Rapat akhir pekan baru saja selesai, namun pikiran Aman sedang tidak fokus. Ia kembali menatap kartu nama yang diletakkannya di atas meja rapat.
'Apa sebaiknya ku hubungi sekarang?'
Baru saja Aman ingin mengetik nomor telepon Sani ke dalam layar ponselnya, lantunan Adzan Dzuhur dari luar gedung sudah lebih dulu menggema. Ia pun memutuskan untuk memenuhi panggilan Tuhan sebelum menghubungi nomor Sani.
Usai menunaikan Salat Zuhur dan makan siang, Aman mencoba menghubungi nomor Sani. Baru dua kali terdengar bunyi tut... , panggilan teleponnya sudah langsung terhubung. Seakan gadis itu sedang memandangi ponselnya dan menunggu telepon dari Aman.
"Halo, Assalamualaikum, " sapa Sani lebih dulu.
"Wa'alaikum Salam Warahmatullaah... Apa aku mengganggu waktumu?" Untuk pertama kalinya Aman berbicara santai pada seorang wanita.
"Tidak! Aku sudah menunggu teleponmu sejak tadi."
Aman mengatupkan bibirnya, berusaha menahan senyum. Rasanya aneh mendengar Sani berbicara santai layaknya orang seumuran.
"Kamu sudah memutuskan kapan menemui Ayah?" Sani bertanya tanpa basa-basi.
"Apa tidak terlalu terburu-buru kalau kita menemuinya sebentar sore? Kebetulan ini weekend, jadi jadwalku tidak terlalu padat."
Tanpa pikir lama, Sani langsung menjawab. "Tentu saja tidak! Makin cepat makin baik. Karena pengurusan berkas pernikahan dengan WNA cukup memakan waktu."
Aman terkesiap mendengar jawaban Sani yang begitu lugas, namun ia berusaha tak memperlihatkan ekspresi apapun.
"Baiklah! Aku akan menjemputmu di kantor jam empat sore. Kita berangkat sama-sama ke rumah sakit menemui Ayahmu."
"Aku akan menyampaikan kabar kedatangan kita pada Ayah," Sani terdengar kegirangan.
"Oh ya, apa kamu sudah makan siang?" Tanyanya lagi.
"Sudah. Aku baru saja selesai makan siang dan langsung meneleponmu."
"Kalau begitu aku tutup teleponnya, ya. Selamat bekerja, Assalamualaikum," pamit Sani mengakhiri percakapan mereka.
"Wa'alaikum Salam Warahmatullaah."
Sontak bulu kuduk Aman meremang, usai memutuskan sambungan telepon mereka. Seolah ada sesuatu yang menggelitik dadanya.
Ini pertama kalinya seorang wanita menanyakan hal-hal kecil seperti itu padanya. Selama ini hanya ada satu orang yang selalu memberinya perhatian. Dan ia adalah Sahir, asistennya yang seorang pria.
Mendadak Aman merasa sedikit menyesal telah menyia-nyiakan sepuluh tahun hidupnya yang terus merundung diri sendiri atas kejadian di masa lalu yang begitu menyakitkan.
Tapi jika Aman tak mengalami peristiwa itu, tentu dirinya tak akan bertemu dengan Sani. Ia bisa saja sudah menikah dan memiliki anak. Seperti inilah cara Tuhan menentukan takdirnya.
"Sahir, tolong masuk ke ruanganku sekarang!" Panggilnya melalui telepon kantor.
"Baik, Tuan."
Beberapa menit kemudian, Sahir muncul dan berjalan ke arah Aman. "Ada apa, Tuan Aman?"
"Sore ini aku akan pergi menemui Pak Heri. Jika ada sesuatu yang mendesak, tolong kau tangani. Dan minta Pak Adi untuk menyiapkan mobilku."
"Anda ingin membawa mobil sendiri?"
"Iya. Aku harus ke kantor HW Construction menjemput Sani, lalu pergi bersamanya ke rumah sakit menemui Pak Heri."
Tanpa sadar mulut Sahir terbuka saat menatap Aman tak percaya. "Secepat ini anda memutuskan semuanya, Tuan? Apa tidak sebaiknya anda menghubungi Nenek Divya lebih dulu dan memberitahunya tentang hal ini sebelum menemui Pak Heri?"
Aman tertegun mendengar Sahir menyebut nama sang Nenek. "Tidak perlu! Lagipula sudah lama aku tidak bertukar kabar dengan beliau."
"Tetap saja...." Sahir tak melanjutkan ucapannya. Pikirannya tiba-tiba teralihkan oleh hal lain.
"Apa anda tidak akan menceritakan kejadian yang terjadi di keluarga anda pada Nona Sani?" Sahir bertanya dengan tatapan lirih ke Aman.
Aman pun terkejut mendengar pertanyaan Sahir. Ia termangu cukup lama sebelum akhirnya menjawab rasa penasaran asistennya.
"Aku belum sedekat itu untuk menceritakan masa laluku pada Sani. Tapi aku akan mencoba lebih akrab dengannya. Kalau aku sudah merasa nyaman berada di dekatnya, aku pasti akan menceritakan semuanya secara perlahan."
Sahir mengangguk paham. "Baiklah, kalau memang itu keputusan anda. Setidaknya anda sudah berani membuka cangkang anda perlahan-lahan. Semoga saja Nona Sani bisa menerima masa lalu anda dengan baik."
"Terima kasih atas dukunganmu, Sahir. Entah apa yang terjadi padaku jika Ibu tidak membawaku kemari sepuluh tahun lalu."
"Mungkin anda akan berakhir menjadi gelandangan? Atau bisa saja anda menjadi gila dan menyerang orang-orang yang berusaha mendekati anda? Siapa yang tahu," jawab Sahir sambil terkekeh.
"Ngomong-ngomong, bagaimana kabar Ibu?"
"Jangan tanya lagi! Ibu sangat menikmati hidupnya sebagai wanita pantai. Bisnis resort yang anda siapkan untuk Ibu berhasil membuatnya lupa dengan anaknya sendiri!" Gerutu Sahir.
"Setidaknya Ibu bisa menikmati masa tuanya," Aman begitu senang mendengar kabar Ibu Dina, Ibunya Sahir, meski tetap dengan raut wajah datarnya.
"Setelah menikah, aku akan mengajak Sani menemui beliau."
"Boleh-boleh saja! Tapi anda tidak boleh pergi terlalu lama, karena sudah pasti anda akan melimpahkan semua urusan perusahaan padaku."
"Kalau bukan kau, siapa lagi?!"
Sahir berdecak kesal sambil tersenyum paksa. 'Dasar kak Aman!'
"Oh ya, tolong kau urus dokumen-dokumen yang harus dilengkapi untuk pendaftaran pernikahan. Apa saja syarat yang harus dipenuhi, agar pernikahan kami legal secara hukum."
"Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi mengurusnya sekarang juga."
"Sahir, kau memang yang terbaik!" Puji Aman sambil mengacungkan jempolnya.
"Tak perlu memuji, Tuan. Cukup beri saya bonus sebagai ucapan terima kasih," gurau Sahir sembari mengulurkan tangannya pada Aman. Ia menggerakkan kedua alisnya naik turun dengan senyum penuh, seolah memberi kode pada atasannya itu.
Tapi Aman justru menyipitkan matanya, menatap kesal ke arah Sahir. "Dasar!"
Baru saja Aman ingin melayangkan pukulan di lengan Sahir, namun pemuda itu sudah lebih dulu kabur meninggalkannya.
...****************...
Sore itu, sebuah sedan BMW hitam memasuki area parkir kantor HW Construction.
Di saat yang sama, Sani baru saja keluar dari gedung perkantoran miliknya dan langsung menghampiri sedan yang baru saja terparkir.
Akibat kejadian itu, para karyawan HW Construction yang masih bekerja menjadi heboh. Mereka berbondong-bondong mengintip dari balik jendela kantor.
Tak lama kemudian, seorang pria berkulit putih dengan paras tampan khas Timur Tengah keluar dari dalam mobil.
Para karyawan kompak berdecak kagum melihat perawakan pria itu yang sangat tinggi, dengan postur tubuh yang proporsional. Sang pria berjalan ke sisi kiri mobil dan membuka pintu untuk Sani yang baru saja menghampirinya.
Saat itulah wajah pria itu terekspos dengan jelas. Mereka pun memicingkan mata, berusaha mengamati wajah pria itu dengan seksama.
"Bukannya itu Pak Aman, klien Pak Heri?"
"Tumben dia ke sini? Jemput Bu Sani pula!"
"Apa jangan-jangan mereka ada hubungan?!"
"Hush! Ada-ada saja kalian! Kantor kita kan baru saja menandatangani kontrak dengan Pak Aman. Dan Bu Sani yang mewakili Pak Direktur untuk tanda tangan kontrak."
"Lagian kenapa juga kalau mereka berhubungan? Toh Bu Sani juga sudah batal menikah dengan pria brengsek itu! Bu Sani berhak mendapatkan pria yang jauh lebih baik darinya. Wanita sebaik dia tidak pantas disia-siakan."
"Aku penasaran, kenapa calon suami Bu Sani tiba-tiba membatalkan pernikahan tiba-tiba? Mana kolega Pak Direktur pada datang di acara akad. Untung tidak ada yang membatalkan kontrak hanya karena masalah itu."
"Hanya mereka yang tahu, kita tidak boleh ikut campur urusan atasan!"
Begitulah percakapan antar karyawan mengenai pembatalan pernikahan Sani terjadi, selepas kepergian gadis itu bersama Aman.
...****************...
Sementara itu, di lain tempat...
Sani dan Aman baru saja tiba di salah satu Rumah Sakit swasta terbaik di Jakarta. Mereka segera menuju ruang suite, tempat Pak Heri dirawat.
Namun sesampainya di sana, keduanya justru dikejutkan dengan kehadiran Nenek Hanum, Ibu dari Pak Heri, yang juga berada di sana.
Sani segera menghambur ke pelukan Nenek Hanum, Nenek yang selama ini merawatnya. Sementara Aman berjalan menghampiri Pak Heri dan menyapanya.
"Nenek kok ada di sini?"
"Kamu kan bilang mau mempertemukan calonmu sama Ayahmu. Makanya Nenek datang ke sini!"
"Tadinya kami berencana menemui Nenek di rumah setelah dari sini."
"Sudah terlanjur! Sekalian Nenek ingin melihat kondisi putra Nenek. Kasihan, dia tidak punya istri yang merawatnya di masa tua!" Ledek sang Nenek.
"Ibu bisa saja!" Pak Heri menggaruk kepala belakangnya, malu.
"Bagaimana kabar anda, Pak Heri?" Tanya Aman.
"Baik, Pak Aman."
"Maaf jika kedatangan saya ke sini sangat tiba-tiba." Aman menunduk sesaat, menunjukkan rasa sungkannya.
"Tidak apa-apa, Pak Aman. Anda tidak perlu merasa sungkan," ucap Pak Heri yang kemudian memberi isyarat kepada Sani untuk mendekat.
Sani pun segera menghampiri Aman dan berdiri tepat di sampingnya. Setelah itu, Pak Heri membuka percakapan di antara mereka.
"Sani sudah mengatakan kepada kami maksud kedatangan Pak Aman menemui saya. Tapi sebelum membahas itu, saya ingin memastikan satu hal pada Pak Aman. Apakah anda yakin, ingin menikahi putri saya?" Tanya Pak Heri dengan mata yang berkaca-kaca. Ia menatap Sani dan Ibunya secara bergantian dengan tatapan sendu.
Sani dan Nenek Hanum balas menatap Pak Heri dengan ekspresi yang sama. Namun Sani segera menggelengkan kepalanya pada sang Ayah, seolah memohon untuk tidak menceritakan apapun pada Aman.
"Anda tahu sendiri, dua minggu lalu pernikahan Sani dibatalkan secara sepihak oleh keluarga mempelai pria karena satu alasan."
"Saya sudah tahu mengenai hal itu. Bagi saya, itu tidak masalah. Keputusan kami menikah tidak ada hubungannya dengan pembatalan pernikahan Sani," jawab Aman dengan tegas.
"Bagaimana jika ternyata putri saya menyimpan rahasia tentang alasan pembatalan pernikahannya yang nantinya akan membuat anda merasa dibohongi?" Tanya Pak Heri dengan suara pelan.
Namun Aman tak langsung menjawab pertanyaan Pak Heri. Ia justru menoleh ke arah Sani, menatap mata gadis itu yang juga sedang menatapnya dengan berlinang air mata.
Meski tatapan Sani saat itu jelas menyiratkan jika yang dikatakan Ayahnya memang benar, namun Aman juga melihat ketulusan dan kesedihan dalam tatapannya.
Untuk itu Aman ingin bertaruh pada alasan tersebut dan mencoba melangkah maju, meski pernikahan mereka tanpa dilandasi oleh cinta. Toh, dirinya sendiri memiliki rahasia yang hanya diketahui oleh Sahir dan Ibunya.
"Hal itu tidak menjadi masalah bagi saya, Pak Heri. Selagi hal itu tidak merusak fisik saya ataupun melanggar hukum, saya akan menerimanya."
Pak Heri menatap Ibunya yang sudah lebih dulu menangis terisak.
"Kalau begitu, kami akan merestui kalian. Tapi dengan satu syarat!" Kali ini Pak Heri menatap Aman dengan penuh permohonan.
"Sani harus berhenti bekerja dan hanya fokus mengurus anda. Pak Aman akan terus berada di sisi Sani dan tidak menyia-nyiakan dia selama sisa hidupnya."
Aman sedikit aneh dengan syarat itu, tapi ia tidak begitu ambil pusing. Karena menurutnya, sudah kodrat seorang wanita mengurus dan melayani suaminya sebaik mungkin. Apalagi bagi sebagian masyarakat India, mengabdikan diri untuk suami merupakan sebuah kewajiban.
"Saya terima syarat anda, Pak Heri!"
Pak Heri dan Nenek Hanum langsung bernafas lega, teramat lega mendengar pernyataan tegas Aman. Nenek Hanum bahkan menghampiri Pak Heri dan memeluknya.
Sani pun ikut menghampiri Ayahnya dan memeluk keduanya dengan erat. Pertemuan mereka berakhir dengan saling berpelukan dan menangis bersama.
Melihat keharuan yang terjadi di antara mereka, Aman hanya bisa terdiam. Sudah lama sejak terakhir kali ia menangis dan sekarang ia kesulitan meneteskan air mata, seolah kantung matanya telah kering. Karena itu ia tak ikut menangis, meski dirinya bisa merasakan keharuan mereka di sore itu.
...****************...
Mobil Aman tiba tepat di depan rumah Sani. Setelah mematikan mesin mobilnya, ia menoleh ke arah gadis itu yang masih saja terisak, lantaran berbagi kesedihan bersama Ayah dan Neneknya selama setengah jam, hingga mengakibatkan matanya sembab.
"Begitu masuk rumah, kamu segera mandi, supaya pikiranmu bisa lebih segar," Aman mengingatkan.
"Terima kasih."
"Kalau begitu aku pamit. Aku akan mengabarimu begitu dokumen-dokumen yang dibutuhkan sudah lengkap."
Sani hanya mengangguk. Ia meraih tissue yang ada di dashboard mobil dan mengelap sisa air matanya.
"Terima kasih karena telah mengiyakan keinginanku. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu sampai kapan pun. Kalaupun aku tidak bisa memberikan kebahagiaan, Tuhan akan membalas semua kebaikan yang kamu lakukan untukku," kata Sani lirih.
Iba melihat Sani yang sesenggukan, Aman pun mencoba menghiburnya. Ia meletakkan tangannya di atas kepala Sani dan menepuknya dengan pelan.
"Ke depannya kita akan saling membantu sebagai partner hidup. Jadi tidak ada yang namanya hutang budi. Semoga kamu dan aku bisa menjadi pasangan yang akur selamanya." Aman berusaha tersenyum, meski lagi-lagi senyumannya begitu tipis.
Namun senyuman Aman itu justru menjadi hal yang sangat spesial di hati Sani, karena belum pernah ada pria yang tersenyum seperti itu padanya. Seolah Aman memandangnya dengan rasa hormat, berbeda dari pria kebanyakan yang selama ini berusaha mendekatinya.
"Kalau begitu aku masuk dulu ya, Assalamualaikum."
"Wa'alaikum Salam Warahmatullaah."
Sani membuka pintu mobil dan bergegas ke depan pintu pagar rumahnya. Sebelum masuk, ia sempat berbalik dan melambai pada Aman.
Begitu Sani tak nampak lagi, Aman segera menghidupkan mesin mobilnya dan meninggalkan rumah gadis itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments