Usai menuliskan kisah hidupnya tentang senja dan Vincent, Marsha mulai menyusun ulang kepingan dirinya yang sempat rapuh. Perlahan tapi pasti, ia merombak penampilannya. Tak lagi sembarangan dan acak-acakan, kini ia tampak lebih terawat, rapi, dan menyatu dengan tren masanya.
Baju-baju lusuh telah tergantikan oleh potongan busana yang mencerminkan karakter baru dalam dirinya—lebih anggun, lebih dewasa. Ia tak lagi mengejar bayang-bayang Vincent. Cinta itu kini tidak lagi jadi tujuan, hanya sebuah kenangan yang ia simpan diam-diam di ruang paling sunyi dalam hatinya.
Marsha mulai menumbuhkan kepercayaan diri dari luka yang pernah membekas. Ia melangkah maju, sendirian, tanpa keluarga yang menemani, tanpa sahabat yang dulu erat, dan tanpa cinta yang pernah ia yakini abadi. Segala kisah lama ia kubur dalam-dalam—Nano, sahabat karib, dan semua nama yang pernah membuatnya percaya bahwa dunia ini layak diperjuangkan.
Bukan karena ia ingin melupakan, tetapi karena kenyataan memaksanya belajar. Setiap luka mengajarkannya bahwa hidup tak selalu ramah. Ia telah terbiasa menangis tanpa pelukan, tertawa tanpa teman, dan berjuang tanpa tepuk tangan. Dari kesendirian itulah Marsha menemukan versi dirinya yang baru: kuat, tenang, dan tak lagi mudah goyah.
Dulu, senja dan Vincent adalah candu. Kini, senja hanya menghadirkan diam yang menyamar sebagai keindahan. Meskipun Vincent telah ia relakan, ada bagian hati yang tetap dingin untuk pria mana pun yang datang kemudian.
Di lubuk terdalam, ia masih menaruh harapan pada takdir, meski ia tahu, takdir kerap kali tak berpihak.
“Tuhan... aku harus bagaimana? Kepada siapa lagi aku bisa percaya?” bisiknya lirih, saat motornya melaju kencang menembus angin senja.
Ia tak peduli akan keselamatannya. Yang terus menggelayuti pikirannya hanyalah satu hal: mengapa hidup terasa begitu tak adil. Tangis kembali jatuh, membasahi pipinya saat ia menyusuri jalanan dalam kecepatan tinggi.
Namun mendadak, tangan Marsha menekan rem kuat-kuat. Motornya berhenti di pinggir jalan. Ia melepas helm dengan wajah kusut, menghela napas panjang, dan mengelus dadanya perlahan. Menatap pantulan dirinya di spion yang buram, ia bertanya pada semesta, “Apakah hidup akan selalu seperti ini? Tidakkah aku layak untuk bahagia?”
Sejenak, hasrat untuk mengakhiri segalanya muncul di benaknya. Tapi tepat saat itu, adzan Maghrib berkumandang. Suara yang menenangkan dan menampar kesadarannya sekaligus.
“Alhamdulillah… sudah maghrib,” gumamnya lirih. Ia kembali menyalakan motor, kali ini dengan kecepatan normal.
Setibanya di apartemen, ia segera menunaikan shalat. Usai menatap sajadah yang masih hangat oleh sujudnya, Marsha melanjutkan rutinitas kecil yang telah menenangkannya belakangan ini: memasak untuk diri sendiri. Setelah makan malam yang sederhana namun nikmat, ia membersihkan diri dan keluar mencari udara malam.
Seperti biasa, ia membuka aplikasi pengantaran makanan demi mengumpulkan rupiah sambil duduk di sudut supermarket dekat apartemen. Di sela waktu menunggu pesanan, ia menulis. Tangannya menari di atas layar ponsel, meluapkan kisah demi kisah, harapan demi harapan—semuanya tertuang dalam tulisan yang jujur.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Orderan masuk. Marsha tersenyum tipis dan bersiap mengambil pesanan. Dalam hidupnya, tak ada yang mampu membuatnya tersenyum selain uang. Bukan karena materialistis, tapi karena hanya dari uanglah ia bisa bertahan hidup.
Waktu dalam hidupnya adalah tentang kerja keras—untuk dirinya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Elain
Penulisnya jenius! 🌟
2024-01-26
0