Setelah menghabiskan waktu saling mengenal dan mengakrabkan diri, Sani dan Aman akhirnya mulai terbiasa dengan kehadiran satu sama lain.
Dan malam ini, setelah menunaikan Salat Isya berjemaah, Sani mencoba memasak makan malam untuk mereka berdua. Ia sibuk mengutak-atik isi kulkas, mencari bahan makanan yang bisa diolah.
Di dekatnya, Aman dengan setia terus menemani. Ia duduk manis di depan meja bar sambil mengecek surel yang masuk di laptopnya. Kacamata yang bertengger di hidungnya, menambah kesan dewasa pada wajahnya yang tampan.
"Apa kamu sering masak sendiri?" Tanya Sani saat melihat isi kulkas Aman yang terisi penuh oleh lauk mentah, sayur dan buah-buahan. Bahkan ada satu rak di dalam freezer yang khusus diisi dengan coklat dan es krim.
Sontak mata Sani berbinar melihat coklat dan es krim itu, layaknya seseorang yang baru saja menemukan harta karun. Sayangnya ia hanya bisa menelan ludah melihat kedua makanan manis itu.
"Tidak juga! Aku masak kalau lagi sempat. Bi Yani yang biasanya menyiapkan makanan untukku. Dia punya jadwal kerja tiga kali seminggu. Senin, Rabu dan Jumat. Di luar hari itu, si gepeng yang akan membersihkan rumah." Aman menunjuk ke arah robot vacuum cleaner yang sedang bergerak kesana kemari, lalu kembali fokus pada layar laptopnya.
Sani lantas tertawa sambil memegang bibirnya. "Kamu memberinya nama si gepeng?"
"Bi Yani kesulitan tiap kali menyebutkan namanya. Jadi kami sepakat untuk memberinya julukan si gepeng," jawab Aman tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop sambil mengetik di atas keyboard. Ia sudah sangat santai mengobrol dengan Sani meski ekspresi datarnya masih belum berubah sama sekali.
Sani tersenyum geli mendengar penjelasan Aman. Ia tak menyangka, akan terlintas ide lucu seperti itu dari kepala suaminya. Pasalnya, pria itu selalu terlihat serius dan kaku.
Namun di sisi lain, Sani juga semakin takjub pada Aman. Meski terkesan cuek, namun sebenarnya ia orang yang peduli pada orang-orang di sekitarnya. Hanya saja, caranya menunjukkan perhatiannya berbeda dari orang kebanyakan. Bisa dibilang, itu cara khas Aman.
Puas menatap wajah Aman, Sani pun melanjutkan kesibukannya di depan kulkas.
"Apa ada makanan yang kamu sukai dan ingin aku masakkan?" Tanya Sani sambil mengeluarkan daging slice, pakcoy dan segala jenis perbumbuan yang akan ia gunakan dan meletakkannya di atas meja dapur.
Refleks Aman menghentikan kegiatannya. Ia bertopang dagu sambil memanyunkan bibir bawahnya. "Hmm.... Aku paling suka makan rendang, tempe-tahu bacem dan telur balado."
Sani tercengang mendengar jawaban Aman. Ia sempat terdiam sebentar, sebelum kembali melanjutkan kegiatannya mengolah bumbu-bumbu, lauk dan daging yang dikeluarkannya dari dalam kulkas dan melanjutkan obrolan dengan Aman
"Wow, lidahmu sudah sangat melokal rupanya!"
"Sepuluh tahun tinggal di Indonesia, tentu membuat lidahku melokal. Apalagi Bi Yani selalu mencekokiku dengan masakan khas Indonesia. Aku baru memakan masakan Western, India dan Chinese kalau sedang di luar negeri. Itu pun aku harus memastikan kalau masakannya halal."
Kali ini Sani tertawa cukup keras, bahkan sampai memegangi perutnya.
Untungnya Aman tidak tersinggung. Ia hanya melirik sebentar ke arah Sani yang memunggunginya sambil memperlihatkan senyum tipisnya seperti biasa. Kemudian ia kembali sibuk dengan pekerjaannya.
"Kalau aku mempelajari masakan India, apa kamu mau memakannya?" Tanya Sani setelah berhenti tertawa.
"Tentu saja!" Jawab Aman tanpa ragu.
"Sebenarnya ada satu makanan khas Pakistan yang sangat ingin aku makan. Namanya Biryani! Apa kamu mau belajar membuatnya untukku?"
"Biryani?" Sani mengerutkan alisnya, namun tetap fokus pada kegiatannya.
"Iya. Nasi berwarna kuning yang disajikan dengan daging ayam atau daging sapi. Sudah lama aku tidak memakannya. Aku tidak begitu suka Biryani yang di jual di Restaurant."
"Memangnya akan ada bedanya kalau aku yang membuatnya? Apalagi biasanya Restaurant mewah memakai bahan-bahan yang langsung didatangkan dari negara asalnya."
"Mungkin karena masakan rumah dibuat dengan sepenuh hati untuk keluarga tercinta?!"
Ucapan Aman berhasil membuat Sani terdiam beberapa saat. Ia pun menoleh untuk melihat bagaimana ekspresinya setelah mengatakan hal itu.
Sayangnya Aman tak memperlihatkan ekspresi apapun, selain matanya yang fokus pada layar laptop. Seakan ucapannya barusan hanya sekedar angin lalu.
Melihat hal itu, Sani lantas berbalik dan lanjut memasak.
Setelah satu jam berkutat di dapur, akhirnya masakan Sani jadi. Ia segera menatanya di atas piring dan membawanya ke meja makan.
Di saat yang sama, aroma tumisan bumbu yang harum, menyeruak hingga ke indra penciuman Aman dan membuat konsentrasinya buyar seketika.
Dengan cepat Aman menutup surel yang sedang ia periksa dan meninggalkan laptopnya begitu saja di atas meja bar. Ia berjalan ke meja makan dan mengamati semua masakan Sani.
Ada daging slice saos teriyaki dan sayur pakcoy yang direbus begitu saja, lalu ditiriskan. Tak lupa sambal tumis dan kerupuk sebagai pelengkap.
"Ternyata kamu pandai memasak," puji Aman yang langsung mengambil posisi duduk di kepala meja. Ia sudah tak sabar ingin segera mencicipi masakan Sani, namun ia menunggu lampu hijau dari si empunya masakan.
"Aku terbiasa memasak sejak kecil karena tinggal bersama Nenek," kata Sani sambil meletakkan dua piring berisi nasi di atas meja. Piring yang berisi nasi cukup banyak ia letakkan di hadapan Aman, sementara piring yang isinya sedikit ia letakkan di hadapannya. Setelah itu Sani kembali ke dapur untuk mengambil sesuatu.
Merasa ada yang aneh, Aman pun menatap kedua piring itu secara bergantian. Ia heran melihat jumlah nasi di kedua piring itu sangat berbeda jauh.
"Kenapa porsi nasimu sedikit sekali?"
Sani tak langsung menjawab. Ia berjalan ke meja makan sambil membawa nampan berisi buah apel yang telah dikupas, serta cerek kaca berisi air putih.
Setelah meletakkan barang bawaannya di atas meja, Sani melepaskan kacamata Aman dan menyimpannya di samping laptop.
"Aku sedang diet."
Kemudian Sani menarik kursi yang berada tepat di samping kiri Aman dan duduk di sana. "Kita makan sekarang, yuk!"
Sembari menatap wajah Sani yang tersenyum, Aman mengangguk setuju.
...****************...
Usai makan malam dan membersihkan piring kotor mereka, Sani dan Aman langsung masuk ke dalam kamar. Tak lupa mereka bergantian ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum tidur.
Sani begitu senang dengan setiap kegiatan yang mereka lakukan bersama sejak tadi siang. Dan walaupun ekspresi Aman biasa saja, namun ia juga menikmati kebersamaan mereka tanpa rasa terpaksa sedikit pun.
Selesai membersihkan diri, Sani segera menuju ke tempat tidur dan bersandar pada headboard. Di saat yang sama, jantungnya mendadak berdegup kencang. Beberapa kali ia mencoba mengatur nafas untuk menghilangkan rasa gugupnya
Bagaimana tidak, ini malam pertama Sani tidur bersama Aman. Meski sejak tadi pria itu tak menunjukkan tanda-tanda ingin mengajaknya bercinta, namun sebagai seorang istri, Sani harus mempersiapkan mentalnya lahir dan batin untuk melayani suaminya jika ia meminta haknya malam ini.
Untungnya setelah beberapa menit berlalu, Sani mulai bisa mengatur nafas. Sayangnya, hal itu hanya berlangsung sesaat.
Ketika Aman muncul dari ambang pintu ruang ganti, perasaan gugup kembali menggerayanginya. Terlebih saat Aman menghampirinya dan duduk tepat di hadapannya. Seluruh tubuh Sani tiba-tiba terasa panas.
"Apa kamu tidak keberatan jika kita melakukannya malam ini?"
Pertanyaan Aman saat itu berhasil membuat tubuh Sani gemetar. Ia tak tahu harus menjawab apa.
Sani tak ingin Aman berpikir ia sudah tak sabar menunggu saat-saat ini, jika dirinya menjawab iya. Namun Sani juga tak ingin menjawab tidak, karena sebenarnya ia pun ingin merasakan malam pertamanya bersama Aman.
"Kalau kamu diam, aku akan menganggap kamu tidak keberatan," kata Aman.
Karena tak juga mendapat jawaban darinya, Aman pun memberanikan diri menyentuh Sani. Dengan lembut ia meletakkan tangan kanannya di ubun-ubun Sani. Sembari mengucapkan Bismillah, ia melafazkan doa dan menatap wajah istrinya lekat-lekat.
Di saat yang sama, Sani memejamkan mata, diiringi air mata yang mengalir membasahi kedua pipinya. Entah mengapa, terselip rasa haru di hatinya berkat perlakuan lembut Aman, pria yang dilamarnya secara tiba-tiba. Padahal rasa cinta masih menjadi tanda tanya besar dalam hatinya.
Seperti halnya Aman, Sani pun mengajak pria itu menikah murni karena ingin merasakan kehidupan berumah tangga sebelum menyesalinya, bukan karena cinta. Namun sikap Aman yang hangat dan lembut, membuat hatinya terenyuh.
"Mari kita Salat Sunnah."
Aman meraih tangan Sani dan menuntunnya ke kamar mandi untuk berwudhu. Mereka melaksanakan ibadah bersama, membungkukkan badan, bersujud meminta ridho Tuhan.
Tak henti-hentinya Sani meneteskan air mata di sepanjang untaian doa yang dipanjatkan Aman dan ia tak putus mengaminkannya di ujung bibir.
Seusai beribadah, hati Sani jauh lebih tenang. Ia kembali duduk di sisi kanan kasur sembari menunggu Aman yang sedang meletakkan sajadah mereka di tempatnya.
Saat Aman menghampirinya dan duduk di sampingnya, jantung Sani kembali berdegup kencang. Untungnya kali ini ia bisa mengontrol kegugupannya.
Setelah sama-sama melafazkan doa, Aman meraih punggung tangan Sani dan mengecupnya dengan lembut. "Ku harap kamu tidak merasa terpaksa melakukannya bersamaku."
Sani menggeleng dengan cepat. Matanya menatap sayup wajah Aman yang begitu teduh. "Justru aku semakin yakin ingin melakukannya denganmu. Aku rela jika kamu yang menikmati tubuhku untuk pertama kalinya. Setiap jengkal, setiap inchi, aku ikhlas menyerahkannya."
Aman tersenyum. Tapi kali ini senyumnya sedikit lebih mengembang dari biasanya, membuat Sani terpana melihat senyumnya.
Ini pertama kalinya Aman memperlihatkan senyum itu dan menunjukkan pesona yang berbeda dari yang biasanya. Karena itu, Sani refleks menyentuh pipi Aman dan membelainya dengan lembut.
Dan belaian lembut Sani berhasil membangkitkan gairah Aman yang selama ini berusaha ia tahan. Ia pun mendekat, mencium bibir Sani dan mengulumnya dengan lembut, membiarkan Sani terbiasa akan sentuhannya.
Tangan Aman pun tak tinggal diam. Ia bergerak membelai pipi Sani, menyentuh dagunya, lalu turun ke bawah, hingga ia mulai membuka kancing dress yang dikenakan Sani satu-persatu. Sementara bibir mereka terus terpaut, membelit hingga nafas mereka sesak oleh gairah.
Sambil sesekali memberi jeda untuk bernafas, pemanasan demi pemanasan Aman berikan, hingga keduanya melenguh bersama dan menikmati percintaan dengan penuh gairah sebagai sepasang suami istri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments