilih untuk menunggu Naura didepan pintu sebelum masuk ke dalam rumah.
“Mari mas.” Ucap Naura, dan mempersilahkan kedua laki-laki itu berjalan lebih dulu, hingga sampai di depan ruang keluarga.
“Mbak cantik.” Panggil Naura pada Indara yang masih saja asyik membaca buku dan tangan kanannya memegang potongan Apel yang diantarkan oleh Bu Titi beberapa waktu lalu.
“Iya.” Ucapnya tanpa mengalihkan pandangan pada Naura.
“Mas Ibam mau liat lukanya mbak cantik.” Ujar Naura dan mempersilahkan Ibam beserta Rai untuk duduk.
“Mbak cantik ?” Batin kedua laki-laki yang akan duduk di salah satu sofa.
Mendengar nama Ibam langsung membuat pandangan Indara tertuju pada laki-laki yang telah menyerempetnya tadi pagi.
“Oh.” Jawab Indara kemudian menutup buku yang sempat dibacanya, dan kakinya diangkat untuk menyentuh lantai.
Pandangan kedua pemuda itu mengarah pada buku yang dibaca oleh Indara.
“Nggak usah diturunin.” Pinta Ibam.
Indara hanya mengangguk dan menurut.
“Tadi kena air ?” Tanya Ibam.
Indara hanya menggeleng dan menatap perban dibetisnya.
“Apa masih sakit seperti tadi pagi ?” Tanya Ibam lagi.
“Sudah nggak, cuma kalau mau dibawa jalan agak nyeri gitu.” Jawab Indara.
“Oh itu biasa kok. Kamu bisa hubungin aku buat ganti perbannya ntar. Biar sekalian aku liat gimana perkembangannya.” Jelas Ibam. “Ini kontak HP ku.” Ucap Ibam kemudian meletakkan HPnya di atas meja untuk dicatat oleh Indara.
Indara melihat kearah Ibam sekilas dan meraih HP pemuda tersebut dan mulai mengetik sesuatu. Bukannya menyalin kontak Ibam, tapi gadis tersebut malah mengetik kontak HPnya. Setelah itu meletakannya kembali di atas meja.
Melihat kejadian itu, Ibam dibuat tertawa sekilas. Begitu juga dengan Rai yang tersenyum dan kemudian mengalihkan pandangannya pada buku yang dibaca oleh Indara tadi.
Naura hanya menunduk dan sesekali memperhatikan tingkah ketiga orang yang bersamanya itu, sambil menahan senyum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments