Di salah satu kediaman mewah yang berdiri megah di kawasan itu, ketegangan menyelimuti udara. Suara seorang ayah yang berapi-api memarahi putra bungsunya, Felix, yang baru berusia sepuluh tahun, menggema keras. Alasan kemarahannya adalah kegagalan Felix dalam ujian sihir.
"Felix! Dasar anak tidak berguna! Ayah sungguh malu memiliki anak sepertimu!" bentak ayah Felix, raut wajahnya memerah karena amarah yang tak tertahankan.
"Hiks… Sungguh memalukan nama keluarga. Kenapa kau harus menorehkan aib pada marga kita?" isak sang ibu, air mata tak henti membasahi pipinya.
Bocah sepuluh tahun itu, Felix, hanya bisa terdiam kaku. Air mata perlahan menetes membasahi wajahnya saat mendengar orang tuanya melabelinya sebagai kegagalan. Tiba-tiba, seorang pemuda muncul, melangkah maju untuk membela adik tercintanya.
"Cukup, Ayah, Ibu! Felix hanya butuh waktu untuk menemukan dan menguasai sihirnya!" ujar Xavier, sang kakak, dengan nada tegas.
Ayah Felix, yang masih dikuasai emosi, menghela napas berat dan duduk di sofa. "Xavier, andai saja adikmu sejenius dirimu dalam sihir, mungkin Ayah tidak akan merasa malu seperti ini."
"Ibu hanya takut dia akan dikucilkan di masa depan, Nak," tambah sang ibu, mengusap sisa air mata di sudut matanya dengan sapu tangan.
Tanpa menunggu lebih lama, Xavier segera menggandeng tangan adiknya, menjauh dari kedua orang tua mereka. Sebelum benar-benar pergi, Xavier menoleh ke belakang dan berujar dengan keyakinan, "Aku akan selalu ada di sisi adikku, meskipun semua orang menganggapnya sebagai sebuah kegagalan."
Xavier membawa adiknya pergi, langkahnya mantap. Ia tak menghiraukan panggilan marah dari ayah dan ibunya.
Di Kamar Felix
Di dalam kamar yang hening, Felix memecah kebisuan dengan suara bergetar. "Kak, apa aku benar-benar aib bagi keluarga karena sihirku lemah, tidak seperti Kakak?" Ia tak kuasa menahan tangisnya lagi.
Xavier dengan lembut menyeka air mata adiknya. "Kamu bukan aib, Felix. Aku akan bersamamu, hari ini, besok, dan sampai kapan pun."
Mendengar kata-kata itu, senyum tipis akhirnya terukir di wajah Felix.
Beberapa bulan kemudian, Xavier diterima di sekolah sihir bergengsi, meninggalkan Felix sendirian di rumah yang kini terasa semakin mencekam dan dingin baginya. Tak ada lagi yang melindungi dirinya dari celaan. Namun, segalanya berubah ketika Kakek Felix datang. Kehadiran sang kakek membawa kehangatan dan rasa aman yang telah lama hilang.
"Felix, sebentar lagi, kamu juga akan masuk ke sekolah sihir yang sama dengan Xavier," ujar sang Kakek sambil mengelus rambut Felix dengan penuh kasih.
"Tapi, Kakek, sihirku sangatlah lemah," jawab Felix, nada suaranya dipenuhi rasa tidak percaya diri.
"Ah, jangan khawatir. Sihirmu akan semakin membaik seiring waktu. Kakek yakin sekali," balas sang Kakek dengan keyakinan yang menenangkan.
"Anak itu hanya akan mempermalukan nama keluarga kita. Sementara putraku, Xavier, berhasil masuk 10 besar siswa pengguna sihir paling berbakat di sekolah. Mungkin saja nanti dia akan menjadi pemimpin pelindung kerajaan sihir, atau bahkan Kaisar Sihir!" seru sang ibu dengan bangga, matanya berbinar memuji Xavier.
Kakek Felix tersenyum tipis. "Hhhh... Tentu, dia pasti akan mencapai semua itu. Tapi Felix, dia pasti akan menjadi kuat. Bahkan, jauh lebih kuat lagi." Kakek mengatakannya dengan kebanggaan yang tak kalah besar untuk cucu bungsunya.
Tujuh Tahun Kemudian
Kini, Felix berusia 17 tahun dan bersekolah di tempat yang sama dengan Xavier. Baik di rumah maupun di sekolah, ia tak henti-hentinya menerima perundungan dan ejekan karena sihirnya yang dianggap sangat lemah. Namun, Felix hanya bersikap cuek dan dingin, seolah semua hinaan itu tak berarti apa-apa baginya.
"Hah, kalau aku tidak bisa sihir, aku tidak akan sudi menginjakkan kaki di sekolah ini. Sungguh memalukan!" cibir seorang siswa bangsawan kepada Felix.
Seseorang melemparkan gulungan kertas ke arah Felix sambil mengucapkan kata-kata yang kejam. Namun, Felix hanya acuh tak acuh. Ia sudah terlalu terbiasa dengan perlakuan seperti itu.
"Hahaha... Anak gagal! Apa kau tidak malu? Kau berasal dari keluarga bangsawan yang hebat, tapi dirimu lemah. Lebih baik kau keluar saja dari sekolah ini! Kau hanya mencoreng kehormatan keluargamu!" Beberapa siswa dan siswi tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan tersebut.
Tiba-tiba, tanpa diduga, Xavier masuk ke dalam kelas bersama teman-temannya. Xavier kini berada di posisi pertama sebagai siswa paling berbakat di sekolah. Seketika, suasana menjadi hening saat Xavier melangkah masuk.
"Felix, bagaimana kabarmu?" tanya Xavier sambil tersenyum hangat.
"Aku baik-baik saja," jawab Felix dengan santai.
"Baguslah. Aku hanya ingin memberikan ini. Buku yang kau minta," ucap Xavier. Ia menyerahkan sebuah buku kepada Felix, tersenyum sekilas, lalu segera pergi bersama rombongannya.
"Buku apa ini?" Seorang siswa merampas buku milik Felix.
"Hahahahahaha... Buku sihir tanaman? Kau mau pindah ke sihir tanaman?!" ejeknya keras, mengundang tawa dari siswa lain.
"Kembalikan," pinta Felix dengan nada tenang.
"Sihir Pengikatan!" Salah satu siswa mengucapkan mantra, dan seketika lima tali sihir melilit erat tubuh Felix. Felix tetap diam, tanpa menunjukkan ekspresi apa pun.
Pria di depan Felix bersiap meluncurkan serangan sihirnya. "Sihir Racun!" ucap siswa itu, sebuah gumpalan racun melesat ke arah Felix.
Secara refleks, Felix menggunakan sihir pelindung dari petir. Namun, energinya tidak cukup besar karena Mana-nya hampir habis. Meskipun demikian, perisai petir kecil itu berhasil memutus tali pengikat.
Seketika, Felix jatuh terduduk di lantai, kelelahan karena kehabisan energi. Pria yang merasa bosan akhirnya membuang buku Felix tepat di hadapannya.
"Felix memang tampan, sayangnya dia terlalu lemah. Tidak seperti kakaknya, tampan dan hebat," bisik seorang siswi wanita di sana.
Felix yang sudah terbiasa dengan semua itu tampak tak ambil pusing.
Pelajaran selanjutnya adalah duel sihir. Semua siswa siswi berkumpul di lapangan untuk bertanding satu lawan satu. Semua menggunakan sihir andalan mereka. Ketika giliran Felix, semua siswa berebut mengangkat tangan untuk melawannya, yakin bahwa Felix adalah lawan yang paling mudah ditaklukkan. Akhirnya, Viktor dari keluarga Fushi-lah yang maju.
"Jangan, Viktor, jangan kamu!" ujar sang Guru, yang menyadari betul jurang perbedaan kekuatan di antara mereka.
"Tidak ada yang mau maju selain aku, Pak," jawab Viktor, melirik siswa lain. Para siswa itu memang tidak ada yang berani maju lagi, mereka hanya ingin melihat Felix dikalahkan dengan mudah oleh Viktor.
"Felix, apa kau siap?" tanya Guru itu, nada suaranya dipenuhi kekhawatiran dan keraguan.
"Iya, saya siap!" jawab Felix tanpa sedikit pun rasa gentar.
Pertandingan pun dimulai.
"Si lemah melawan si kuat, hahahaha! Sungguh lelucon!" cibir siswa sihir racun itu.
Viktor segera menyerang. "Sihir Besi: Panah Besi!" serunya. Ratusan anak panah besi melesat kencang ke arah Felix, yang hanya mampu menghindari setiap serangan.
Setiap anak umumnya hanya menguasai satu atau dua jenis sihir. Felix menguasai sihir listrik, sementara Viktor menguasai sihir besi yang dapat dia kendalikan.
"Sihir Petir!" seru Felix, mengirimkan sengatan listrik kecil ke arah Viktor. Serangan itu dengan mudah dipatahkan, dan bagi Viktor, hanya terasa seperti geli.
"Hahahahaha... Kau anggap itu sihir?! Baiklah! Sihir Besi: Seratus Anak Panah!" Tiba-tiba, ratusan anak panah muncul di atas kepala Felix. Felix mulai panik.
Saat ratusan anak panah itu hampir mengenai Felix, tiba-tiba Xavier datang dan menolong adiknya dari serangan yang bisa berakibat fatal itu.
"Sihir Cahaya: Dinding Pelindung!" Seketika, perisai cahaya yang kuat muncul, melindungi Xavier dan Felix.
"Sihir Penyerang Cahaya!" Xavier langsung menyerang. Sebuah sorotan cahaya lurus dan kuat meluncur deras menuju Viktor. Viktor menggunakan sihir pelindung, tetapi itu tidak cukup kuat menahan serangan Xavier. Viktor terhempas jauh dan langsung tak sadarkan diri.
Guru segera menghentikan pertandingan karena takut akan terjadi bahaya lebih lanjut. Semua siswa terdiam menyaksikan kejadian itu.
"Felix, apa kau terluka?" tanya Xavier dengan nada sangat khawatir.
"Apa-apaan ini, Pak?! Kenapa Anda membiarkan orang yang jauh lebih kuat dari adik saya bertanding melawannya?! Jika sampai adik saya terluka, maka..." Sebelum Xavier menyelesaikan kalimatnya, Felix langsung menarik tangan kakaknya menjauh, tidak ingin kakaknya mendapat masalah.
"Apa-apaan, Felix? Kakak belum selesai bicara!" seru Xavier, penuh emosi.
"Kakak, aku baik-baik saja. Andai saja aku sekuat Kakak, pasti semuanya bisa kukendalikan," ucap Felix lirih, duduk di lapangan dengan perasaan kecewa.
"Aku minta maaf karena selalu merepotkan Kakak. Aku janji, suatu saat nanti, aku akan melindungi Kakak," lanjut Felix.
Xavier merangkul adiknya. "Tugas seorang kakak adalah melindungi adiknya, Felix. Jadi, kau tidak perlu meminta maaf." Namun, di dalam hatinya, Xavier takut. Ia takut suatu saat tidak bisa lagi melindungi adiknya.
"Aku akan menjagamu, Felix. Aku akan terus berlatih agar bisa menjadi lebih hebat dan bisa melindungimu," janji Xavier.
Setelah perbincangan singkat yang penuh makna, keduanya kembali ke kelas masing-masing.
Keesokan harinya, suasana di kelas Felix mendadak riuh. Seorang murid baru yang memancarkan aura kecantikan dan keanggunan, bernama Clara, memasuki ruangan. Semua pasang mata siswa, terutama laki-laki, langsung tertuju padanya. Ketika gadis itu memperkenalkan diri, kehebohan tak terhindarkan.
"Halo semuanya! Namaku Arabella Clara Edellyn, dan aku adalah pengguna sihir air. Senang berkenalan dengan kalian semua," ucap Clara dengan senyum manis dan ceria.
"Wah, dia dari Keluarga Bangsawan Edellyn!" bisik-bisik kagum langsung menyebar di antara para siswa.
"Baiklah, Clara, kamu bisa duduk di sebelah Felix," perintah sang Guru. Clara melangkah anggun dan mengambil tempat di samping Felix. Tak lama kemudian, Guru pun memulai pelajaran.
Tak terasa, bel istirahat berdentang nyaring. Sebagian siswa bergegas menuju kantin, sementara sebagian yang lain, terutama para gadis, segera mengerumuni Clara untuk berkenalan.
"Hai, Clara! Namaku Rebecca," sapa salah seorang gadis.
"Aku Clara, salam kenal, ya!" balas Clara dengan ramah.
Sementara Clara asyik berbincang, di sudut lain kelas, Felix kembali menjadi sasaran ganggu Zen, si pengguna sihir racun. Seperti biasa, Felix hanya bersikap dingin dan mengabaikannya.
"Ah, sial! Kau terus saja bersikap dingin, Felix! Padahal kau itu lemah!" bentak Zen, nadanya dipenuhi kekasaran.
"Sihir Racun: Merusak!" Zen mengucapkan mantra. Seketika, gumpalan racun pekat meluncur tajam ke arah Felix.
Tiba-tiba, sihir air yang kuat milik Clara muncul, membatalkan serangan racun itu, dan bahkan menghempaskan tubuh Zen hingga terjatuh jauh.
"Clara! Apa yang kau lakukan?!" seru Zen kesal, berusaha bangkit berdiri.
"Kau tahu, aku paling tidak suka melihat orang menindas orang lain!" balas Clara, sorot matanya menunjukkan amarah.
"Kenapa kau membela Felix? Dia itu lemah! Sihirnya bahkan tidak akan mampu melukaiku!" ejek Zen, berusaha mempermalukan Felix di hadapan Clara.
"Tapi—" Saat Clara hendak membalas, Felix tiba-tiba berdiri dan melangkah keluar kelas, meninggalkan mereka.
"Dia mau ke mana?" tanya Clara, kebingungan.
"Dia biasanya pergi ke perpustakaan," jawab seorang gadis berkacamata yang duduk di depan Felix.
“Apakah benar dia tidak punya sihir? Tapi aku tidak bisa merasakan sihir yang kuat dari dirinya, hanya sihir kecil yang samar,” batin Clara, rasa penasarannya semakin memuncak.
Diliputi rasa penasaran, Clara segera berlari, diam-diam mengejar Felix. Ia mengikutinya sambil bersembunyi. Benar saja, ia hanya melihat Felix tenggelam dalam lautan buku sihir di perpustakaan. Setelah itu, Felix menuju taman. Sepanjang perjalanan mengikutinya, Clara tak henti-hentinya mendengar cemoohan dan kata-kata merendahkan yang dilontarkan orang-orang kepada pria malang itu.
Felix, yang menyadari dirinya diikuti, tiba-tiba berbalik. Ia melihat Clara dengan cepat bersembunyi di balik pohon besar.
"Anak baru, kenapa kau mengikutiku dari tadi?" tanya Felix di taman yang kini sepi.
Clara pun keluar dari persembunyiannya, tersenyum lebar, dan menghampiri Felix. Namun, saat mereka semakin dekat, Felix otomatis mundur sedikit.
"Ada apa? Aku tidak makan orang, kok," ujar Clara, terkekeh.
"Jangan terlalu dekat denganku. Nanti kau akan mendapat masalah," jawab Felix, berbalik badan.
"Hmm... Baiklah, kalau kau tidak nyaman. Boleh aku bertanya?" tanya Clara lagi.
"Apa itu tentang sihirku? Ya, aku tidak punya sihir yang hebat. Aku lemah. Puas?" Felix segera berniat pergi setelah menjelaskan itu, tetapi Clara dengan cepat menarik tangannya.
"Kenapa kau tidak melawan saat kau ditindas?" tanyanya lugas.
"Aku tidak mau ada keributan," jawab Felix, melepaskan tarikan Clara, dan segera beranjak pergi. Gadis itu hanya terdiam, menatap punggung Felix yang menjauh.
Satu Minggu Kemudian
Satu minggu telah berlalu. Clara kini cukup akrab dan nyaman dengan teman-temannya di sekolah.
Setiap kali Felix akan menjadi korban perundungan, Clara selalu berada di sana untuk menghalangi, berharap Felix bisa belajar dengan tenang. Namun, meski demikian, pria itu tetap tidak memiliki teman dan selalu menyendiri di kelas.
Pada suatu sore, Clara pergi ke hutan untuk berlatih sihirnya. Tanpa sengaja, ia mendengar suara percakapan di balik semak-semak, di dekat sungai. Ia mengintip dan melihat Felix sedang berbicara dengan seorang pria berwujud mengerikan—bertanduk hitam pekat dan bersayap besar. Mereka terlihat sangat akrab.
Clara memilih untuk bersembunyi dan menguping dari balik semak-semak.
"Felix, coba gunakan sihir itu. Kita lihat hasilnya," tantang pria bertanduk itu.
"Ah, diamlah!" balas Felix dengan nada santai.
"Sihir Tumbuhan: Pengikat!" ucap Felix. Seketika, banyak sulur tanaman merambat muncul dari tanah dan menyerang pria bertanduk itu. Felix terus menyerang dengan intens.
Serangan Felix begitu hebat. Pertarungan mereka berlangsung sengit. Clara yang menyaksikannya merasa ragu. Ini bukan Felix yang ia kenal, Felix yang katanya sangat lemah!
"Sihir Kegelapan: Teleportasi!" Pria bertanduk itu berpindah tempat dengan kecepatan yang luar biasa gesit. Namun, tak disangka, Felix mampu menangkis dan menahan semua serangan fisik itu dengan sihir tumbuhannya. Setiap kali pria itu hendak melayangkan pukulan, tanaman akan muncul seketika, membentuk perisai. Felix mengamati pria itu dengan wajah datar, membaca setiap pergerakan lawannya.
Tanpa mereka sadari, sebuah sihir air yang sangat kuat meluncur deras ke arah mereka, siap membunuh.
"Sihir Kegelapan: Pelindung!" seru pria bertanduk itu. Perisai berwarna hitam pekat muncul, melindungi dirinya.
"Sihir Tumbuhan: Pelindung!" Felix juga berseru, memunculkan kubah pelindung tebal yang terbuat dari jalinan tanaman.
Serangan itu berhasil mereka tangkis. Ternyata, Clara-lah yang melancarkan sihir air tersebut. Setelah berhasil menghalau serangan, Clara berteriak kencang, suaranya dipenuhi kegembiraan.
"WAHHH... KERENNNN!" ucap Clara dengan ceria.
Felix yang panik melihat Clara muncul, sementara pria bertanduk itu langsung bersembunyi di balik punggung Felix.
"Apa yang kau lakukan di sini?!" tanya Felix, kebingungan setengah mati.
"Waah, apa itu sihirmu? Tunggu, bukankah kau pengguna sihir listrik?" balas Clara, penuh tanya.
"Dia hanya menggunakan sihir kamuflase untuk menutupi sihir aslinya," celetuk pria bertanduk itu dari balik Felix.
"Owen, diamlah!" gerutu Felix, kesal dengan celotehan Owen.
"Dia siapa?" tanya Clara, menunjuk pria bertanduk itu.
"Hai, aku Owen!" Pria bertanduk itu muncul dengan ceria dan mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Clara.
"APAA?! Kamu... Iblis Legendaris?! Yang mengamuk di masa lalu dan membuat seluruh kerajaan kewalahan itu?!" seru Clara, kaget sekaligus takjub. Ia tak menyangka Felix berteman dengan Iblis.
Owen sangat bangga karena semua orang mengenalnya. Felix segera menghampirinya, lalu memukul kepala Owen dengan sepotong kayu.
Tok!
"Akhhh... Felix! Itu sakit!" rengek Owen sambil memegangi kepalanya.
"Tolong jangan beritahu siapa-siapa kalau aku punya Owen. Aku dan dia sudah bersama sejak kecil," pinta Felix, memohon agar Clara merahasiakannya.
"Boleh saja. Tapi, kamu harus menjawab semua pertanyaanku," putus Clara. Felix menyanggupinya.
"Sihir aslimu apa? Kata Owen, kamu menggunakan sihir kamuflase," tanya Clara.
"Aku adalah pengguna sihir Duplikasi dan Pengetahuan. Ditambah lagi dengan Sihir Kata yang Owen berikan padaku. Selama ini, aku hanya menggunakan Sihir Kata untuk menciptakan sihir listrik," jelas Felix, membuat Clara terperangah kagum.
"Keren! Kamu bisa menggunakan tiga sihir! Wow! Itu sangat langka! Biasanya orang hanya bisa menguasai dua saja," ucap Clara, matanya berbinar-binar.
"Lalu, kenapa kamu pura-pura lemah?"
"Hmm... Itu karena Owen. Aku tidak ingin ada orang yang tahu tentang dia. Dia satu-satunya sahabatku," jawab Felix, yang membuat Clara merasa simpati.
"Kau pikir aku suka melihat anak-anak itu mem-bully-mu? Dari masuk akademi sampai sekarang? Rasanya aku ingin membakar sekolah itu, dan akan kubuat anak-anak itu mati!" sela Owen dengan emosi meluap.
"Oh, iya, Owen. Kamu tinggal di mana?" tanya Clara penasaran.
"Hmm... Aku tinggal di dalam tubuh Felix, jadi aku bisa melihat dan mendengar semua cemoohan itu," jawab Owen. Ia hendak memeluk Felix, tetapi Felix segera mendorongnya dengan sihir hingga Owen terlempar jauh.
"Hmmm... Cukup. Ada pertanyaan lagi?" tanya Felix.
"Satu ini. Sebesar apa kekuatanmu yang sebenarnya?" tanya Clara, sorot matanya menantang dan penuh rasa ingin tahu.
"Kekuatan aslinya itu mencapai evaluasi keenam!" ceplos Owen, dari tempat persembunyiannya di balik punggung Felix.
Mata Clara langsung membulat tak percaya. "Benarkah?! Evaluasi keenam! Itu luar biasa! Aku saja baru mencapai evaluasi kedua!" Kekaguman tak bisa disembunyikan dari suaranya.
Felix segera menjawab. "Tidak, aku hanya bisa mencapai evaluasi keempat. Evaluasi keenam itu hanya bisa kubuka saat kekuatanku bergabung sepenuhnya dengan Owen."
Clara meletakkan kedua tangannya di pundak Felix, tatapannya intens matanya penuh binar cahaya. "Gila! Kekuatan evaluasi keempatmu itu sudah setara dengan level Komandan Sihir, tahu?! Kalau teman-temanmu tahu, pasti kau tidak akan dibully lagi!"
"Jangan! Aku tidak mau semua orang tahu rahasiaku. Biarkan saja mereka menganggapku lemah. Ada waktunya nanti aku menunjukkan kebenarannya," tolak Felix dengan tegas.
"Apa kakakmu tahu kalau kamu bisa menggunakan sihir hingga evaluasi keempat?" tanya Clara lagi.
"Tidak. Itu juga kurahasiakan darinya. Hanya kamu dan Kakekku saja yang tahu," jawab Felix.
"Hmm... Lalu, bagaimana kalian bisa bertemu?" Clara semakin penasaran.
"Saat umurku sepuluh tahun, aku tidak sengaja menjatuhkan buku yang mengurung Owen. Tanpa kusadari, Owen langsung tertarik membuat kontrak denganku," cerita Felix, mengenang masa lalu.
"Saat itu, aku merasakan aura yang begitu kuat pada bocah ini. Jadi, aku memutuskan untuk menjalin kontrak, hanya untuk 25 tahun saja. Dan tanpa kusangka, sifat anak ini mirip sekali denganku: egois dan ambisius. Itu yang membuatku semakin tertarik," timpal Owen dengan nada bersemangat, suaranya terdengar hanya di benak Felix.
Felix melanjutkan kisahnya. "Ketika Kakek tahu aku berteman dengan Iblis ini, dia terkejut dan awalnya ingin memisahkan kami. Tapi ternyata tidak bisa. Dibutuhkan lima orang pengguna sihir evaluasi kelima untuk melepaskan kontrak kami. Kakek sempat berusaha meminta bantuan kepada Kaisar Sihir waktu itu. Tapi aku memohon padanya untuk tidak memisahkan aku dan Owen, karena dia adalah sahabat terbaikku."
Wajah Felix melembut saat mengucapkan kalimat terakhir. "Kakek yang merasa kasihan akhirnya mengizinkan kami menyelesaikan kontrak, asalkan kami tidak membuat kekacauan. Kakek memperingatkan bahwa jika para Komandan atau Kaisar sihir mengetahui tingkat kekuatan kami, mereka akan memisahkan kami secara paksa."
"Makanya anak ini tak mau menunjukkan sihirnya dan pura-pura lemah," sahut Owen, sedikit kesal.
"Tapi kamu tidak mau berpisah dengannya, kan? Atau begini, setidaknya kamu bisa meningkatkan sihirmu ke evaluasi satu saja. Kamu tidak mungkin lulus dan naik ke Kelas Tiga dengan sihir yang sangat rendah," saran Clara.
"Ide bagus! Aku setuju dengan wanita gila ini!" seru Owen.
"APAA KAU BILANG?!" teriak Clara ke arah Felix, mengira Felix yang mengatakannya.
"Heheheh... Aku hanya bercanda, kok! Tapi idemu tidak buruk," balas Owen, bersembunyi semakin dalam di balik Felix.
"Ah, tentu saja," ucap Felix dengan santai.
Mereka terus bercerita hingga tak sadar bahwa waktu sudah menunjukkan saatnya makan malam. Rasa lapar akhirnya memaksa mereka untuk berpisah dan kembali ke rumah masing-masing.
***
### Beberapa Bulan Kemudian
Beberapa bulan berlalu. Ujian kenaikan kelas sudah di depan mata.
Felix yang kini sudah bisa menunjukkan sihir evaluasi satu, membuat perundungan yang ia terima tidak separah dulu. Kehadiran Clara benar-benar telah mengubah hidup Felix menjadi lebih baik.
Saat jam pelajaran, Guru mereka masuk dengan membawa pengumuman penting mengenai ujian kenaikan kelas.
"Mohon perhatian semuanya! Besok adalah ujian kenaikan ke kelas yang lebih tinggi. Ujian kali ini akan sangat berbeda dari ujian-ujian yang pernah kalian jalani sebelumnya," ucap Guru, membuat seisi kelas riuh dengan spekulasi.
"Tolong tenang dan dengarkan baik-baik! Kalian diwajibkan membentuk kelompok untuk menjalankan sebuah misi. Jika keberhasilan kalian dalam misi itu lebih banyak, maka dipastikan kalian berhasil naik kelas. Sebaliknya, jika gagal, kalian dan seluruh anggota tim akan tinggal kelas!" Perkataan Guru itu membuat semua murid langsung cemas.
Seorang siswa mengangkat tangan. "Pak, satu tim terdiri dari berapa siswa?"
"Lima orang. Dan pilihlah orang-orang yang benar-benar akan membawa kalian berhasil naik kelas. Setelah membentuk tim, segera berikan nama-nama anggota tim kalian kepada ketua kelas, dan dia akan menyerahkannya pada saya. Besok, kalian akan mendapatkan tugas pertama kalian."
Setelah Guru pergi, seisi kelas langsung ricuh. Semua bergegas mencari anggota tim. Clara menjadi primadona; banyak yang mengajaknya bergabung karena kekuatannya dianggap cukup hebat.
Felix hanya duduk sendirian, menatap ke luar jendela. Ia tahu, ia akan sendiri lagi. Tidak akan ada yang mau mengambil risiko berada satu tim dengannya.
Namun, ia salah. Clara menghampirinya, wajahnya berseri-seri, ingin satu tim dengan Felix. Felix terkejut. Padahal, Clara bisa dengan mudah mendapatkan tim yang menjamin keberhasilannya.
"Felix, aku ingin bergabung dengan timmu!" tanya Clara dengan senyum manis, membuat semua siswa terkejut.
"Ah, serius? Lebih baik kamu cari yang lain, Clara," ujar Felix, sedikit terkejut.
"Iya, Clara! Kau akan gagal nanti!" seru siswa lain memperingatkan.
Clara tidak peduli, ia hanya menatap ke arah Felix. "Tidak. Aku percaya padamu, Felix."
"Ahhh! Walaupun ada Clara, tingkat keberhasilan tim itu tetap sangat rendah!" ucap beberapa siswa, lalu pergi mencari anggota tim lain.
"Hmm... Sepertinya hanya kita berdua saja," ucap Clara.
"Kau menyesal? Pergilah, cari yang bisa membantumu," kata Felix, mencoba mengusir Clara.
"Eh, kenapa harus menyesal? Kan ada kamu... dan ada Owen! Kita pasti bisa berhasil!" bisik Clara ke telinga Felix.
"Betul sekali, heheheh," sambut Owen melalui telepati, suaranya terdengar langsung di kepala Clara.
"Ahhh! Apa itu?!" teriak Clara kaget, yang membuat seluruh siswa di kelas melihat ke arah mereka.
"Jangan membuat kehebohan! Aku dan Owen menggunakan telepati untuk berkomunikasi denganmu agar tidak terlihat mencolok saat berbicara denganku," jelas Felix melalui telepati.
"Waaahhh... Keren! Baiklah!" balas Clara, wajahnya kembali bersinar senang.
Tak lama kemudian, dua orang siswa lagi ikut bergabung. Mereka tertarik karena melihat Clara yang begitu percaya diri dengan Felix.
"Hai, boleh kami bergabung?" tanya seorang gadis berkacamata.
"Tentu saja!" balas Clara dengan gembira.
"Aku Sandra, pengguna sihir *Healer* atau sihir penyembuh. Aku juga bisa mengukur tingkat sihir seseorang," kata Sandra, gadis berkacamata itu.
"Perkenalkan, aku Rey! Pengguna sihir api! Hahahaha!" seru pria yang tampak ceria itu.
"Wahhh, ini pasti akan seru!" ucap Clara, matanya berkobar penuh semangat.
Felix hanya tersenyum tipis ke arah mereka.
"Aku sudah cukup terganggu dengan Owen yang sangat aktif, sekarang ditambah satu lagi,"* batin Felix.
"Apa?! Aku berbeda! Dia hanya manusia rendah! Aku Owen, iblis terkuat!"* balas Owen, merasa kesal karena disamakan.
"Oh, tapi sifatmu sama saja,"* balas Felix.
Felix dan Owen terlibat perkelahian mental sengit di dalam tubuh Felix. Secara fisik, Felix hanya terlihat diam. Namun, Owen yang mulai kesal tiba-tiba meningkatkan sihirnya, membuat tubuh Felix kewalahan.
Seketika, darah segar merembes keluar dari sudut bibir Felix.
Meskipun Felix berusaha terlihat biasa saja, rasanya seolah tubuhnya sedang dihancurkan dari dalam oleh Owen. Semua mata siswa menoleh ke arah Felix.
"Felix, kau baik-baik saja?" tanya Clara, panik dan khawatir melihat darah itu.
"Felix, mulutmu!" seru Rey.
"Gilaaa! Tenaga sebesar apa ini?! Aku merasakan kekuatan luar biasa yang akan keluar!"* batin Sandra, yang tiba-tiba terduduk di lantai karena tidak kuat menahan hawa sihir yang mengerikan itu—sebuah kemampuan yang ia miliki sebagai pengukur sihir.
Semua siswa terdiam dan merasakan sensasi menakutkan yang menyelimuti udara. Pria pengguna sihir racun itu, yang duduk tak jauh, menatap tajam ke arah Felix dan timnya, rasa penasaran besar muncul di benaknya. Ia mulai berpikir untuk bergabung dengan kelompok ini.
"Sandra, kau tidak apa-apa?" tanya Clara, semakin panik, mengira mereka diserang seseorang.
Felix, yang menyadari situasi mereka tidak aman, segera menggunakan sihir penguncian.
"Sihir Pengunci,"batin Felix. Seketika, semua sihir Owen terkunci dan tidak bisa lagi dirasakan oleh orang di sekitar. Penggunaan sihir ini membutuhkan konsumsi Mana (Energi) yang sangat besar. Felix merasa sedikit lemas, tetapi ia berhasil.
"Owen, nanti kau rasakan!" batin Felix, mengancam Owen di dalam tubuhnya.
Sandra tiba-tiba bisa bernapas lega. Tekanan sihir yang mencekiknya tadi mendadak hilang. Pria pengguna sihir racun itu, kini semakin tertarik dengan kelompok Felix, mempertimbangkan serius untuk menjadi bagian dari tim mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!