NovelToon NovelToon
Ketika Takdir Menemukan Langit

Ketika Takdir Menemukan Langit

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / CEO / Office Romance
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.

Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.

Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.

Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.

Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15 – Voice Note Dan Kegalauan

Pintu kafe kecil itu menutup di belakang mereka dengan bunyi cling lembut, menandai akhir dari satu episode memalukan yang entah kenapa… justru membuat pagi itu terasa jauh lebih hidup.

Udara dingin Puncak langsung menyapu ketiga sahabat itu. Kabut yang mulai menipis membuat matahari terasa lebih dekat, menggantung rendah di balik pucuk-pucuk pinus. Jalan setapak masih licin dari embun, dan wangi tanah basah memenuhi udara.

Embun berjalan paling depan, masih menunduk malu karena Lona barusan bikin konser pose absurd di depan publik.

“Sumpah ya, Lon…” ia menggeleng sambil memijat pelipis. “Rekam jejak malu gue baru aja naik lima level.”

Lona di belakangnya justru melompat-lompat kecil, hoodie setengah kebuka, terlihat bangga. “Tapi fotonya bagus, Bun! Aesthetic banget! Natural lighting! Golden hour! Aura cewek jatuh cinta!”

“Aura apaan?! Mental gue - Jatuh!” Embun menyahut, tapi tawa kecil tak bisa ia tahan.

Bia mengikuti paling belakang, pelan dan kalem seperti biasa, tangannya memegang gelas teh hangat yang belum sempat ia habiskan.

Baru saja ketiganya menuruni anak tangga pertama, suasana damai pagi Puncak berubah secepat embusan angin yang membawa aroma tanah basah. Embun berjalan di tengah, masih sibuk mengomel soal betapa absurd-nya sesi foto “cicak aesthetic” barusan. Napasnya masih tercekat—antara sisa tawa dan sisa malu—sementara langkahnya santai tanpa banyak pikir.

Sayangnya, tanah berbatu di turunan kecil itu tidak se-santuy yang ia kira.

Di bawah kabut yang mulai naik perlahan, sebuah batu kecil nyaris tak terlihat terselip di antara rerumputan. Embun tidak melihatnya—pikirannya masih pada suara tawa teman-temannya, detak jantung yang belum stabil sejak hampir bertabrakan dengan seorang pria tak dikenal di kafe, dan dinginnya udara yang meresap sampai tulang.

Satu langkah. Dua langkah. Dan lalu—

Skiddd—

Dalam sekejap semuanya terjadi bersamaan: tumit sepatu Embun menggeser batu licin itu, telapak kakinya kehilangan pijakan, tubuhnya condong ke depan dalam gerakan yang begitu cepat sampai dia tak sempat berpikir. Syalnya berkibar dramatis, seperti slow-motion dalam film yang sutradaranya terlalu menikmati momen kritis.

Tangannya terangkat spontan, mencari sesuatu untuk diraih. Pagar kayu di sisi tangga adalah satu-satunya penyelamat—dan untungnya, jari-jarinya menemukan itu tepat sebelum gravitasi memenangkan pertarungan.

Embun terhuyung, lututnya menekuk sedikit, sepatu sebelahnya terdorong ke udara. Udara dingin menusuk kulit wajahnya ketika ia hampir jatuh, dan suara gesekan kecil sepatu di batu terdengar jelas, memecah kesunyian pagi.

Detik itu terasa panjang. Seolah kabut berhenti bergerak. Seolah embusan angin ikut menahan napas.

Embun tak sadar. Yang dia rasakan hanya denyut jantungnya yang melonjak ke kerongkongan, telapak tangan yang mencengkeram kayu sampai putih, dan panas malu yang langsung merambat sampai ke telinganya.

Setelah berhasil menyeimbangkan diri, ia berdiri tegak… tapi wajahnya sudah merah seperti kepiting rebus yang baru keluar dari panci.

Lona langsung menjerit, “IIIIH BUN JANGAN BUAT FILM DRAMA DI PAGI HARI!!!”

Bia, tanpa mengubah ekspresi, hanya menghela napas pelan. “Astaga Embun…”

Embun berhasil menahan dirinya sebelum jatuh total, tapi wajahnya sudah merah merona—antara malu dan kaget.

“Aku—aku nggak jatuh! Cuma—terpleset… dikit…” katanya sambil mencoba tidak malu.

*

Langit, yang masih duduk di meja kayu dekat jendela, tidak sengaja mendongak saat suara langkah dan teriakan kecil terdengar dari luar. Matanya langsung menangkap sosok perempuan bersyal biru itu. Rambutnya terayun pelan. Bahunya naik turun karena kaget. Dan ia menepuk-nepuk dadanya sambil menenangkan diri.

Itu dia. Sekilas—hanya beberapa detik—tapi cukup untuk membuat Langit berhenti bernapas.

Samudra, yang sibuk mengaduk latte-nya, ikut melihat. “Eh, itu cewek tadi yang mau lo tabr—”

Langit menatapnya kosong. “Diam, Sam.”

Angkasa hanya smirk, mengangkat alis pelan. “Tuh kan, masih familiar katanya.”

Langit tidak menjawab. Hanya menatap lewat jendela, memperhatikan bagaimana perempuan itu tertawa kecil sambil ditarik kedua temannya menjauh.

Dan tanpa sadar… ia tersenyum kecil.

Senyum tipis yang hanya muncul ketika sesuatu—atau seseorang—menarik perhatiannya lebih dari seharusnya.

Mereka sudah berjalan agak jauh dari kafe ketika akhirnya Lona membuka suara dengan nada yang sangat tidak membantu.

“Oke, pertanyaan penting. Bukan pertanyaan… tapi PERNYATAAN.”

Embun merasakan firasat buruk. “Lona, sumpah, jangan mulai—”

“Cowok di meja belakang kita tadi ganteng-ganteng banget anjir.”

Bia menyeruput teh. “Aku setuju, walaupun gak begitu jelas tapi kayanya emang ganteng ganteng.”

Embun terbatuk. “EH?? LO BERDUA??”

Lona mengangkat dua jari. “Yang duduk paling kiri, yang nyengir terus… itu kayak laki-laki yang siap menghancurkan hidup perempuan tapi pake cara menyenangkan.”

“LONA.” Bia memukul lengannya pelan. “Jangan toxic pagi-pagi.”

“Terus yang tengah…” Lona mengipas dirinya dramatis. “Gue… gue insecure liat wajahnya. Mukanya kayak, ‘Aku tidak minta dilahirkan ganteng, tapi Tuhan kasih berlebih.’”

Bia mengangguk tenang. “Yang itu kayak model parfum.”

Embun mematung sambil memegang syalnya erat. “Kalian… BENERAN NGAMATIN MEREKA???”

Lona justru menatap Embun dengan curiga. “Lah, lo sendiri kenapa diem? Lo paling depan, Bun. Lo yang paling deket!”

Embun reflek menghindari tatapan mereka. “Nggak—nggak apa-apa. Cuma tadi emang hampir nabrak aja… sama salah satu dari mereka”

“APA INI NAMANYA TAKDIR??” teriak Lona sambil mengangkat kedua tangan ke langit.

Bia menepuk bahu Embun. “Tadi lo hampir jatuh karena batu atau karena cowoknya?”

“BIA!!”

Bia mengangkat alis datar. “Cuma nanya.”

Embun menutup wajah pakai syal. “Tuhan, kepalaku pusing.”

**

Kabut siang mulai menipis ketika suara Lona menggema dari atas tangga kayu cabin.

“Eh, guys! Barang-barang jangan sampe ada yang ketinggalan ya!” serunya sambil menunjuk ke arah Embun dan Bia, seolah ia adalah komandan pasukan yang hendak turun gunung. “Bia, jaket lo! Bun, charger lo! Gue nggak mau balik lagi ke atas kalau ada yang ketinggalan!”

Embun hanya menghela napas sambil tersenyum lelah, menyeret koper kecilnya turun perlahan-lahan. Jalan setapak itu masih licin sisa embun pagi, dan setiap langkah harus ekstra hati-hati agar tidak mengulang insiden “terpeleset elegan” sebelumnya.

Dari kejauhan, tepat di halaman cabin bawah, trio pria sudah memperhatikan pemandangan itu — pemandangan yang entah kenapa tampak sangat… familiar dan menghibur.

Langit berdiri bersandar pada pagar kayu, hoodie hitamnya ia kenakan dengan kupluk yang menutupi sebagian rambut. Angkasa memakai sweater hitam dengan lengan digulung, kacamata hitam bertengger sempurna di hidungnya, membuat identitasnya hampir tidak bisa dikenali. Sementara Samudra, dengan hoodie biru navy, memeluk map kecil sambil senyum-senyum sendiri.

Ketiganya melihat trio cewek itu turun sambil ribut kanan-kiri, dan tak ada satu pun dari mereka yang bisa menahan tawa tipis ketika teringat apa yang terjadi di kafe kecil tadi pagi — dangdut koplo dini hari, pemotretan pose cicak aesthetic, dan hampir seluruh isi kafe menjadi saksi kekacauan itu.

“Gue nggak nyangka mereka masih hidup setelah konser koplo pagi tadi sama pose ciciak di café tadi,” gumam Samudra sambil menyeringai.

Angkasa hanya smirk kecil tanpa suara. Sementara Langit… matanya terfokus pada satu orang.

Embun.

Gerakannya yang santai, langkah ringan yang sesekali harus menahan koper yang membandel, rambut panjang yang jatuh di bahu, syal biru yang sesekali ia rapikan… entah kenapa semuanya terasa mencolok di mata Langit, seolah dunia sekitar jadi blur pelan-pelan.

Begitu para pria selesai check out di resepsionis, trio cewek akhirnya muncul di belakang mereka — dengan napas tersengal dan koper yang diseret seperti habis bernazar naik turun bukit.

Para pria spontan bergeser memberi jalan. Trio cewek lewat begitu saja tanpa sadar bahwa “tiga orang di samping mereka” adalah tiga pria yang tadi menahan tawa di kafe — bahkan yang semalam dengar dangdut koplo versi teriakan.

Dan Bia, yang berdiri paling dekat dengan Angkasa, tidak sadar sedikit pun bahwa pria bersweater hitam dengan kacamata hitam itu adalah bos besarnya.

Angkasa hanya mencuri satu lirikan, bibirnya terangkat sedikit — bukan karena ingin menggoda, tapi karena lucu melihat bagaimana stafnya yang selalu tegas itu bisa segugup itu kalau sedang liburan.

Mereka selesai check out hampir bersamaan, lalu menuju area parkir. Trio cewek berjalan duluan, membahas hal-hal absurd seperti apakah foto cicak aesthetic tadi layak di-upload atau harus dibakar. Suara mereka jelas terdengar, penuh energi, tawa, dan keluhan dramatis.

Trio cowok mengikuti di belakang, dengan ritme langkah yang lebih santai tapi telinga mereka tajam menangkap semua obrolan itu. Sesekali Sam menggeleng-geleng sambil menutup mulut menahan tawa. Angkasa hanya tersenyum kecil. Dan Langit… masih terpaku pada sosok satu itu.

Embun tertawa ketika Lona kembali berdebat soal angle foto terbaik untuk feed Instagram, tapi langkahnya tetap ringan. Matahari mulai menyorot lewat sela pepohonan, membiaskan cahaya keemasan yang jatuh halus di pipinya. Syal biru itu bergerak pelan ditiup angin.

Dan Langit menangkap semuanya — entah sengaja atau tidak. Tatapannya mengikuti gerakan sederhana Embun: cara ia memindahkan koper, bagaimana ia menunduk memperbaiki rambut, tawa pelan yang memantul lembut di udara.

Ada sesuatu yang tidak ia pahami. Tapi terasa familiar. Menggelitik. Mengganggu. Menarik.

Trio cewek akhirnya masuk ke mobil Bia setelah saling lempar komentar absurd terakhir.

“Gue sumpah ya, Lona,” kata Embun sambil memasang seatbelt, “kalo foto cicak itu lo upload, gue pura-pura nggak kenal lo.”

Lona hanya nyengir. “Lo nggak punya pilihan, Bun. Kita satu kartu keluarga pertemanan.”

Bia cuma geleng pelan sambil menstarter mobil. “Dua orang ini bikin hidup gue panjang umur sekaligus berkurang umur. Entah mana yang lebih dominan.”

Mobil mereka melaju pelan keluar area parkir. Tidak ada yang menoleh ke belakang.

Tapi trio cowok — berdiri di samping mobil mereka — saling bertukar pandang ketika mobil cewek-cewek itu menjauh.

Ada tawa tipis. Ada senyum samar. Ada ketertarikan yang tidak terucap. Tanpa sapaan, tanpa perkenalan. tanpa tahu siapa siapa.

Namun entah kenapa… Sepertinya cerita mereka baru saja dimulai.

**

Hujan rintik turun pelan, memukul-mukul jendela dengan ritme yang nyaris seperti bisikan. Suara AC yang mendengung lembut menyatu dengan aroma lavender dari diffuser di pojok kamar. Embun duduk bersandar pada kepala ranjang, membungkus dirinya dengan sweater rajut oversize, kaki terlipat nyaman di bawah selimut tipis.

Rambutnya masih sedikit basah, meneteskan aroma sampo yang lembut. Lampu meja di sebelahnya menyala kuning temaram, membuat seluruh kamar seolah berubah menjadi ruang kecil yang hangat di tengah dunia yang basah dan dingin.

Di pangkuannya, ponsel menyala. Layar chat terbuka. Bukan grup Tiga Peri Tanpa Sayap.

Tapi… nama itu. “Mr. Don’t Know.”

Nama yang sebenarnya ingin ia hapus, tapi entah kenapa selalu batal di menit terakhir. Nama yang terasa asing, tapi justru paling sering muncul di kepalanya akhir-akhir ini. Embun meraba bagian atas ponselnya, ibu jarinya mengusap lembut layar seolah-olah di sana ada sesuatu yang bisa ia pahami dari hanya melihat teks kosong.

Dan yang paling ia ingat jelas adalah… suara itu.

Suara yang ia dengar pertama kali lewat voice note salah kirim beberapa malam lalu. Dalam — bukan berat yang memaksa, tapi dalam yang hangat, seperti seseorang bicara dari jarak dekat. Ada serak tipis di akhir kalimatnya, seolah pria itu bicara sambil menahan tawa kecil.

Embun bergeming. Jantungnya berdebar pelan — bukan dramatis, tapi terasa sampai telapak tangan.

Ia mengetik perlahan.

“Hey…” lalu hapus.

“Kamu lagi apa?” di hapus lagi.

“Tadi gue kepeleset, sumpah memalukan bange—” hapus.

Semua terasa terlalu cepat. Terlalu obvious. Terlalu… memalukan kalau dikirim duluan.

Embun menggigit bibir. Matanya terpejam sesaat, seolah memaksakan dirinya berhenti memikirkan pria yang bahkan wajahnya pun ia tidak tahu.

“Kenapa gue kangen suara orang random sih… astaga,” gumamnya, memeluk bantal di samping.

Dan saat ia hendak menutup chat itu — Notifikasi masuk.

Getarannya halus, tapi efeknya langsung mengguncang seluruh pikirannya.

Satu voice note. Dari Mr. Don’t Know.

Embun mematung. Tangannya yang memegang ponsel tiba-tiba dingin. Jantungnya melonjak naik seperti liftnya error. Ia menatap layar itu lama. Sangat lama. Hingga hujan di luar terdengar seperti tepuk tangan kecil semesta yang sedang ngetawain dia.

Dengan napas yang ditahan, Embun menekan tombol play. Suara itu langsung memenuhi kamar.

Mr. Don’t Know: “Gimana liburannya? Puncak dingin, ya?”

Suara pria itu rendah, santai, seperti bicara dari balik gelas kopi.

Embun langsung menutup mulutnya dengan bantal.

“ASTAGA…” Ia memekik pelan, wajahnya memanas cepat seperti direbus. Jari kakinya sampai melengkung saking salting-nya.

Suara itu terdengar lagi, nada sedikit menggoda, seolah ia tahu Embun akan mendengarnya sambil gelisah.

Mr. Don’t Know: “Jadi… cepet cerita dikit? Atau gue harus tebak sendiri dari nada nafas lo?”

Embun merasa lututnya melemah meski ia hanya duduk.

“Suara… suaranya astaga… kenapa suaranya bisa seenak itu…” Ia menekuk lutut, menempelkan ponsel ke dada, wajahnya merah sampai ke telinga.

Ia mengusap wajah, mencoba menenangkan diri.

“Ya ampun… ngapain suaranya harus kayak gitu sih…” Pipitnya masih panas. Tangan masih gemetar.

Tapi kalau dia diam aja, nanti dibilang sombong. Kalau dia balas chat, nanti ke-detect salting-nya. Kalau kirim voice note balik— Embun langsung menutup wajah dengan bantal lagi.

“NGGAKKK!! GUE GAGAP NANTI!”

Tapi kemudian diingatnya lagi suara pria itu, “Suaranya kedengeran kayak orang yang nahan senyum malu…”

Akhirnya… entah karena dorongan adrenalin atau karena hujan membuatnya mellow…

Embun menekan tombol mic. Jarak ponsel dengan mulutnya tiga jengkal. Lalu jauhkan.

Lalu dekatkan lagi. Ia Gemetar,  Akhirnya ia bicara.

Embun : “Eh… h-hei… hahaha… maksudnya… liburan gue… ehm… dingin banget. Sampai… suara gue juga ikut beku kayaknya.”

Ia berhenti sebentar. Menatap langit-langit. Ingin mati karena malu.

Tapi dia lanjut.

Embun : “Tadi sempet… hampir jatuh juga. Kalau lo denger napas gue kayak orang kelelahan… itu bukan karena Puncak. Itu karena gue malu sendiri.”

suaranya lirih, malu-malu.

Ia langsung menekan tombol stop sebelum otaknya bisa memproses apa yang baru saja ia lakukan.

Voice note terkirim. Embun menatap layar, shock. ‘Ya Tuhan… gue kenapa ngomong kayak orang yang lagi jatuh cinta, sihh’

Ia menenggelamkan wajah ke bantal sambil menjerit tanpa suara.

**

Di apartemen mewahnya, Langit duduk di sofa gelap minimalis. Lampu kamar hanya satu, redup, memantulkan bayangan lembut di sekitar ruangan. Aroma kopi hitam masih menggantung di udara, meski cangkirnya sudah kosong sejak tadi.

Ia menatap layar ponselnya saat notifikasi voice note masuk.

Dari “Unknown Number.” Dari perempuan itu. Suara yang… entah kenapa sudah jadi rutinitas kecil yang ia tunggu.

Kalau ada yang bertanya kenapa Langit tidak sekalian melakukan video call saja, jawabannya sederhana—ia tidak nyaman. Bukan karena tidak mampu, tetapi karena ada rasa canggung yang selalu muncul setiap kali ia harus menampilkan wajahnya di depan kamera, apalagi kepada seseorang yang baru ia kenal. Tidak semua orang terbiasa menunjukkan dirinya begitu terbuka, dan Langit… termasuk salah satunya.

Langit menekan play. Suara perempuan memenuhi ruang apartemennya. Lembut. Gugup.

Ada tawa kecil yang nyaris terdengar seperti bisikan. Dan lagi-lagi… dadanya mencelos dengan cara yang sama seperti pertama kali ia dengar suara itu.

Ia memejamkan mata. Gila. Suara itu membuat suasana apartemen yang dingin terasa hangat.

Setelah voice note selesai, Langit bersandar ke sofa, menatap langit-langit apartemennya yang sepi. Di otaknya, dua gambar muncul bersamaan — Siluet perempuan bersyal biru di balkon cabin pagi tadi. Rambut panjangnya tertiup angin, wajahnya tenang, matanya menatap kabut. — Dan suara perempuan di voice note: gugup, pelan, manis, dan entah kenapa… bikin jantungnya bergetar.

Dua hal itu terpampang jelas di kepalanya… Dan rasanya sama.

“Kenapa dua-duanya muncul di kepala gue sih…” Langit mengusap wajah, antara frustrasi dan heran. “Kok rasanya… mirip?”

Ia memutar voice note Embun lagi. Sekali. Dua kali. Di detik ketiga, ia tersenyum—senyum pelan, jarang, hangat.

Sesaat kemudian pikirannya kembali ke balkon cabin… Perempuan yang hampir terpeleset tapi tetap tersenyum sambil merapikan rambutnya.Perempuan yang terlihat… lembut.

Ada sesuatu di dalam dada Langit yang bergerak pelan. Ringan… tapi dalam.

“Suara salah kirim…” gumamnya. “Dan cewek bersyal biru…”

Lalu ia menatap layar. Lalu menatap jendela. Galau.

Sebelum ia sadar apa yang ia lakukan… jarinya sudah memencet tolbol voice note.

Langit: “Jadi… liburan lo bikin suara lo beku, tapi bikin gue kepanasan.”

Begitu pesan terkirim, ia menutup wajah dengan tangannya sendiri.

“Oke… itu terlalu jujur.” Tapi terlambat.

**

tbc

1
Bia_
ferdi lu bener bener ya,
Al_yaa
greget banget sama bab ini, gak sabar nunggu lanjutannya, updatenya bisa langsung 5 bab gak thor,penasaran bangettt
Al_yaa
cepatt cari orang bodoh itu papiiii
Al_yaa
cefatt rekrut diaa langitttt
KaosKaki
rasakno koe fer
KaosKaki
boleh gak berkata kasar buat di Ferdi /Panic//Panic/
Bubuuu
ceritanya bagus banget 👍👍😍😍
Al_yaa
yg buat virus perempuan, diremehin pulak tapi bikin satu gedung gonjang ganjing /Joyful/
aRa_
hebat banget embun, langsung ulti si Ferdi pake virus biar kicep
aRa_
bajigur banget si Ferdi /Panic/
aRa_
baru telponan aja udh deg degan ya embun
Al_yaa
ferdi, lo syibal banget yakk/Angry/
Al_yaa
pandangan pertama awal aku berjumpa /Hey//Hey/
Al_yaa
one step closer langit, berawal dari callan lama lama video callan dehhh
Bia_
akhirnya akhirnya /Scream/
Bia_
yaloh mereka udah Callan aja
KaosKaki
huuwwaaa akhirnya mereka ketemu tapi gak kenal /Sob//Sob//Sob/
KaosKaki
ada apa inih, kenapa bapaknya angkasa nongol. tor ada apa ini coba jelaskan
KaosKaki
bener bener dah ya, embun sama langit udah kaya anak abg banget /Facepalm/
Bia_
wow apakah akan ada plot twist Pemirsa 🤭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!