CHAPTER 2

Happy Reading 👑

...Apa kabar jiwa-jiwa rapuh yang harus tetap men-syukuri dan menjalankan kehidupan? ...

...Tetaplah berdiri tegak dengan pijakanmu, buktikan pada semua orang bahwa kalian kuat dan tak mudah menyerah!...

^^^-Sabrina Anggraini-^^^

______________________________

"Semua buku sudah terkumpul, hanya anak-anak yang tidak masuk saja yang belum mengumpulkan. Nanti ketua kelas silakan mengambil buku-buku ini setelah waktu istirahat berakhir. Untuk sekarang, silakan kalian buka buku paket halaman enam puluh lima," arahan Bu Sintia, yang langsung dilaksanakan oleh semua murid.

Tak sengaja, aku menoleh ke arah jendela yang berada tepat di sampingku. Mataku sedikit membola, ketika tanpa sengaja pula mataku bertatapan langsung dengan mata seorang siswa yang tadi menabrakku.

Ia sedang duduk tenang di bawah pohon rindang dekat taman depan sekolah.

Pohon besar itu tampak menanunginya dengan apik, membuat siswa yang belum kuketahui namanya itu tampak damai dengan aktivitasnya yang bagiku cukup membuat heran.

Entah apa yang dilakukannya di sana selain duduk dan menikmati angin sepoi-sepoi?

Apakah dia bolos?

Atensiku langsung buyar tatkala mendengar Bu Sintia, mulai menerangkan materi.

Buru-buru aku memfokuskan perhatian pada papan tulis yang sudah diisi beberapa penjelasan.

Sebenarnya, siapa cowok misterius itu?

÷÷÷

Jam istirahat mulai berdering nyaring, semua murid mulai berhamburan keluar kelas.

Aku dan Ika sengaja keluar paling akhir agar tak terlalu berdesakan dengan yang lain.

Karena letak kelas kami yang berhadapan langsung dengan lapangan, sontak yang pertama dilihat ketika keluar dari kelas ialah beberapa murid laki-laki yang sedang asyik bermain bola di sana.

Salah satunya, lelaki itu.

Aku melihatnya diam-diam, wajahnya paling mencolok diantara siswa lain.

Namun, wajah tampan itu tidak pernah kulihat adanya senyuman di sana.

Tapi, kenapa? Dia dikelilingi banyak teman yang 'sepertinya' sangat baik padanya.

"Sabrina. Sabrina!!"

"Ha? Iya?!"

"Kamu lagi liatin apa, sih?" Tanya Ika yang tampak sedikit kesal. Sepertinya dia sedari tadi bercerita banyak, namun aku malah mengacuhkannya. Sebenarnya bukan mengacuhkannya, tapi atensiku tidak sepenuhnya pada gadis berkacamata ini.

Ah, sama sajakah?

"Gak ada kok, gue gak liatin apa-apa." Jawabku tenang.

Melihat Ika yang berusaha mencari apa yang aku lihat, aku langsung kembali berujar,"emm, buruan yuk ke kantinnya, nanti gue gak kebagian ciloknya pak Mamat."

"Iya, ayo."

Fiuh, untungnya Ika tipe orang yang sangat gampang kubujuk. Jadi aku tidak perlu repot-repot menjelaskan banyak padanya.

Kami melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti. Sesampainya di kantin, suasana ramai dengan gerombolan siswa siswi di setiap stand makanan dan minuman menjadi penyambut.

Seperti biasa, Ika akan mencari tempat duduk, sedangkan aku akan membeli makanan. Tentunya, tanpa kutanyakan lagi, Ika pasti akan memesan nugget ayam, dan aku cilok legendarisnya Pak Mamat. Untuk minuman, dua air mineral kemasan botol sudah cukup untuk kami berdua melepas dahaga.

Kurasa orang kaya seperti Ika akan tabu jika melakukan hal itu, berpikir bahwa kenapa harus terlalu irit, padahal aku bisa bersenang-senang dengan uang yang tak sedikit? Namun, itulah Ika, dia memang dari keluarga berada yang bahkan mampu membeli deretan makanan dan minuman di kantin ini. Tetapi, bukan sifatnya dan ia tidak ingin memiliki sifat terlalu boros seperti itu. Dia sederhana.

Aku dan Ika sangat dekat sejak SMP kelas tujuh. Bukan perkenalan biasa yang terjadi layaknya orang lain. Ketika pendaftaran atau pun sesi perkenalan satu dengan yang lainnya pun, aku tidak pernah berpikir akan sedekat ini dengan gadis berkacamata itu.

Saat itu, aku merasa iba melihat Ika seorang diri. Setiap waktu istirahat tiba, ia selalu dibully habis-habisan oleh siswi populer di kelas kami.

Aku memang gadis pendiam juga, tapi aku tak tega jika ada orang yang tak bersalah dikeroyok tanpa ampun. Perlahan, aku memberanikan diri untuk mendekatkan diri, mengajaknya mengobrol hal-hal ringan. Awalnya, dia sangat merasa kaku, suasananya selalu awkward.

Lambat laun, kami mulai sama-sama terbiasa akrab. Bahkan, aku tak segan-segan mengeluarkan cacian untuk mereka yang berani mengganggu kami. Kami bersahabat sejak itu, hingga saat ini kami pun masih bersama. Berbagi suka dan duka.

Juga, inilah pertama kali aku merasakan pertemanan yang benar-benar tulus.

Saat aku sedang sibuk berdesakan dengan murid lain, pun masih terbengong karena masa lalu, tiba-tiba ada tangan seseorang yang menarikku keluar dari kerumunan itu. Tentu saja, membuatku terkejut.

Buru-buru aku menghempas pelan cekalan tangan seorang siswa, setelah kami keluar dari kerumunan dan saling berhadapan, ternyata siswa itu adalah si muka datar yang hari ini tak sengaja bertemu.

"Ada apa?" tanyaku sejujurnya aku agak kesal.

Dia tidak menjawab pertanyaanku, ia lantas mengambil uangku yang akan aku gunakan untuk jajan. Aku melongo dibuatnya, dia ini mau melakukan pemalakan, kah?

Dia kembali ke stand yang tadi aku diami, ternyata dia membantuku membeli cilok. Mungkin dari tadi dia melihatku hanya terdiam seperti patung, saat semua murid yang ada di situ sibuk memesan. "Pak, cilok lima ribu," itu pertama kali aku mendengar suara bariton miliknya.

Aku masih belum bisa mengendalikan tubuhku, posisiku masih sama. Melongo.

Semua terlalu tiba-tiba.

Siapa dia?

Kenapa dia mau melakukan hal itu untukku? Sementara di sana banyak sekali siswi lain yang bisa ia tolong. Yang lebih cantik bahkan tak kalah banyak.

Tak berselang lama, ia sudah mendapatkan pesanannya.  Atau lebih tepatnya, pesananku.

Cepat sekali, mungkin jika aku yang memesan, lima menit sebelum bel masuk baru dapat, batinku.

Dia berjalan santai ke arahku, aku baru tersadar jika sedari tadi jantungku terus berdebar kencang.

"Nih," ia menjulurkan pesananku dan pergi begitu saja.

Kenapa dia tak membiarkanku mengucapkan terima kasih?

Benar-benar cowok aneh.

Aku segera menyadarkan diri, dan melesat ke stand selanjutnya. Nugget ayam. Sepertinya, kali ini akan lebih cepat, sebab stand itu tidak terlalu ramai.

Setelah mendapatkan semua pesanan, aku langsung berjalan ke arah Ika berada.

Selama apapun aku membeli, ia tidak pernah komplain ataupun marah-marah, ia sangat penyabar.

Beruntungnya aku punya sahabat seperti dia.

"Maaf, ya, Ka, udah buat lo nunggu lama."

"No problem, Na." Ia langsung mencomot nugget ayam yang sangat menggoda lidahnya.

Kami pun larut dalam makanan masing-masing, tanpa ada pembicaraan.

Bel berbunyi bersamaan dengan tandasnya makanan. Ika langsung meminum air mineral dan menyisakan setengah, sama sepertiku.

"Males banget gue, habis ini pelajaran sejarah," gerutuku lalu lanjut meminum air itu sampai habis.

Entahlah, setiap akan pelajaran sejarah aku selalu mengatakan keluhan yang sama. Menggerutu tak jelas, menunjukkan betapa tak sukanya aku pada hal-hal yang bersifat masa lalu.

"Emang kenapa, sih, sama sejarah? Kan seru, kita bisa tau di zaman dulu tuh kayak gimana." sahut Ika, jawaban yang sama setiap kali aku mengeluh tentang sejarah.

"Gak tau, padahal gue suka nonton film dokumenter, tapi gak tau kenapa gue gak suka sama pelajarannya. Arghh, lieur!"

Aku sangat frustrasi, hingga tak sengaja meremas botol kosong yang masih kupegang.

Ika hanya geleng-geleng kepala dengan tingkahku. Suasana kantin berangsur sepi, semua sudah berhamburan ke kelas masing-masing sejak tadi.

"Yuk, ke kelas, sebelum ada Pak botak dan Bu menor mergokin kita." Ajak Ika, ia mulai beranjak memaksaku untuk ikut bangkit dan berjalan gontai menuju kelas.

(Bersambung ....)

IG: @indah_mldh05

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!