Bagi Aditya, Reina bukan sekadar kekasihnya tapi ia adalah rumahnya.
Namun dunia tak mengizinkan mereka bersama.
Tekanan keluarga, perjodohan yang sudah ditentukan, dan kehormatan keluarga besar membuat Aditya terjebak di antara tanggung jawab dan juga cinta.
Dalam keputusasaan, Aditya mengambil keputusan yang mengubah segalanya. Ia nekat menodai Reina berkali kali demi bisa membuatnya hamil serta mendapatkan restu dari orang tuanya.
Cinta yang seharusnya suci, kini ternodai oleh ketakutan dan ambisi. Mampukah Aditya dan Reina mengatasi masalah yang menghalang cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Setelah mengatakan apa yang harus dikatakan kepada Dika, Aditya pun akhirnya segera masuk ke dalam mobilnya dan pergi meninggalkan rumah Reina serta menitipkan Reina dalam penjagaan Dika.
Hari ini Aditya tidak akan pergi ke kantor, sama seperti kemarin. Ia mengemudikan mobilnya menuju ke rumahnya untuk mengemasi semua barang barangnya. Setelah memikirkan semuanya, Aditya berpikir untuk membawa Reina ke luar negeri sekaligus menikahinya disana untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan dilakukan oleh kedua orang tuanya jika mereka mengetahui kalau anak semata wayangnya itu masih tetap berada dalam keputusannya untuk tidak menikah dengan putri pemilik dari bank Permadi, dan lebih memilih untuk hidup bersama seorang gadis biasa.
Selain itu, dengan membawa Reina pergi ke luar negeri bersamanya, Aditya berpikir kalau itu adalah langkah terbaik untuk membuat Reina terus bersamanya dan memperkecil kemungkinan Reina untuk kabur darinya.
Setiap langkah yang diambil oleh Aditya terasa berat, namun Aditya tetap mengambil langkah itu demi bisa bersama wanita yang ia cintai. Setelah menghabiskan waktu sekitar dua puluh menit, akhirnya mobil mewah yang dikendarai oleh Aditya masuk ke halaman rumah besar bergaya kolonial milik keluarga Wiranegara. Rumah itu terlihat megah, berlapis marmer putih, seolah berdiri sebagai simbol kekuasaan yang selama ini mengekang hidupnya.
Begitu mobil mewahnya berhenti di pelataran rumah, para pelayan menyambut kepulangan Aditya dengan wajah heran setelah melihat raut wajah Aditya yang terlihat tegang.
“Selamat pagi, Tuan Muda,” sapa salah satu pelayan dengan sopan dan membuat Aditya hanya mengangguk singkat tanpa berkata apa-apa.
Ia berjalan cepat menuju kamarnya di lantai dua. Setiap langkah seolah menggaung di dalam rumah yang terlalu besar dan terlalu sunyi itu. Begitu tiba di kamarnya, ia segera menyalakan lampu, membuka lemari besar yang berisi pakaian mahalnya, lalu mulai memasukkan semua pakaiannya satu per satu ke dalam koper.
Gerakannya cepat dan tegas, seolah ia takut rencananya itu diketahui oleh kedua orang tuanya terutama ayahnya jika menunda terlalu lama.
Beberapa potong jas, Aditya lipat dengan rapi, kemeja putih dan celana hitam ia masukkan ke koper kedua. Di meja kerjanya, ia melihat bingkai foto keluarga, potret dirinya bersama ayah dan ibunya, foto yang dulu ia banggakan, kini hanya membuat dadanya semakin terasa sesak. Dengan tatapan kosong, Aditya mengambil bingkai foto keluarga itu, menatapnya sejenak, lalu meletakkannya kembali di atas meja.
“Sudah cukup aku melakukan semua yang mereka inginkan, sekarang aku tidak bisa lagi hidup di bawah kendali mereka,” gumam Aditya dengan lirih.
Tak lama kemudian pintu kamar tiba-tiba terbuka.
“Aditya?”
Suara lembut dan juga panik itu membuat Aditya menoleh cepat. Ibu kandungnya, Bu Ratna Wiranegara, berdiri di ambang pintu dengan wajah cemas. Wanita itu tampak terkejut saat melihat koper besar yang berserakan di lantai kamar anaknya.
“Aditya, kau mau ke mana dengan membawa barang sebanyak ini? Jawab pertanyaan ibu, Nak?” tanyanya Bu Ratna dengan tergesa-gesa, ia berjalan cepat menghampiri Aditya. Tatapannya menelusuri isi kamar yang kini berantakan oleh tumpukan pakaian dan koper yang terbuka.
Aditya menarik napas panjang, lalu menatap ibunya dengan sorot mata yang lelah namun tegas.
“Aku akan pergi dari rumah ini, Bu. Aku sudah tidak bisa lagi untuk tinggal di sini.” ucap Aditya yang membuat Bu Ratna terbelalak.
“Apa maksudmu? Pergi? Pergi ke mana?” tanya Bu Ratna dengan suara bergetar.
“Ke luar negeri,” jawab Aditya mantap. “Aku akan membawa Reina untuk pergi bersamaku.”
“Apa?!” seru Bu Ratna nyaris menjerit. Wajahnya pucat seketika. “Aditya, kau tidak bisa bicara sembarangan seperti itu! Kau sadar apa yang kau katakan?”
Aditya meletakkan lipatan terakhir pakaiannya ke dalam koper, lalu menutupnya dengan satu hentakan kuat.
“Aku sudah memikirkannya, Bu. Aku tidak akan membiarkan siapa pun memisahkan kami lagi, bahkan Ayah dan ibu sekalipun.”
Bu Ratna mundur satu langkah, matanya mulai berkaca-kaca.
“Nak, tolong jangan lakukan ini. Kau tahu bahwa kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Semua ini—”
“Yang terbaik menurut siapa, Bu?” potong Aditya cepat. “Menurut ibu? Menurut keluarga Pak Permadi? Atau menurut kalian yang menganggap cinta hanya sebatas kesepakatan bisnis?” nada suaranya meninggi. “Aku sudah muak hidup seperti boneka yang harus menuruti perintah ayah dan ibu!”
Bu Ratna menggeleng, suaranya terdengar parau,
“Tapi kau tidak bisa pergi begitu saja, Aditya! Ini rumahmu dan juga keluargamu. Ayahmu pasti—”
“Justru karena inilah aku ingin pergi!” sergah Aditya lagi. “Sejak kecil aku sudah dipaksa untuk hidup sesuai keinginan kalian. Tidak boleh melakukan ini, tidak boleh melakukan itu. Sekolah di luar negeri karena ambisi Ayah. Masuk ke perusahaan keluarga karena tekanan Ayah. Dan sekarang, menikah dengan wanita yang bahkan tidak aku cintai karena keegoisan kalian! Aku tidak sanggup lagi hidup seperti ini, Bu.”
Air mata akhirnya jatuh menetes dari kedua mata Bu Ratna. Ia mencoba mendekati Aditya dan menggenggam tangan putranya itu dengan erat.
“Nak, Ibu mohon. Jangan lakukan ini. Jangan tinggalkan kami. Kalau kau pergi, Ayahmu akan—”
Aditya menarik tangannya pelan, namun tegas.
“Bu, aku sudah memutuskannya. Dan aku tidak akan berubah pikiran.”
Suasana di kamar itu seketika hening. Hanya suara detik jam yang terdengar samar. Aditya menatap wajah ibunya cukup lama, ada luka dan cinta yang saling bertabrakan di matanya.
“Aku masih menghormati Ibu, tapi kali ini aku harus memilih hidupku sendiri. Ibu tidak tahu bagaimana rasanya hidupku yang seperti mayat hidup. Aku memang masih hidup, tapi tidak dengan hatiku yang sudah mati karena keegoisan kalian.” ucap Aditya yang membuat Bu Ratna menutup mulutnya, dan berusaha menahan tangisnya.
“Kau tidak bisa pergi meninggalkan kami dengan seperti ini, Aditya. Dunia diluar sana tidak akan semudah yang kau kira.” ucap Bu Ratna yang membuat Aditya hanya menatapnya dengan senyum tipis dan juga getir.
“Mungkin memang tidak, Bu. Tapi aku lebih memilih hidup sederhana bersama Reina, daripada hidup mewah tapi seperti mayat hidup di rumah ini.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Aditya menyeret kopernya keluar kamar. Bunyi roda koper yang bergesekan dengan lantai marmer menggema di lorong panjang rumah itu.
“Aditya! Nak, tolong dengarkan Ibu!” teriak Bu Ratna histeris sambil berlari mengejar anaknya yang kini menuruni tangga besar di ruang utama.
Namun Aditya tak lagi berhenti. Ia terus berjalan, bahkan ketika air mata ibunya jatuh satu per satu ke lantai marmer yang mengilap.
“Aditya! Jangan pergi, Nak! Ibu mohon!” jerit Bu Ratna lagi, tapi Aditya tetap tidak menoleh.
Begitu Aditya membuka pintu depan rumahnya, cahaya matahari pagi menyambut wajahnya. Angin sepoi-sepoi meniup rambutnya pelan, tapi langkahnya mantap. Ia tahu, begitu ia melewati ambang pintu itu, tak akan ada jalan untuk kembali.
“Selamat tinggal, Ibu,” ucap Aditya pelan ketika ia keluar dari rumah itu.
/Speechless//Speechless//Speechless//Speechless/