Dunia Sihir: Sihir Ku Bukan Ancaman
Di salah satu kediaman mewah yang berdiri megah di kawasan itu, ketegangan menyelimuti udara. Suara seorang ayah yang berapi-api memarahi putra bungsunya, Felix, yang baru berusia sepuluh tahun, menggema keras. Alasan kemarahannya adalah kegagalan Felix dalam ujian sihir.
"Felix! Dasar anak tidak berguna! Ayah sungguh malu memiliki anak sepertimu!" bentak ayah Felix, raut wajahnya memerah karena amarah yang tak tertahankan.
"Hiks… Sungguh memalukan nama keluarga. Kenapa kau harus menorehkan aib pada marga kita?" isak sang ibu, air mata tak henti membasahi pipinya.
Bocah sepuluh tahun itu, Felix, hanya bisa terdiam kaku. Air mata perlahan menetes membasahi wajahnya saat mendengar orang tuanya melabelinya sebagai kegagalan. Tiba-tiba, seorang pemuda muncul, melangkah maju untuk membela adik tercintanya.
"Cukup, Ayah, Ibu! Felix hanya butuh waktu untuk menemukan dan menguasai sihirnya!" ujar Xavier, sang kakak, dengan nada tegas.
Ayah Felix, yang masih dikuasai emosi, menghela napas berat dan duduk di sofa. "Xavier, andai saja adikmu sejenius dirimu dalam sihir, mungkin Ayah tidak akan merasa malu seperti ini."
"Ibu hanya takut dia akan dikucilkan di masa depan, Nak," tambah sang ibu, mengusap sisa air mata di sudut matanya dengan sapu tangan.
Tanpa menunggu lebih lama, Xavier segera menggandeng tangan adiknya, menjauh dari kedua orang tua mereka. Sebelum benar-benar pergi, Xavier menoleh ke belakang dan berujar dengan keyakinan, "Aku akan selalu ada di sisi adikku, meskipun semua orang menganggapnya sebagai sebuah kegagalan."
Xavier membawa adiknya pergi, langkahnya mantap. Ia tak menghiraukan panggilan marah dari ayah dan ibunya.
Di Kamar Felix
Di dalam kamar yang hening, Felix memecah kebisuan dengan suara bergetar. "Kak, apa aku benar-benar aib bagi keluarga karena sihirku lemah, tidak seperti Kakak?" Ia tak kuasa menahan tangisnya lagi.
Xavier dengan lembut menyeka air mata adiknya. "Kamu bukan aib, Felix. Aku akan bersamamu, hari ini, besok, dan sampai kapan pun."
Mendengar kata-kata itu, senyum tipis akhirnya terukir di wajah Felix.
Beberapa bulan kemudian, Xavier diterima di sekolah sihir bergengsi, meninggalkan Felix sendirian di rumah yang kini terasa semakin mencekam dan dingin baginya. Tak ada lagi yang melindungi dirinya dari celaan. Namun, segalanya berubah ketika Kakek Felix datang. Kehadiran sang kakek membawa kehangatan dan rasa aman yang telah lama hilang.
"Felix, sebentar lagi, kamu juga akan masuk ke sekolah sihir yang sama dengan Xavier," ujar sang Kakek sambil mengelus rambut Felix dengan penuh kasih.
"Tapi, Kakek, sihirku sangatlah lemah," jawab Felix, nada suaranya dipenuhi rasa tidak percaya diri.
"Ah, jangan khawatir. Sihirmu akan semakin membaik seiring waktu. Kakek yakin sekali," balas sang Kakek dengan keyakinan yang menenangkan.
"Anak itu hanya akan mempermalukan nama keluarga kita. Sementara putraku, Xavier, berhasil masuk 10 besar siswa pengguna sihir paling berbakat di sekolah. Mungkin saja nanti dia akan menjadi pemimpin pelindung kerajaan sihir, atau bahkan Kaisar Sihir!" seru sang ibu dengan bangga, matanya berbinar memuji Xavier.
Kakek Felix tersenyum tipis. "Hhhh... Tentu, dia pasti akan mencapai semua itu. Tapi Felix, dia pasti akan menjadi kuat. Bahkan, jauh lebih kuat lagi." Kakek mengatakannya dengan kebanggaan yang tak kalah besar untuk cucu bungsunya.
Tujuh Tahun Kemudian
Kini, Felix berusia 17 tahun dan bersekolah di tempat yang sama dengan Xavier. Baik di rumah maupun di sekolah, ia tak henti-hentinya menerima perundungan dan ejekan karena sihirnya yang dianggap sangat lemah. Namun, Felix hanya bersikap cuek dan dingin, seolah semua hinaan itu tak berarti apa-apa baginya.
"Hah, kalau aku tidak bisa sihir, aku tidak akan sudi menginjakkan kaki di sekolah ini. Sungguh memalukan!" cibir seorang siswa bangsawan kepada Felix.
Seseorang melemparkan gulungan kertas ke arah Felix sambil mengucapkan kata-kata yang kejam. Namun, Felix hanya acuh tak acuh. Ia sudah terlalu terbiasa dengan perlakuan seperti itu.
"Hahaha... Anak gagal! Apa kau tidak malu? Kau berasal dari keluarga bangsawan yang hebat, tapi dirimu lemah. Lebih baik kau keluar saja dari sekolah ini! Kau hanya mencoreng kehormatan keluargamu!" Beberapa siswa dan siswi tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan tersebut.
Tiba-tiba, tanpa diduga, Xavier masuk ke dalam kelas bersama teman-temannya. Xavier kini berada di posisi pertama sebagai siswa paling berbakat di sekolah. Seketika, suasana menjadi hening saat Xavier melangkah masuk.
"Felix, bagaimana kabarmu?" tanya Xavier sambil tersenyum hangat.
"Aku baik-baik saja," jawab Felix dengan santai.
"Baguslah. Aku hanya ingin memberikan ini. Buku yang kau minta," ucap Xavier. Ia menyerahkan sebuah buku kepada Felix, tersenyum sekilas, lalu segera pergi bersama rombongannya.
"Buku apa ini?" Seorang siswa merampas buku milik Felix.
"Hahahahahaha... Buku sihir tanaman? Kau mau pindah ke sihir tanaman?!" ejeknya keras, mengundang tawa dari siswa lain.
"Kembalikan," pinta Felix dengan nada tenang.
"Sihir Pengikatan!" Salah satu siswa mengucapkan mantra, dan seketika lima tali sihir melilit erat tubuh Felix. Felix tetap diam, tanpa menunjukkan ekspresi apa pun.
Pria di depan Felix bersiap meluncurkan serangan sihirnya. "Sihir Racun!" ucap siswa itu, sebuah gumpalan racun melesat ke arah Felix.
Secara refleks, Felix menggunakan sihir pelindung dari petir. Namun, energinya tidak cukup besar karena Mana-nya hampir habis. Meskipun demikian, perisai petir kecil itu berhasil memutus tali pengikat.
Seketika, Felix jatuh terduduk di lantai, kelelahan karena kehabisan energi. Pria yang merasa bosan akhirnya membuang buku Felix tepat di hadapannya.
"Felix memang tampan, sayangnya dia terlalu lemah. Tidak seperti kakaknya, tampan dan hebat," bisik seorang siswi wanita di sana.
Felix yang sudah terbiasa dengan semua itu tampak tak ambil pusing.
Pelajaran selanjutnya adalah duel sihir. Semua siswa siswi berkumpul di lapangan untuk bertanding satu lawan satu. Semua menggunakan sihir andalan mereka. Ketika giliran Felix, semua siswa berebut mengangkat tangan untuk melawannya, yakin bahwa Felix adalah lawan yang paling mudah ditaklukkan. Akhirnya, Viktor dari keluarga Fushi-lah yang maju.
"Jangan, Viktor, jangan kamu!" ujar sang Guru, yang menyadari betul jurang perbedaan kekuatan di antara mereka.
"Tidak ada yang mau maju selain aku, Pak," jawab Viktor, melirik siswa lain. Para siswa itu memang tidak ada yang berani maju lagi, mereka hanya ingin melihat Felix dikalahkan dengan mudah oleh Viktor.
"Felix, apa kau siap?" tanya Guru itu, nada suaranya dipenuhi kekhawatiran dan keraguan.
"Iya, saya siap!" jawab Felix tanpa sedikit pun rasa gentar.
Pertandingan pun dimulai.
"Si lemah melawan si kuat, hahahaha! Sungguh lelucon!" cibir siswa sihir racun itu.
Viktor segera menyerang. "Sihir Besi: Panah Besi!" serunya. Ratusan anak panah besi melesat kencang ke arah Felix, yang hanya mampu menghindari setiap serangan.
Setiap anak umumnya hanya menguasai satu atau dua jenis sihir. Felix menguasai sihir listrik, sementara Viktor menguasai sihir besi yang dapat dia kendalikan.
"Sihir Petir!" seru Felix, mengirimkan sengatan listrik kecil ke arah Viktor. Serangan itu dengan mudah dipatahkan, dan bagi Viktor, hanya terasa seperti geli.
"Hahahahaha... Kau anggap itu sihir?! Baiklah! Sihir Besi: Seratus Anak Panah!" Tiba-tiba, ratusan anak panah muncul di atas kepala Felix. Felix mulai panik.
Saat ratusan anak panah itu hampir mengenai Felix, tiba-tiba Xavier datang dan menolong adiknya dari serangan yang bisa berakibat fatal itu.
"Sihir Cahaya: Dinding Pelindung!" Seketika, perisai cahaya yang kuat muncul, melindungi Xavier dan Felix.
"Sihir Penyerang Cahaya!" Xavier langsung menyerang. Sebuah sorotan cahaya lurus dan kuat meluncur deras menuju Viktor. Viktor menggunakan sihir pelindung, tetapi itu tidak cukup kuat menahan serangan Xavier. Viktor terhempas jauh dan langsung tak sadarkan diri.
Guru segera menghentikan pertandingan karena takut akan terjadi bahaya lebih lanjut. Semua siswa terdiam menyaksikan kejadian itu.
"Felix, apa kau terluka?" tanya Xavier dengan nada sangat khawatir.
"Apa-apaan ini, Pak?! Kenapa Anda membiarkan orang yang jauh lebih kuat dari adik saya bertanding melawannya?! Jika sampai adik saya terluka, maka..." Sebelum Xavier menyelesaikan kalimatnya, Felix langsung menarik tangan kakaknya menjauh, tidak ingin kakaknya mendapat masalah.
"Apa-apaan, Felix? Kakak belum selesai bicara!" seru Xavier, penuh emosi.
"Kakak, aku baik-baik saja. Andai saja aku sekuat Kakak, pasti semuanya bisa kukendalikan," ucap Felix lirih, duduk di lapangan dengan perasaan kecewa.
"Aku minta maaf karena selalu merepotkan Kakak. Aku janji, suatu saat nanti, aku akan melindungi Kakak," lanjut Felix.
Xavier merangkul adiknya. "Tugas seorang kakak adalah melindungi adiknya, Felix. Jadi, kau tidak perlu meminta maaf." Namun, di dalam hatinya, Xavier takut. Ia takut suatu saat tidak bisa lagi melindungi adiknya.
"Aku akan menjagamu, Felix. Aku akan terus berlatih agar bisa menjadi lebih hebat dan bisa melindungimu," janji Xavier.
Setelah perbincangan singkat yang penuh makna, keduanya kembali ke kelas masing-masing.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Ayano
Keknya mereka ada 2 prota deh di sini
2023-08-01
  1
Ayano
Kan...
2023-08-01
  0
Ayano
Bertarung sihir ceritanya
Tapi kayaknya sedikit berat sebelah. Felix kalah gak ini
2023-08-01
  1