Hening menggelantung di antara mereka. Udara di ruangan itu terasa semakin pekat, seolah segala emosi yang tertahan selama bertahun-tahun kini memenuhi setiap sudutnya.
Rangga menarik napas panjang, langkahnya mundur satu, lalu ia duduk di tepi meja kerjanya. Sorot matanya tak lagi setajam tadi. Kali ini ada sesuatu yang lain—terkejut, kehilangan, atau mungkin… sesal?
"Berapa umurnya sekarang?" tanya Rangga pelan, nyaris seperti gumaman, tapi cukup terdengar oleh Mira.
Mira menggigit bibir bawahnya, menunduk, lalu menjawab, "Empat tahun lebih sedikit."
Hati Rangga seketika mencelos. Empat tahun. Itu artinya… Mira mengandung tak lama setelah kejadian malam itu—malam yang selama ini ia pikir hanyalah sesal dan kebodohan.
"Namanya siapa?" lanjut Rangga dengan suara yang lebih rendah.
Mira mengangkat kepalanya, menatap Rangga tajam. “Kenapa? Mau apa kamu dengan namanya? Mau mulai mengganggu hidupnya setelah kau hancurkan hidupku?”
“Aku cuma ingin tahu,” sahut Rangga pelan. “Aku bahkan nggak tahu harus marah ke siapa. Ke kamu… atau ke diriku sendiri.”
Mira membuang napas kasar. “Namanya Akila. Dia anak yang manis dan cerdas. Dan dia nggak butuh seorang ayah yang hanya muncul saat sudah merasa kehilangan.”
Rangga terdiam.
“Dia nggak tahu siapa ayahnya?” tanyanya lagi.
Mira menggeleng. “Dia pikir ayahnya sudah meninggal.”
Deg. Hati Rangga seperti diremas. “Kau bilang… aku mati?”
“Lebih baik baginya tahu ayahnya meninggal daripada tahu dia dibuang,” jawab Mira tajam. “Kau pikir aku tega bilang ke anakku bahwa ayahnya cuma menganggap ibunya sebagai pelarian? Bahwa setelah itu ayahnya menghilang seperti angin dan tak pernah mencarinya?”
Rangga terdiam, tak bisa membela diri.
Ia mengingat betul masa itu. Ia masih mahasiswa akhir, terjebak antara ambisi keluarga dan perasaan yang ia sendiri belum pahami. Mira datang begitu mendadak dalam hidupnya—seperti badai kecil yang membuat dunianya jungkir balik. Tapi ia pengecut. Ia memilih pergi. Ia diam-diam menjauh karena takut menghadapi kenyataan.
Dan kini kenyataan itu berdiri di hadapannya, tak hanya dengan luka yang belum sembuh, tapi juga dengan seorang anak.
“Aku nggak akan ganggu hidup kalian,” ujar Rangga akhirnya. “Tapi izinkan aku lihat dia… sekali saja.”
Mira mengerutkan dahi, suaranya bergetar. “Kau pikir aku percaya padamu? Setelah semua yang terjadi?”
“Aku bersalah. Tapi bukan berarti aku nggak punya hak untuk tahu wujud darah dagingku sendiri.”
Mira terdiam, hati kecilnya goyah. Ia bisa melihat ketulusan di mata Rangga, tapi rasa takutnya lebih besar. Ia takut Rangga akan mempengaruhi hidup Akila, membuatnya bingung, atau lebih buruk lagi—merebutnya.
“Dia nggak bisa tahu sekarang,” ujar Mira tegas. “Dia masih terlalu kecil untuk menerima kenyataan serumit ini. Tapi kalau kau serius, aku butuh waktu. Banyak waktu.”
Rangga mengangguk. “Aku akan tunggu.”
Mira menatap pria itu lama. Dulu ia begitu mencintai Rangga. Kini, ia bahkan takut membiarkan Rangga tahu di mana anak mereka tinggal.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Mira benar-benar sadar bahwa luka masa lalu tidak akan sembuh hanya dengan penyesalan. Tapi mungkin… mereka bisa mulai menjahit kembali benang yang putus. Bukan untuk cinta mereka, tapi untuk anak yang mereka ciptakan—tanpa rencana, tapi dengan darah yang sama.
Malam itu, Mira duduk di tepi ranjang kosannya. Hujan rintik-rintik di luar jendela seakan mengikuti suasana hatinya—kelabu dan penuh sesak.
"Kenapa harus muncul sekarang?" bisiknya lirih, memeluk lutut dengan kepala bersandar di atasnya.
Pikirannya terus dipenuhi wajah Rangga. Tatapan mata pria itu yang tak lagi dingin seperti dulu, justru menatapnya dengan luka yang dalam. Namun luka itu tak cukup untuk menghapus semua rasa sakit yang telah Mira simpan selama bertahun-tahun. Termasuk ketakutannya—akan kehilangan Akila.
Ia tahu betul seperti apa pengaruh keluarga Rangga. Jika mereka tahu soal Akila, mereka tak akan tinggal diam. Bisa saja Akila dibawa paksa darinya, dan Mira terlalu kecil untuk melawan mereka.
"Enggak... aku nggak akan biarkan siapa pun ambil anakku," gumam Mira lagi, matanya berkilat.
Tepat saat ia akan berdiri untuk mengecek pintu, suara ketukan pelan terdengar.
Tok. Tok.
"Mi, boleh masuk?" suara Tante Nani terdengar lembut dari balik pintu. Wanita separuh baya itu sudah seperti ibu sendiri baginya.
"Iya, Tan. Masuk aja."
Pintu terbuka, dan Tante Nani langsung menghampiri, duduk di sebelah Mira.
"Kamu habis ketemu ayah Akila, ya?" tebaknya pelan.
Mira menoleh cepat. “Kok Tante tahu?”
“Aku ibu-ibu, Mira. Perubahan raut wajah kamu itu kayak langit sebelum hujan.” Ia tersenyum kecil. “Waktu kamu pulang, matamu merah, napasmu berat. Kayak orang yang nahan banyak hal.”
Mira tak tahan lagi. Ia menunduk, lalu menangis di pelukan Tante Nani. Tangisannya pecah, sesak, dan penuh rasa takut.
“Aku takut dia akan ambil Akila dariku, Tan,” lirihnya.
Tante Nani mengusap rambut Mira lembut. “Dia tahu Akila anaknya?”
Mira mengangguk. “Aku nggak bilang langsung, tapi dia tahu.”
“Kalau dia datang hanya untuk melihat, kamu bisa atur jarak. Tapi kalau dia datang untuk merebut, kamu nggak sendirian. Ada Tante.”
Mira menatap wanita itu penuh syukur. “Tapi aku bingung, Tan. Dia kayak… berubah. Matanya kayak… nyari sesuatu yang hilang.”
Tante Nani menghela napas. “Mungkin dia benar-benar nyesal. Tapi kamu juga punya hak untuk marah, Mi. Kamu yang harus jaga anakmu sendiri selama ini, kamu yang bangun malam-malam, kamu yang tahan lapar, kamu yang... bertahan.”
Mira mengangguk pelan.
Lalu dari kamar sebelah, terdengar suara lembut: “Bun?”
Mira langsung berdiri. “Iya, Sayang. Iya, Bun ke sana.”
Ia mengusap air matanya, lalu menuju kamar kecil Akila. Anak perempuan itu duduk di ranjangnya, mengucek mata.
“Mimpi buruk lagi?” tanya Mira lembut, duduk dan mengusap punggung Akila.
Akila mengangguk. “Aku mimpi Bunda ninggalin Akila sendirian.”
Mira menahan napasnya. Ditatapnya wajah mungil itu—wajah yang sangat mirip Rangga.
“Enggak, Sayang. Bunda nggak akan ninggalin Akila. Nggak pernah,” ucapnya sambil mencium kening anak itu.
Akila memeluk ibunya erat. Dan dalam pelukan itu, Mira memantapkan hatinya—apa pun yang terjadi, ia akan melindungi Akila. Dari masa lalunya. Dari siapa pun.
Termasuk dari Rangga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Miss Typo
berharap keluarga Rangga menerima Mira dan Shaka, dan tidak memisahkan ibu dan anak
2025-04-09
0
Ari Sawitri
kok judul bab nya membingungkan ya? mira dan Shaka.. siapa Shaka?
2025-06-22
0
Yani
Akhirnya ada titik terang
2024-06-29
0