Senja Terindah bab ke 2

Di suatu sore yang sendu, Marsha terduduk diam di area kasir. Tempat itu mendadak terasa sepi setelah Vincent memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya. Tatapannya kosong menembus kaca resto Beef Roasting, berharap bayangan Vincent masih ada di balik pantulan jendela itu.

Namun takdir berkata lain. Marsha tak lagi memiliki alasan untuk menantikan pagi. Ia kehilangan Vincent. Ia kehilangan pemandangan indah yang dulu selalu hadir setiap harinya. Tetes air mata pun jatuh dari matanya yang indah, membasahi pipinya yang bulat.

"Vincent, aku rindu," gumamnya dalam hati.

Marsha tenggelam dalam duka, memikirkan pria yang tak pernah benar-benar jadi miliknya, namun begitu ia cintai sepenuh hati. Sosok senja yang tak bisa digenggam, namun tak bisa pula dilupakan.

Tangisnya terhenti tiba-tiba.

"Bu!" teriak Fani, salah satu staf resto.

Marsha buru-buru menghapus air matanya, memasang senyum palsu yang tak sejalan dengan matanya yang masih berkaca-kaca.

"Ibu kenapa menangis?" tanya Fani dengan nada keras, tanpa peduli keadaan sekitar.

"Aku... rindu Vincent," jawab Marsha pelan. Tangisnya pecah kembali.

Fani menatap heran. "Bukannya ibu dan Koko Vincent nggak punya hubungan apa-apa?"

Marsha tak menjawab. Ia bergegas menuju toilet dan memperbaiki riasannya. Ia kembali tampil sebagai Marsha yang ceria di hadapan semua orang. Ia tertawa, melayani pelanggan, dan mengatur pekerjaan para staf. Tapi hatinya? Masih tenggelam dalam bayang Vincent.

Vincent tetaplah juara di hatinya. Ia masih berharap semesta membawanya kembali. Ia masih mengingat ucapan teman Vincent, "Terima kasih calon pacar Vincent," dan itu memberinya sedikit harapan bahwa ia masih mungkin menjadi kekasih pria itu, meski hanya di angan.

Di hari libur, Marsha sengaja berkendara ke daerah tempat tinggal Vincent. Hatinya berdebar saat melihat seseorang yang mirip dengannya. Meski plat motornya berbeda, ia yakin itu Vincent. Perasaannya campur aduk, bahagia sekaligus sedih karena hanya melihat dari kejauhan.

Dalam perjalanan pulang ke apartemen, Marsha kembali dihantui kerinduan. Setibanya, ia membuka pintu balkon dan memandangi langit senja.

"Hai senja... bolehkah sampaikan rinduku pada Vincent? Katakan padanya bahwa aku masih menyayanginya. Aku berharap... dia memaafkan ku, atas dasar kemanusiaan," ucapnya pelan.

Air matanya kembali jatuh. Semua ini karena Vincent, pria yang mampu membuatnya melupakan Nano—mantan yang dulu ia tinggalkan sebelum menikah dengan Deni. Sebelum ia menyelesaikan percakapannya dengan langit, ponselnya berdering.

Itu dari Nano.

Marsha menolak ajakan bertemu dengan alasan sedang tidak enak badan. Penolakan itu membuat Nano marah.

“Biarlah,” gumam Marsha, “dia bukan siapa-siapaku lagi.”

Tapi dia tahu, ia tidak benar-benar bisa memutus hubungan dengan Nano. Pria itu masih memberinya uang jajan setiap bulan.

Ia merasa harus bertahan di hubungan yang tak jelas itu. Ia tidak ingin kehilangan siapa pun yang pernah ia cintai, termasuk Nano.

Malam itu, setelah renungan panjang dan air mata, Marsha tertidur dalam lelah.

Keesokan paginya, Marsha kembali bekerja. Seperti biasa, langkah pertamanya adalah memeriksa barisan motor di parkiran, berharap motor Vincent ada di sana. Tapi tak ada.

"Vincent, aku rindu," bisiknya lirih.

Di outlet, ia melempar tas ke loker, wajahnya muram. Ia marah, kecewa, dan bingung. Mengapa hanya karena satu nama, hidupnya terasa hancur?

Namun meski hati hancur, Marsha tetap bekerja dengan standar yang tinggi. Dia tetap profesional, tetap tertawa walau luka tak pernah sembuh.

Itulah Marsha—wanita kuat yang terus menyembunyikan luka di balik senyum palsunya.

Dia tidak punya tempat pulang, tidak punya rumah untuk bercerita. Namun dia masih memiliki satu harapan:

Tuhan, jadikan aku kaya raya, dan izinkan aku hidup bersama Vincent… atau setidaknya Nano.

Tapi harapan itu tak kunjung terkabul. Tuhan seperti menutup pintu untuknya. Marsha terus menahan semuanya sendiri, bekerja tambahan sebagai ojek online dan kurir makanan demi bertahan hidup.

Ia memang tidak sempurna, tapi hatinya penuh cinta. Dunia mungkin menganggapnya aneh, tapi di balik keanehan itu, ada luka yang belum sembuh.

Setiap hari ia menangis, berbicara pada senja, memohon pada Tuhan agar dipertemukan kembali dengan Vincent… atau Nano.

Dunia memang tidak adil untuk Marsha. Dan itu sangat benar.

Ia menangis dalam diam, mempertanyakan keadilan Tuhan. Padahal, yang ia minta hanya satu hal: cinta yang sederhana, dan tempat untuk pulang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!