Rangga dan Syaka

Malam itu, Mira memutuskan satu hal yang tak pernah ia pikir akan ia lakukan.

Tanpa berpamitan, tanpa menoleh ke belakang, ia melepas seragam magangnya dan meninggalkan rumah sakit tempat ia bertugas. Langkahnya cepat, napasnya memburu, matanya sembab, dan hatinya penuh ketakutan—bukan karena ia gagal menolong seorang pasien, tapi karena pasien itu adalah orang yang telah menghancurkan hidupnya. Rangga.

Ia tak tahu harus ke mana, tapi yang pasti, ia tidak bisa berada di tempat yang sama dengan Rangga.

Rangga mungkin tak akan mengenalinya. Tapi Mira tak ingin mengambil risiko. Ia tahu, dunia itu sempit. Rangga anak orang terpandang, dia bisa dengan mudah menemukan siapa pun. Dan jika Rangga tahu tentang masa lalu mereka… tentang anak itu… Mira yakin satu hal: anak itu akan direnggut darinya.

Tangisnya pecah sesampainya di kosan. Ia meringkuk di lantai, masih mengenakan jaket rumah sakit yang kebasahan, matanya kosong menatap gelap. Bayangan wajah Rangga yang tak sadarkan diri di atas brankar terus mengusik pikirannya. Wajah yang dulu sangat ia cinta. Wajah yang dulu membuatnya percaya akan masa depan.

Dulu, mereka sempat begitu dekat. Rangga penuh pesona dan perhatian. Mahasiswa populer yang tak ragu mendekati Mira yang sederhana. Semuanya terasa seperti mimpi—hingga semuanya hancur tanpa sebab. Tanpa penjelasan, Rangga pergi. Hilang dari hidupnya. Menghilang saat Mira paling membutuhkannya.

Saat itu Mira hamil. Sendiri.

Ia tak punya siapa-siapa. Keluarganya jauh dan tak mendukung. Ia menjalani masa kehamilan dengan diam, penuh ketakutan, dan menyembunyikan semuanya. Ia pindah ke kota lain untuk melahirkan. Ia merahasiakan identitas ayah dari anaknya, bahkan pada petugas rumah sakit yang menolong persalinannya. Setelah bayinya lahir, ia hanya sempat menatap wajah mungil itu selama beberapa jam—sebelum menyerahkannya untuk diadopsi secara diam-diam melalui jalur tidak resmi.

Tapi kini… segalanya seperti datang kembali menghantamnya.

“Bagaimana kalau Rangga tahu? Bagaimana kalau dia cari tahu semuanya? Bagaimana kalau dia ambil anakku?”

Tubuh Mira gemetar, ia memeluk lututnya erat. Ia tahu ia bukan siapa-siapa. Rangga punya segalanya: kekuasaan, uang, dan koneksi. Kalau dia ingin mengambil anak itu, dia bisa. Dan Mira… takkan bisa berbuat apa-apa.

Malam itu, Mira mengepak barang-barangnya. Ia tidak akan kembali ke rumah sakit itu. Magangnya bisa dicoret dari daftar, nilainya bisa gagal, dosennya bisa kecewa—semuanya tak lagi penting. Ia harus menyelamatkan hidupnya, dan kalau bisa, suatu hari nanti… menemukan anaknya kembali.

**

Keesokan harinya, Mira sudah berada di terminal bus. Ia mengenakan masker dan hoodie, membawa satu koper kecil dan tas selempang lusuh. Ia memutus semua kontak dengan kampus, teman, bahkan dosen pembimbingnya. Ia tak mau ada yang mencarinya. Ia hanya ingin memulai dari awal. Di kota lain. Dengan nama baru kalau perlu.

Setibanya di kota seberang, Mira menyewa kamar kecil di sebuah rumah kos tua. Ia menghabiskan hari-harinya dengan mencari pekerjaan serabutan. Kadang di warung, kadang di laundry. Sampai akhirnya, beberapa bulan kemudian, ia membaca lowongan di sebuah perusahaan besar: Antarix Group.

Awalnya ia ingin mengabaikannya. Nama perusahaan itu begitu lekat di telinganya—perusahaan keluarga Rangga. Tapi rasa lapar dan kebutuhan untuk bertahan hidup membuatnya nekat.

"Tak mungkin dia ada di sini. Tak mungkin dia tahu aku."

Mira pun melamar pekerjaan sebagai staf administrasi magang. Ia memalsukan sedikit data, mengganti nama belakangnya, dan menyingkat nama tengahnya. Hanya untuk berjaga-jaga.

Ia melewati serangkaian tes dan wawancara dengan lancar. HRD tidak terlalu mempermasalahkan identitasnya karena latar belakang akademiknya cukup baik. Dalam beberapa hari, Mira resmi diterima dan dijadwalkan masuk kerja minggu depan.

Tapi jauh di lubuk hatinya, Mira tetap dihantui ketakutan. Bagaimana jika… perusahaan ini ternyata menyimpan lebih banyak kejutan? Bagaimana jika Rangga benar-benar ada di sana?

Ia tidak tahu… bahwa takdir memang sedang memainkan perannya.

---

Satu minggu kemudian

Mira tiba lebih awal. Ia mengenakan kemeja biru muda dan rok hitam sederhana. Rambutnya dikuncir rendah, riasan nyaris tak ada. Ia ingin terlihat biasa saja, tak menonjol.

Hari pertama berjalan lancar. Ia bekerja di divisi administrasi umum yang berada di lantai dua. Ia mendengar bahwa direksi dan manajer tingkat tinggi biasanya ada di lantai atas. Ia lega. Semoga saja ia tak pernah perlu naik ke sana.

Namun, harapan itu hancur di hari ketiga.

“Mira, nanti ikut aku ya. Kita disuruh presentasi laporan ke Pak Rangga langsung,” ucap salah satu seniornya.

Mira membeku. “Pak… Rangga?”

“Iya, Rangga Adipati. Wakil direktur cabang ini. Masih muda sih, tapi katanya orangnya tegas.”

Mira nyaris menjatuhkan berkas di tangannya. Dunia seolah berhenti berputar. Namanya, wajahnya, masa lalunya… kini hanya tinggal beberapa lantai dari tempat ia berdiri.

Dan kali ini, ia tidak bisa kabur.

Terpopuler

Comments

Siti Marwah

Siti Marwah

semangat mira..sabar slalu

2024-10-15

0

Yani

Yani

Semangat Mira 💪💪

2024-06-28

0

Zainab Ddi

Zainab Ddi

😭😭😭kok malah Mira yg diancam

2024-05-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!