Jangan lupa follow Author yaaaaa!!!!!!!
Hidup Kayla yang awalnya begitu tenang berubah ketika Ayahnya menjodohkannya dengan seorang pria yang begitu dingin, cuek dan disiplin. Baru satu hari menikah, sang suami sudah pergi karena ada pekerjaan mendesak.
Setelah dua bulan, Kayla pun harus melaksanakan koas di kota kelahirannya, ketika Kayla tengah bertugas tiba-tiba ia bertemu dengan pria yang sudah sah menjadi suaminya tengah mengobati pasien di rumah sakit tempat Kayla bertugas.
Bagaimana kelanjutannya? Bagaimana reaksi Kayla ketika melihat suaminya adalah Dokter di rumah sakit tempatnya bertugas? Apa penjelasan yang diberikan sang suami pada Kayla?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon elaretaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa Yang Jahat?
Meskipun hatinya terasa seperti diremas, Kayla tidak bisa membantah argumentasi Arthur. Sebagai mahasiswi kedokteran, ia tahu betul bahwa satu kesalahan kecil pada data laboratorium bisa berujung pada malapraktik. Hal itulah yang membuat Kayla tetap bertahan di perpustakaan rumah sakit hingga larut malam, memastikan setiap angka dan titik di laporannya akurat.
Pukul sepuluh malam, Kayla melangkah masuk ke apartemen dengan bahu yang merosot, di ruang tamu, lampu masih menyala terang, Arthur duduk di sana, menyesap kopi hitamnya sambil menatap layar tablet.
Melihat Kayla datang, Arthur meletakkan tabletnya, "Sudah selesai?" tanya Arthur.
Kayla hanya mengangguk tanpa suara, ia berjalan melewati Arthur begitu saja, berniat langsung masuk ke kamar. Namun, saat tangannya menyentuh gagang pintu, suara Arthur kembali terdengar.
"Kayla, makan dulu. Aku sudah pesan makanan," ucap Arthur.
"Aku tidak lapar, aku hanya ingin tidur karena besok harus visit pagi-pagi, kan? Aku tidak mau buat kesalahan lagi," ucap Kayla yang berhenti tanpa berbalik menatap Arthur.
Arthur berdiri, melangkah mendekat hingga ia berada tepat di belakang Kayla, "Kau marah padaku?" tanya Arthur.
Kayla tertawa hambar, akhirnya ia berbalik dan menatap mata suaminya. "Marah? Tidak, Dok. Saya tidak berani marah pada Kepala Departemen yang sangat perfeksionis, saya hanya sadar diri kalau saya ini beban," ucap Kayla
"Aku tidak pernah bilang kau beban, aku keras padamu karena aku ingin kau menjadi dokter yang tangguh. Dunia medis tidak menerima kata maaf, Kayla. Kau harus paham itu," ucap Aiden.
"Saya paham!" jawab Kayla dan tanpa sadar ia meneteskan air mata dihadapan Arthur.
Arthur terdiam dan melihat butiran bening mulai menggenang di pelupuk mata istrinya. Tanpa diduga, Arthur mengulurkan tangan, mencoba menghapus air mata itu, namun Kayla dengan cepat menepisnya.
"Jangan sentuh aku, malam ini aku tidur di sofa," ucap Kayla.
Arthur menghela napas, rahangnya mengeras. "Jangan kekanak-kanakan. Tidur di dalam, kalau kau sakit, kau tidak akan bisa ikut operasi besok," ucap Arthur.
Dominasi Arthur kembali muncul, ia tidak memberi pilihan, dengan perasaan sesak, Kayla akhirnya masuk ke kamar dan merebahkan tubuhnya di sisi ranjang yang paling jauh, memunggungi Arthur.
Pagi harinya, Arthur tidak berangkat pagi seperti sebelum-sebelumnya, ia masih berada di apartemen bersama Kayla, bahkan mereka sarapan bersama. Namun, tetap saja tidak ada kehangatan di dalam apartemen itu, bahkan obrolan pun tidak ada.
"Aku selesai, aku harus berangkat. Ingat, kamu ada jadwal operasi dengan Dokter Bian, kangan sampai membuat masalah," ucap Arthur lalu pergi meninggalkan Kayla.
Kayla menatap punggung kokoh yang meninggalkannya sendirian di meja makan, tampa bisa ia tahan air matanya kembali mengalir.
"Aku harus gimana Tuhan, aku udah menikah harusnya aku bahagia, tapi aku justru gak bahagia aku menderita, aku juga pengen diperlakukan seperti istri-istri pada umumnya hiks hiks," gumam Kayla.
Setelah tangisnya reda, Kayla menghapus sisa air mata di pipinya, ia tidak boleh terlihat lemah di rumah sakit, dengan profesionalisme yang tersisa, ia mengendarai mobil menuju Rumah Sakit Medika Utama.
Sesampainya di Rumah Sakit, Kayla bersiap-siap karena ka harus membantu Dokter Bian dalam operasi pengangkatan tumor otak yang cukup rumit.
Di ruang operasi, suasana jauh lebih tenang dibandingkan saat bersama Arthur, Dokter Bian adalah mentor yang sangat sabar menurut Kayla.
"Dokter Muda Kayla, coba perhatikan area fungsional di sekitar tumor ini. Jika kita meleset sedikit, pasien bisa mengalami kelumpuhan," ucap Dokter Bian.
Kayla mengangguk, ia berusaha fokus meski pikirannya sesekali melayang pada sikap dingin Arthur tadi pagi. Ia membantu Dokter Bian dengan cekatan, memberikan instrumen yang tepat sebelum diminta.
"Bagus, Kayla. Konsentrasimu meningkat," puji Dokter Bian di tengah operasi.
Namun, di tengah pujian itu, pintu ruang pengamatan yang berada di lantai atas yang dibatasi kaca terbuka. Arthur berdiri di sana, mengenakan jas putihnya, mengamati jalannya operasi dengan tangan terlipat di dada, tatapannya dingin dan mengintimidasi.
Kayla yang menyadari kehadiran Arthur mendadak menjadi tegang, tangannya sedikit gemetar saat memegang suction.
"Tenang, Kayla. Jangan terganggu," bisik Dokter Bian yang seolah tahu beban pikiran anak didiknya.
Arthur hanya memperhatikan selama sepuluh menit tanpa ekspresi sedikit pun, lalu berbalik pergi tanpa memberikan tanda jempol atau anggukan, kepergiannya meninggalkan rasa sesak yang baru di hati Kayla.
Setelah operasi selesai dan pasien dipindahkan ke ruang pemulihan, Dokter Bian melepas masker bedahnya dan menepuk bahu Kayla pelan. "Kayla, ikut ke ruangan saya sebentar," ucapnya dengan nada yang kebapakan.
Kayla mengekor di belakang Dokter Bian, perasaannya berkecamuk, Kayla takut kinerjanya tadi dianggap buruk karena sempat gemetar saat Arthur datang mengawasi.
Sesampainya di ruangan, Dokter Bian mempersilakan Kayla duduk dan menyodorkan segelas air mineral. "Kamu tadi melakukan pekerjaan yang bagus, Kayla. Tapi, saya melihat kamu sangat tegang begitu Dokter Arthur muncul di ruang pengamatan," ucap Dokter Bian sambil menatap Kayla.
Kayla menunduk, memainkan jemarinya. "Maaf, Dokter. Saya hanya merasa terintimidasi," ucap Kayla dan Dokter Bian tertawa kecil mendengarnya.
"Jangan merasa kecil hati, hampir semua orang di rumah sakit ini merasa terintimidasi oleh Dokter Arthur, ia memang seperti itu, standar kerjanya sangat tinggi dan bicaranya tajam. Tapi, ingat Kayla, jangan biarkan kehadiran siapa pun merusak fokus tanganmu di atas meja operasi," ucap Dokter Bian.
"Iya, Dok," jawab Kayla.
"Dokter Arthur itu sebenarnya peduli dengan kualitas dokter-dokter muda di sini, dia tidak akan membuang waktu sepuluh menit hanya untuk menonton operasi jika dia tidak menganggap asisten di bawah sana punya potensi, anggap saja kehadirannya sebagai motivasi untuk kamu dan bukan beban," ucap Dokter Bian.
"Tapi rasanya sulit sekali, Dok," ucap Kayla pelan.
"Latihlah mentalmu sekeras kamu melatih ilmumu, menjadi dokter bedah butuh tangan yang tenang meski di depanmu ada badai sekalipun, mengerti?" nasehat Dokter Bian.
"Mengerti, Dokter. Terima kasih atas nasihatnya," jawab Kayla.
Kayla pun keluar dari ruangan Dokter Bian, "Kenapa?" tanya Celine.
"Hem, Dokter Bian nasihatin aku, soalnya tadi tanganku gemetar pas Dokter Arthur ngawasin ruang operasi," ucap Kayla.
"Semangat ya Kay," ucap Celine.
"Mending kamu Kay, aku sampai nangis pas di ruang operasi gara-gara Dokter Arthur marah sama aku," ucap Nadia.
"Kok jahat banget sih," keluh Jihan.
"Bukan jahat, tapi tegas. Dokter Arthur memang seperti itu, tapi percaya deh banyak Dokter yang bakal berterima kasih pada Dokter Arthur pas udah jadi Dokter nanti," ucap Angga.
"Ya, tapi tetap aja Dokter Arthur jahat," ucap Jihan.
"Siapa yang jahat?" tanya Arthur.
"Do-dokter, ti-tidak ada Dok," jawab Jihan yang begitu gugup setengah mati.
"Kalian disini belajat untuk menjadi dokter, bukan menjadi pembawa berita. Cepat kembali bekerja," ucap Arthur lalu pergi meninggalkan dokter-dokter muda itu.
"Gila, nakutin banget," gumam Jihan.
Kayla hanya menatap punggung itu dengan sedih, pasalnya Arthur tidak meliriknya sedikitpun.
.
.
.
Bersambung.....