Alaska Arnolda, CEO terkenal Arnolda, terpaksa menanggalkan jas mewahnya. Misinya kini: menyamar diam-diam sebagai guru di sebuah SMA demi mencari informasi tentang pesaing yang mengancam keluarganya. Niat hati fokus pada misi, ia malah bertemu Sekar Arum Lestari. Gadis cantik, jahil, dan nakal itu sukses memenuhi hari-hari seriusnya. Alaska selalu mengatainya 'bocah nakal'. Namun, karena suatu peristiwa tak terduga, sang CEO dingin itu harus terus terikat pada gadis yang selalu ia anggap pengganggu. Mampukah Alaska menjaga rahasia penyamarannya, sementara hatinya mulai ditarik oleh 'bocah nakal' yang seharusnya ia hindari?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BabyCaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10- Firasat Buruk
Mobil mewah milik Alaska melaju menembus jalanan desa yang mulai gelap. Lampu-lampu rumah penduduk masih tersebar jarang, membuat bayangan sawah dan pepohonan tampak seperti siluet hitam panjang di kaca mobilnya.
Semakin jauh ia melaju, jalanan berubah lebih mulus, lampu kota mulai terlihat, dan gedung-gedung tinggi mulai menyambutnya. Namun wajah Alaska tetap sama: kesal, tegang, dan lelah. Gadis bernama Arum itu benar-benar mengguncang emosi yang selama ini bisa ia kontrol dengan mudah.
Sebuah notifikasi ponsel berbunyi. Alaska melirik sebentar, membaca nama pengirim, namun langsung mengabaikannya tanpa membuka pesan. Tidak hari ini kepalanya sudah cukup dipenuhi kekacauan.
Beberapa menit kemudian, mobilnya berhenti di sebuah gedung megah di sudut ibu kota: markas Black Devil. Dari luar saja aura bangunan itu sudah berbeda gelap, misterius, penuh penjagaan. Alaska turun, menutup pintu mobil tanpa suara berlebih.
“Selamat malam, Tuan Arnolda,” sapa salah satu anggota Black Devil yang berjaga.
Alaska tidak menjawab. Hanya anggukan kecil, wajah datar, ekspresi yang biasa mereka lihat. Tak ada yang berani tersinggung. Para anggota tahu bahwa para petinggi seperti Alaska tidak pernah membuang waktu untuk basa-basi.
Di ruang rapat utama, suasananya berbeda. Tiga kembar William Lukas, Leon, dan Luis sedang duduk santai sambil membahas urusan mereka masing-masing. Lampu temaram membuat ruangan itu terasa seperti markas film mafia klasik.
“Haha kau tahu, dia benar-benar menyebalkan,” kesal Lukas sambil menjitak kepala Leon.
“Kenapa kau hanya diam, Luis? Apa kau sangat senang karena istrimu perhatian? Sialan,” omel Lukas pada saudara kembarnya yang paling tenang.
Luis hanya mendesah pelan, malas menanggapi.
Belum sempat Lukas lanjut mengoceh, pintu terbuka dan Alaska masuk dengan langkah berat.
“Untuk apa kalian memanggil tanpa Dean di sini? Aku malas berkumpul dengan bau keluarga William,” ketus Alaska sambil menjatuhkan diri di sofa.
“Tuan, Anda datang,” ucap Jeff yang sudah menunggu di sana sejak tadi.
“Duduk,” perintah Alaska tanpa menatap Jeff. Nada suaranya keras namun lelah, membuat ketiga kembar itu saling berpandangan bingung.
Ada apa dengan Alaska? Untuk pertama kalinya pria itu terlihat benar-benar kelelahan dan kesal.
Lukas, yang paling usil, langsung berdiri dan merangkul bahu Alaska. “Ada apa dengan Tuan Arnolda ini? Tidak menyenangkan jadi guru? Sudah kubilang, mengajar di universitas saja. Banyak cewek cantik. Ngapain ngajarin bocil?”
Alaska menepis tangan Lukas dengan kesal. Semua orang tahu Lukas memang dosen untuk menutupi identitas mafianya lumayan untuk menjaga citra biar tidak dicurigai masyarakat sebagai “orang kaya misterius”.
“Ck, kau pria gila selangkangan. Jangan samakan aku denganmu. Aku punya alasan sendiri,” dengus Alaska.
Leon mengangkat alis. “Apa kau mencurigai sesuatu? Aku rasa aku tahu.”
Tapi Alaska tetap diam. Tidak membantah, tidak mengiyakan.
Lukas justru makin menjadi. Ia mendekat dan berbisik keras, “Sudah kembali ke topik. Apa kau menyukai gadis remaja baru puber? Bro, mereka masih labil. Nggak pintar dalam permainan.”
“Aku kesal bukan karena hal gila itu!” bentak Alaska. “Ada bocah nakal di sekolah yang selalu menggangguku. Dia berharap aku angkat kaki dari sana. Kalian tahu? Aku tadi disiram kopi. BAN mobilku dibocorkan. Argh! Sial. Untung dia masih bocah. Kalau bukan, sudah aku lempar dia.”
“Lempar ke kasur,” kekeh Lukas sambil menahan tawa.
“Hilangkan pikiran jorokmu, tuan mafia. Aku tidak seperti kamu,” geram Alaska.
“Dan benar seperti yang kau bilang, Leon. Aku tidak bisa meremehkan William.”
Alaska berdiri, capek dengan ocehan Lukas yang tidak ada filter.
“Sudahlah. Berbicara dengan Lukas hanya membuatku gila. Aku pulang. Jeff, setir mobil.”
“Hei! Jangan sampai student to lovers ya!” teriak Lukas sambil tertawa menggema.
“Diam kau!” Alaska mengacungkan jari tengah sebelum keluar dari markas.
Tawa Lukas memenuhi ruangan. “Hahaha! Akhirnya ada yang bisa merusak es beku bernama Alaska!”
Jeff mengikuti Alaska keluar. Mereka masuk mobil dan melaju kembali menembus jalanan kota yang ramai. Lampu-lampu neon gedung, suara kendaraan, dan udara malam membuat suasana makin kontras dengan ekspresi tuannya.
Jeff melirik lewat kaca spion. “Tuan… apa Anda baik-baik saja?”
Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang panjang tanda bahwa Alaska sedang berkutat dengan pikirannya sendiri.
Setibanya di mansion Arnolda, rumah besar dengan halaman luas dan lampu-lampu taman yang indah, Alaska masuk tanpa bicara banyak. Langkahnya melewati ruang tamu yang sedang ditempati dua orang: Axel dan Clara.
Axel sedang duduk dengan santai sambil memeluk Clara yang menonton drama di TV. Begitu melihat Alaska masuk, Clara langsung berseru lantang.
“Aska, my baby! Sini sayang!”
“Mommy… bisakah memanggil lebih pelan? Bahkan para pelayan bisa mendengar teriakan Mommy,” ketus Alaska.
“Ih lihat dia, sayang! Tidak berbakti sama sekali. Padahal aku mengandung dia sembilan bulan!” protes Clara sambil meninju pelan bahu Axel.
Axel tertawa kecil. “Ada apa, Nak? Untuk pertama kalinya Daddy melihat kamu benar-benar lelah. Ada masalah di kantor? Daddy sudah bilang, pekerjaan itu menambah uang, bukan menambah beban.”
Alaska menghela napas panjang, lalu duduk di samping Axel.
“Bukan di kantor. Di sekolah. Ada bocah yang selalu mengganggu. Kata guru di sana, dia memang sangat nakal.”
“OMG!!” jerit Clara.
“Sayang! Suara kamu!” Axel memegangi telinganya.
“Hehe maaf… aku hanya kaget. Sama seperti Mommy dulu. Tapi Mommy tidak pernah sampai mengerjai guru sejauh itu. Nakal iya, tapi tidak ekstrem.”
“Aku sampai disiram kopi,” sahut Alaska sambil mengangkat bahu.
Axel tertawa keras. “Wah! Parah sekali itu. Benarkan, sayang?”
“Ini bukan lucu!” kesal Alaska berdiri. “Aku ke kamar.”
Pasangan suami istri itu hanya saling pandang sambil menahan tawa. Alaska melangkah menuju kamarnya. Setelah masuk, ia menatap langit-langit sebentar sebelum menuju lemari tempat album foto keluarganya disimpan.
Ia membuka salah satu album, lalu menatap foto seorang wanita cantik: Clarissa. Ibu kandung Alisa.
“Mommy Clarissa… aku akan menjaga kakak dan Mommy serta Daddy,” gumam Alaska pelan sambil mengusap foto itu.
“Entah kenapa firasatku buruk. Tapi sebagai pewaris Arnolda, aku pastikan Alisa tetap baik-baik saja. Selama dia bersama Arbian, dia pasti aman.”
Ia menutup album, namun pikirannya tidak ikut tenang.
Sementara itu…
Di desa, jauh dari gemerlap kota, sebuah rumah sederhana dipenuhi suasana dingin dan tegang. Arum berlutut di lantai ruang tamu, menangis tersedu-sedu. Tubuhnya bergetar, rambutnya masih basah setelah mandi kilat tadi.
Di depannya berdiri seorang wanita bernama Sarah, ibu tiri Arum. Wajahnya keras, mata penuh rasa muak.
“Ibu, maafkan Arum… Jangan usir Arum, Bu… Arum mau tinggal di mana?” suara Arum pecah, penuh ketakutan. “Arum cuma punya Ibu dan Bayu…”
...----------------...
Terima kasih sudah mengikuti cerita ini! Yuk bantu dukung dengan tekan like atau share ke favorit kalian. Dukungan kalian sangat berarti.