"Maaf, Ma, Pa, Dani telat," sapa Dani, memecah percakapan yang tengah berlangsung.
Semua mata tertuju padanya. Rida, sang ibu, segera memperkenalkan Dani kepada keluarga Trisna. "Dani, kenalkan ini Tante Henny dan Om Trisna... dan ini Milly."
Dani mengangguk sopan. "Halo semuanya, salam kenal."
Milly, yang tadinya enggan dengan perjodohan ini, langsung terpana. Sesuai perkataan ibunya, Dani memang tampan. Ia kaya, berkarisma, dan macho. Milly tak bisa mengalihkan pandangannya.
"Milly? Milly!" panggil Henny, ibunya.
"Eh, iya, Ma?"
Henny tersenyum jahil. "Kenapa kamu melihat Dani begitu?"
Milly tersipu malu karena ketahuan. "Eum... enggak, kok. Biasa aja," jawabnya gugup.
"Dani, ternyata dugaan Tante benar. Kamu sangat tampan, Sayang," puji Henny.
"Terima kasih, Tante," balas Dani.
"Kamu duduk di dekat Milly, ya," pinta Rida.
"Iya, Ma."
Dani menarik kursi dan duduk di hadapan Milly. Ia menatap Milly sejenak dan tersenyum. Milly semakin gugup. Ia mengalihkan pandangannya, takut ketahuan mengagumi Dani.
"Nah, Dani," Rida memulai, "kamu sudah tahu maksud dari pertemuan ini?"
"Belum, Tante. Memangnya kenapa?"
"Dulu, Mama dan Tante Henny punya impian. Jika anak kami berbeda jenis kelamin, kami akan menjodohkan mereka. Sekarang, Mama dan Tante sepakat untuk menjodohkan kamu dengan Milly."
Dani terkejut. Ia menatap Rida dengan tatapan tidak percaya. "Tapi kenapa harus aku?"
"Dani, dengarkan Mama. Usiamu sudah cukup untuk menikah. Mama ingin punya menantu. Dan Mama memilih Milly sebagai calon istrimu. Mama rasa, hanya dia yang pantas mendampingimu."
"Tapi kenapa mendadak sekali, Ma? Apa Mama tidak memikirkanku? Aku tidak ingin menikah secepat ini," protes Dani.
Keluarga Trisna terdiam melihat perdebatan itu. Rida berusaha meyakinkan putranya. "Dani, Mama lebih tahu dirimu daripada dirimu sendiri. Mama hanya ingin kamu punya pendamping hidup. Apa salahnya menikah cepat? Kamu sudah mapan dan kaya, apalagi yang kamu cari?"
Dani terdiam, mencerna perkataan Rida.
"Dani, Mama mohon padamu. Terima perjodohan ini. Setidaknya kamu mau berkenalan dengan Milly dulu," desak Rida.
Lagi-lagi Dani terdiam. Ia bingung. Ia tidak memiliki perasaan apa pun pada Milly. Ia juga tidak ingin menikah secepat ini.
"Tapi, Ma..."
"Sudahlah, Dani. Tidak apa-apa jika kita undur acaranya. Tapi setidaknya kamu mau berkenalan dengan Milly," bujuk Rida.
Dani menghela napas pasrah. Ia mengangguk. "Baiklah, aku akan berkenalan dengan Milly."
Semua orang di sana merasa lega dan senang. Milly tersenyum lebar.
"Terima kasih, Sayang," ujar Rida kepada Dani. "Kalian berdua bisa mengobrol di tempat terpisah."
"Baik, Tante," jawab Milly.
Dani dan Milly pun pindah ke meja lain.
"Tuh, kan, mereka cocok sekali," bisik Rida.
"Iya, hehe."
***
Milly merasa sangat gugup. Ia berusaha mencairkan suasana. "Eum... Dani, apa kamu serius menerima perjodohan kita?"
"Menurutmu bagaimana?" tanya Dani balik.
"Kalau menurutku, sih, kita terima aja. Soalnya ini menyangkut keluarga kita juga. Lagipula, Mama kamu dan Mama sangat bahagia. Setidaknya buat mereka senang," ujar Milly.
Dani terdiam sejenak. "Kamu memang benar," jawabnya pelan.
Milly tersenyum lebar. Dalam hati, ia membayangkan kehidupan yang mewah bersama Dani. "Bagus. Sepertinya dia bakal menerima perjodohan ini. Aaa, aku enggak sabar pengin nikah sama Dani yang ganteng dan kaya ini. Aku bisa foya-foya pakai uangnya."
Setelah mengobrol beberapa menit, mereka kembali ke meja keluarga.
"Bagaimana? Milly, kamu suka sama anak Tante?" tanya Rida.
"S-suka, Tan. Dani baik dan ramah," jawab Milly.
"Baguslah. Eh, sudah sore. Henny, pokoknya kita bakal jadi besan, aaa, senang sekali."
"Iya, Rida. Aku juga senang Dani dan Milly ternyata saling menyukai."
"Kalau begitu, pertemuan kita sampai di sini dulu, ya. Nanti kita bikin pertemuan lagi di rumahku," usul Rida.
"Boleh, boleh. Nanti kamu hubungi aku saja, ya," jawab Henny.
Hari semakin sore, mereka pun berpamitan. Dani pulang terpisah dengan kedua orang tuanya, karena membawa mobil sendiri.
***
Mobil tengah melaju kencang membelah jalanan kota di gelapnya malam, dai dalamnya terdapat Rida terus bercerita dengan gembira tentang perjodohan itu. Herman hanya diam mendengarkan.
"Mama senang akhirnya Dani mau menerima Milly, Pa," ucap Rida.
"Ma, apa Mama tidak lihat ekspresi Dani tadi? Dia sangat tertekan. Kenapa Mama harus memaksanya?" Herman akhirnya angkat bicara.
Senyum Rida sirna. "Apa-apaan sih kamu? Dani itu bahagia, tahu! Aku ibunya, aku tahu bagaimana Dani. Lagipula, Mama enggak memaksa. Dia sendiri yang mau menerima Milly."
Herman memilih diam. Ia tahu, berdebat dengan Rida tidak akan mengubah apa pun.
Di kamar, Dani merasa sangat lelah. Ia merebahkan diri di kasur. Perasaan pusing menghinggapinya. Kenapa ia harus menerima perjodohan yang tidak ia inginkan? Meskipun sudah dewasa, ia ingin memilih pasangannya sendiri dan tidak ingin menikah dalam waktu dekat.
"Aahhh, pusing..."
"Kenapa harus begini, sih? Mama juga memaksa sekali."
Ia memijat kepalanya. Pikirannya kalut. Tak lama kemudian, telepon kamarnya berdering. Ia malas mengangkatnya, tetapi telepon itu terus berbunyi. Dengan kesal, ia bangkit dan mengangkatnya.
"Halo! Siapa?!" ketusnya.
"Weh, ini gue Nathan. Kenapa lu ketus banget?"
Dani menghela napas. "Pusing gue. Ada apa lu telepon?"
"Lu lupa, ya? Gimana ajakan gue kemarin? Mau ikut gue berburu di hutan XXX? Ayolah, temani gue."
"Tadinya gue enggak mau. Tapi, gue pusing di sini, jadi gue ikut," jawab Dani.
"Serius lu?"
"Iyaaa..."
"Ya sudah. Besok siang kita berangkat, ya."
"Oke."
Sambungan terputus. Dani meletakkan gagang telepon dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan menenangkan pikirannya yang kacau.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments