Bab. 5

Di kantor bibi Raisa bekerja. Siang hari.

"Kemarin jadi ketemu sama pria yang aku kenalin kan?" tanya Merta senior dan juga atasan Raisa dengan wajah senang karena berhasil menjodohkan temannya.

"Ah, ya." Raisa memasang wajah tersenyum dengan tenang.

"Gimana? Dia cakep?" tanya Merta dengan alis bergerak naik turun.

"Ahh, itu ... lumayan." Setelah acara kencan buta yang di peranin keponakannya, dia tidak bertanya banyak hal pada Shana. Jadi dia tidak mendengar sama sekali.

"Lumayan? Pria semacam dia, hanya lumayan?" tanya Merta heran.

"Eh, iya. Kenapa, apa menurut kamu dia enggak ganteng?" tanya Raisa balik. Dia sempat panik.

"Justru pria seperti dia itu sangat ganteng. Tampan maksimal." Merta berkata dengan penuh semangat.

Jadi pria itu tampan ya ... Shana enggak bilang apa-apa. Kunyuk tuh bocah, kalau ganteng aja diembat sendiri. Raisa terkekeh dalam hati.

"Tapi ya begitu. Kamu pasti rada kurang nyaman bareng dia."

"Kenapa?" tanya Raisa ingin tahu. Dia benar-benar nol informasi soal kencan kemarin.

"Bukannya dia itu pria yang dingin sekali. Pria itu sangat jarang tersenyum, Sa. Bayangkan. Gimana bisa bikin betah perempuan kalau dinginnya minta ampun." Merta melipat tangannya.

Raisa mengangguk seraya mengerjapkan matanya. Dia tidak suka pria yang begitu dingin hingga bagai di kutub Utara. Dia tentu suka dengan pria hangat yang seperti ... Ujung matanya melirik ke arah meja di ujung. Dimana seorang pria yang menurutnya paling tampan tengah duduk di depan komputer. Ya, dia ketua tim yang sekarang menjalin hubungan rahasia dengannya.

"Meskipun dingin, dia baik kan?" tanya Merta masih memaksa.

"Kenapa kamu tahu sekali bagaimana pria itu. Emm ... itu. Siapa?" Raisa lupa nama pria yang di sebut Merta tadi.

"Regas."

"Ya, dia. Jangan-jangan kamu sendiri jatuh hati sama dia ya ...," goda Raisa.

"Hush. Enggak mungkin."

"Kenapa enggak mungkin?"

"Karena dia sepupu ku."

"Hah?" Raisa terkejut.

"Emang Regas enggak bilang?" tanya Merta heran. Raisa hanya tertawa ringan. Benar, dia enggak bilang padanya karena yang menemui pria itu adalah keponakannya.

Wah, aku keliru ini ... tapi kenapa tidak ada keluhan apapun dari Shana ... Raisa melirik ke layar ponsel. Kalau tidak ada laporan berarti dia aman dong.

"Oh, ya ... dia kerja?"

"Tentu. Dia guru di sekolah menengah."

Oh, pria baik ya ... Seorang guru kan manusia yang baik. Shana pasti aman. Raisa merasa tidak ada masalah dengan kebohongan di kencan itu.

****

Shana pulang jam empat kurang. Dia langsung mandi dan berganti pakaian. Setelah itu mencuci perabot di bak cuci piring. Dimana tergeletak begitu saja karena di tinggalkan bibinya. Jika begini kemungkinan bibinya terburu-buru ke kantor.

"Hhh ... " Shana menghela napas. Tangannya yang mencuci piring berhenti. "Kenapa bisa? Kenapa bisa pria itu adalah guru sekolah ku?!" tanya Shana frustasi. Tangannya yang berbusa mengangkat panci mie dengan kesal. "Aku harus beritahu bibi untuk membantu aku memulihkan keadaan. Dia adalah penyebab semua ini. Ya, begitu." Setelah menemukan cara untuk mengatasi keadaan ini, Shana kembali tenang. Ia bisa melanjutkan lagi pekerjaannya tanpa merasa kesal.

"Tunggu. Walaupun wajah kita mirip, kenapa dia yakin itu adalah aku? Bukankah waktu itu aku sudah bertingkah seperti orang dewasa?" tanya Shana merasa aneh. "Apa mungkin wajahku tidak pasaran jadi tidak ada kemungkinan aku yang di sekolah dan di cafe adalah orang yang berbeda?" tanya Shana heran.

Aku punya bukti ... Samar-samar dia ingat apa yang di bicarakan pria itu ketika terakhir dia di interogasi.

"Bukti. Bukti apa yang dia katakan? Bukti apa?" Shana bermonolog menghadap dinding dapur. "Apa dia hanya menggertak ku saja? Itu tidak mungkin. Mengingat dia adalah guru killer di sekolah. Jadi kemungkinan dia memang memegang bukti kuat bahwa aku adalah orang yang sama dengan perempuan yang di temui dia di cafe." Shana mengangguk-anggukkan kepala. Gadis ini tidak tenang. Ia pun meletakkan piring dan gelas yang tersisa dan meninggalkannya begitu saja.

Kaki Shana menuju ke kamar. Ia ingin menghubungi bibinya. Dengan cekatan, Shana naik ke atas ranjang karena ia melemparkan tas itu begitu saja tadi.

"Hape, hape. Mana hape ku." Ternyata dia tidak meletakkan ponselnya di dalam tas. "Aduh, mana hape ku nih ...." Dengan geram, Shana berpindah ke gantungan baju. Dimana ia menggantung kemeja seragamnya di atas sana. Ternyata ponsel itu ditemukan di saku kemeja. Ia langsung mencari kontak bibinya.

Dengan cemas, Shana menelan tombol panggil setelah menemukan kontak bibinya. Lalu menempelkan gagang gawai pipih itu pada telinga. Nada tunggu terus berbunyi. Kaki Shana mondar-mandir di dalam kamar. Dia gelisah. "Aduh ... dimana sih bibi ini," ujar Shana kesal seraya menekan tombol reject. Lalu kembali menekan tombol panggil setelah menggeram sebal.

Sayang, ponsel bibinya tidak bisa di hubungi. Ini sudah hampir setengah jam Shana mencoba menelepon.

"Pasti bibi mengecilkan nada deringnya. Kebiasaan sih bibi," geram Shana merengek sendiri. "Ah, enggak tahu deh." Shana melempar ponselnya ke atas ranjang. "Biarin aja itu orang tahu kalau aku yang lagi meranin bibi pas ketemuan di cafe. Nanti aku bilang kalau aku di suruh bibi. Kan itu memang perintah Bibi." Shana ambil keputusan dengan cepat karena frustasi. "Kalau enggak percaya, aku akan bawa dia ke rumah ini biar bibi sendiri yang menjelaskan. Aku enggak mau dong tanggung jawab. Ah, pusing!" Shana melangkah keluar kamar.

Gadis ini kembali ke dapur untuk makan buah kesukaannya, semangka. Dua hari yang lalu bibi membeli satu buah semangka kuning yang besar. Jika biasanya Shana memilih beli semangka merah ketimbang yang warna kuning, tapi kali ini dia senang. Semangka kuning yang bibi beli rasanya segar dan manis.

********

Di rumah Regas.

Pria ini sedang duduk seraya menatap kartu identitas siswa di tangannya. Ada wajah Shana di sana.

Jika itu punya Shana, kenapa bisa ada di tangan Regas? Tentu karena pertemuan di cafe malam itu.

Tanpa sengaja Shana menjatuhkan sesuatu dari dalam tasnya. Regas yang tadi berpikir itu kertas biasa saja karena terlihat lusuh membiarkan, tapi mendadak dia ingin mengambil kertas lusuh itu.

Dugaannya benar, kertas itu bukan sekedar kertas lusuh biasa. Di dalam lipatan kertas yang seperti hasil dari robekan dari buku tulis itu berisikan kartu identitas. Mulanya Regas berpikir itu adalah KTP karena kartu itu tidak asing. Seluruh warga Indonesia pasti punya bukan? Namun setelah di lihat lagi, itu bukan KTP melainkan kartu identitas siswa.

"Siswi?" tanya Regas heran. Ia melihat ke sekitar. Dimana ia dan perempuan yang menjadi teman sepupunya itu berdiri. Ternyata perempuan itu sudah tidak ada di tempat. Regas membawanya pulang untuk di telaah lagi. Kenapa bisa ada kartu identitas siswi jatuh dari tas yang di pegang perempuan bernama Raisa itu. Regas mengenal lambang sekolah itu karena dia adalah salah satu pengajar di sana.

"Aku yakin dia adalah gadis itu." Regas bergumam seraya mengingat wajah gadis yang ia temui tadi siang.

...----------------...

Terpopuler

Comments

✨rossy

✨rossy

oalah dirimu ceroboh shana....

2024-01-13

0

Nur Halimah

Nur Halimah

Regan mempunyai bukti yang kuat nih,dan apa yang akan terjadi selanjutnya antara Shana dan Regan

2024-01-10

0

Nethy Sunny

Nethy Sunny

oh ternyata kartu identitas bukti ny

2024-01-09

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!