Shana membetulkan seragam abu-abunya ketika sudah keluar dari toilet. Lalu berjalan di lorong yang sepertinya masih ada beberapa anak yang tinggal. Mungkin mereka ikut ekskul atau nongkrong saja.
Pikiran Shana yang tadinya tenang setelah dari toilet, kini kembali tegang ketika melihat guru matematika yang jadi guru pengganti tadi ada di lorong. Mata pria itu tengah tertambat padanya. Ini bukan hanya perasaannya saja. Pria itu memang sedang melihat dirinya.
Shana makin panik ketika pria itu justru berjalan ke arahnya. Kenapa aku panik sih? Mungkin saja dia bukan menghampiriku kan? Mungkin saja dia memang ada urusan ke arah yang sama. Shana berusaha menenangkan dirinya. Ya, dia tidak mungkin tahu kalau perempuan yang ia temui di cafe itu adalah bocah seperti aku. Lagipula waktu itu aku kan sudah di sulap seperti perempuan dewasa. Ya. Seperti itu.
Shana berusaha bersikap biasa. Kakinya mulai bergerak untuk melangkah menuju ke teman-temannya dan bergegas ke kampus mencari makan. Namun nyatanya dia tidak bisa bergerak karena pria itu sudah ada di depannya. Kali ini sangat jelas kalau pria itu tengah menatapnya. Pria ini berhenti melangkah dan berdiri di depannya.
Tidaaaak!
Glek! Shana menelan saliva-nya sendiri. Ia benar-benar merasa sedang dalam ujung tanduk meskipun pria itu belum mengatakan apa-apa.
"S-selamat siang Pak." Karena gugup dan panik, Shana justru lebih dulu menyapa pria ini.
"Siang," sahut Regas dengan singkat. Shana kembali diam karena rasa tegang, panik, dan takut campur aduk jadi satu. "Itu kamu bukan, yang bertemu aku di cafe malam itu?" tanya Regas dengan suara rendah yang mengintimidasi. Langsug tanpa ba-bi-bu!
Duarr!!! Bagai petir menyambar. Shana menelan saliva-nya sekali lagi. Benar dugaannya. Pria ini adalah pria yang sama seperti di cafe waktu itu.
***
Kemarin malam.
Shana duduk di sebuah cafe menunggu seseorang. Ia menunduk melihat high heels yang terpasang pada kakinya dengan tatapan tidak percaya.
"Kenapa kamu memakai high heels yang melelahkan itu, kaki ku sayang?" tanya Shana seraya mendengus. Itu sebuah cibiran pada kakinya, karena ia tidak pernah memakai high heels seumur hidupnya. Mungkin hanya kali ini saja dia terpaksa memakai seperti ini. Semuanya bermula dari Bibi Raisa yang tiba-tiba saja menarik lengannya ketika ia berjalan santai melewati lorong kamar. Itu sebelum ia akhirnya ada di cafe ini sendirian.
"Hei Shana, ikut Bibi yuk."
"Ada apa, Bi?" tanya Shana terkejut.
"Udah, ikut aja." Bibi terus saja menarik lengan Shana menuju ke kamarnya. Dia adalah adik ayahnya. Berumur 24 tahun. Berjarak sekitar tujuh tahun darinya. Meskipun sudah berumur segitu, beliau belum menikah. Bibi Raisa masih lajang.
Kaki Shana mengikuti langkah bibinya menuju ke dalam kamar.
"Ada apa nih, Bi?" tanya Shana kesal. "Aku mau makan nih, lapar ..." Shana memang baru pulang sekolah meski hari sudah petang. Dia termasuk gadis yang cukup rajin mengikuti ekskul meskipun tidak giat dalam pelajaran.
"Iya sebentar lagi. Bibi ada permintaan." Setelah mengatakan itu, Bibi menutup pintu kamarnya. Gadis ini memang tinggal dengan adik ayah-nya di rumah yang di beli beliau dengan mengangsur lima belas tahun. Rumah KPR. "Ayo duduk." Bibi mendorong pundak Shana untuk duduk di kursi rias.
"Apaan, Bi? Cepetan dong," rengek Shana.
"Tante akan kasih kamu jatah uang saku tambahan kalau kamu mau menuruti perintah Bibi," ujar Bibi Raisa serius. Meskipun sudah mengubah raut wajah menjadi serius, Shana tidak dengan cepat menanggapi dengan serius juga.
"Jokes baru, ya?" ledek Shana.
"Ini serius," sanggah Bibi Raisa cepat.
"Itu kan mustahil. Bibi kan orang pelit nomor satu dalam keluarga bapak."
"Pelit gundul mu. Kamu tinggal di rumah ini karena siapa?" Bibi Raisa mendelik.
"Kan aku tinggal di sini karena bapak kirim uang untuk Bibi," tandas Shana tepat.
"Eh, iya juga sih." Bibi Raisa merasa kalah. "Tapi kan kamu tinggal di rumah ini juga tanpa bayar sewa atau kost." Bi Raisa merasa punya kartu as. Shana menipiskan bibir. "Kamu mau dapat uang saku tambahan apa enggak? Di kasih penawaran bagus malah nyerang segala." Bibi Raisa menggerutu.
"Jadi beneran nih?" selidik Shana antara ragu dan ingin.
"Bener. Kamu mau enggak?"
"Lihat dulu perintahnya apaan. Kok terdengar mencurigakan sampai Bibi mau kasih uang saku tambahan segala."
"Enggak mencurigakan. Hanya sekedar menemui seseorang saja."
"Menemui seseorang, siapa?"
"Ada. Pria." Bibi membuat raut wajahnya jadi masam.
"Kenapa mukanya kusut begitu? Wahh ... ini pasti ada hal yang enggak baik nih." Shana merasa dapat angin buat meledek bibinya.
"Hal enggak baik apaan?" protes Raisa.
"Bibi kan jomlo. Kalau urusan menemui seorang pria, kenapa justru aku yang di suruh? Kan bibi juga bisa. Malah dapat rejeki tuh karena akhirnya bisa dapat gebetan."
"Mulutmu. Aku ini bukan jomlo tahu." Bibi Raisa mengatakannya dengan bangga.
"Emang iya? Kok Bapak enggak tahu ya ... Apa Bibi pacaran sama orang yang enggak boleh di pacari?" Shana menginterogasi bibinya.
"Dasar bocah." Raisa gemas mencubit keponakannya.
"Aw, sakit."
"Biarin," cibir Raisa. Shana menggerutu. "Sebenarnya bibi ini punya pacar, tapi belum ada waktu aja untuk di kenalkan ke Bapak kamu dan nenek." Raisa mulai cerita.
"Lha, terus kalau sudah punya pacar, kenapa ada cerita mau temui pria lain ... Bibi lagi curang nih?" Shana menggoda lagi.
"Bukaaannn. Dasar keponakan dodol. Gini, bibi mau di kenalin sama teman. Cuma kenalan, tapi bibi enggak mau."
"Ya udah bilang aja enggak mau."
"Stop. Dengerin dulu kupingnya saat bibi cerita." Raisa mencondongkan tangannya ke depan menghentikan kalimat keponakannya.
"Oke."
"Dia teman baik bibi. Jadi bibi enggak enak nolak."
"Karena?" kejar Shana ingin tahu.
"Karena bibi punya pacar dong."
"Lha iya, terus kenapa enggak bilang aja kalau bibi punya pacar."
"Enggak bisa," potong Raisa cepat.
"Kenapa?"
"Ughh ... ngomong sama ponakan kaya ngomong sama host acara gosip," geram Raisa.
"Hehehe ..." Shana terkekeh. "Aku enggak mau dong dapat perintah, tapi enggak jelas."
"Itu karena ... karena ..." Bibi Raisa tampak sulit buat menjawab dengan sebenarnya. Ini makin membuat Shana penasaran. Dia dengan sabar menunggu kalimat itu rampung.
"Iya, karena ..."
"Orang yang menjalin hubungan dengan Bibi itu adalah atasan bibi."
"Iya atasan bibi, lalu?" kejar Shana.
"Dan itu rahasia." Raisa mengatakan itu dengan cepat. Shana mengerjapkan mata. Merasa heran.
"Dia bukan suami orang bukan?" Shana bertanya ini dengan takut-takut.
"Jelas bukaaann." Raisa mendelik lagi.
"Hhh ... syukurlah." Shana menghela napas lega. Ia mengelus dada mirip orang tua.
"Ih, lagak kamu Shan," dengus Raisa kesal dan geregetan dengan keponakannya.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
liari sandi
ko manggilnya berubah rubah,, kadsng tante kdng bibi
2024-03-12
0
Yani Inaya Emerald Msi
semangat thor
2024-01-09
0
𝕸𝖆𝖗𝖞𝖆𝖒🌹🌹💐💐
Shana lucu 😁
2024-01-08
0