Di sebuah pulau kecil di Jeju, Lee Seo Han menjalani kehidupannya yang sunyi. Ditinggal kedua orang tuanya sejak remaja, ia terbiasa bergulat dengan kesendirian dan kerasnya kehidupan. Bekerja serabutan sejak SMA, ia berjuang menyelesaikan pendidikannya sendirian, dengan hanya ditemani Jae Hyun, sahabatnya yang cerewet namun setia.
Namun musim panas itu membawa kejutan: Kim Sae Ryeon, cahaya yang menyinari kegelapan hidupnya. Perlahan tapi pasti, Seo Han membuka hatinya untuk merasakan kebahagiaan yang selama ini ia hindari. Bersama Sae Ryeon, ia belajar bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang mencintai dan dicintai.
Tapi takdir berkata lain. Di puncak kebahagiaannya, Seo Han didiagnosis mengidap ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), penyakit langka yang secara perlahan akan melumpuhkan tubuhnya. Di hadapan masa depan yang tak menentu dan ketakutan menjadi beban, Seo Han membuat keputusan paling menyakitkan: mengorbankan cintanya untuk melindungi orang tersayang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rahmad faujan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENJAGA YANG TAK TERLIHAT
Ia meraih ponsel memikirkan siapa yang harus dihubungi. Ibu Jae Hyun? Tidak, itu sama saja memercikkan api baru. Ia tidak mau membebani wanita baik itu dengan drama keluarganya yang berbau busuk dan sudah terlalu lama disembunyikan.
Ia menghela napas yang terasa berat dan dingin. Akhirnya ia duduk di bangku koridor rumah sakit yang sunyi, di bawah lampu neon yang berkedip samar, menundukkan wajah ke telapak tangan. Penyesalan menghantamnya, bukan seperti palu yang mematikan, tapi seperti jarum es yang menusuk jauh ke dalam tulang, menghujam tepat di ulu hati.
"Ini salahku. Semua ini salahku. Kalau aku tidak datang, dia tidak akan hancur."
"Kalau aku tidak meninggalkannya dulu, dia tidak akan separah ini."
"Dia pingsan karena amarah dan rasa sakit yang tanpa sadar aku picu. Aku adalah katalis untuk kehancurannya."
Monolog Batin Sang Ayah:
Ayah memejamkan mata, membiarkan kilas balik menusuk-nusuk retinanya. Dua puluh tahun. Dua puluh tahun aku membangun benteng kesuksesan yang palsu, menimbun kekayaan, dan membenarkan setiap keputusan kejam atas nama ‘kebebasan’. Ia tertawa getir, suara yang hanya terdengar di benaknya. Kebebasan? Yang kuperoleh hanyalah kesepian yang dibungkus sutra. Sementara putraku... ia tumbuh tanpa tahu apa itu sutra, hanya mengenal luka menganga dan janji-janji yang tak pernah tertepati.
Saat Varida meninggal, aku lari. Aku pengecut. Aku memilih mematikan rasa, meyakinkan diri bahwa uang akan menjadi ayah dan ibu yang lebih baik baginya. Itu adalah kebohongan paling busuk yang pernah kubisikkan pada diriku sendiri. Uang hanya memberinya rumah, tapi tidak memberinya kehangatan. Uang hanya membelikan sekolah terbaik, tapi tidak membeli pelukan saat ia menangis.
Sekarang, melihatnya terbaring tak berdaya... inilah balasan Tuhan. Aku telah menghancurkan satu-satunya hal nyata dan murni yang pernah kutinggalkan. Dia hancur di hadapanku, dan aku—aku hanya bisa melihatnya, lumpuh oleh penyesalan. Ia meremas tangannya kuat-kuat, mencari titik fokus untuk menahan gelombang rasa mual dan bersalah. Berapa harga yang harus kubayar untuk memperbaiki keretakan di jiwa kecil itu? Tidak ada. Tidak ada jumlah kekayaan yang bisa menambal kekosongan yang kubuat.
Seorang dokter mendekat, wajahnya serius namun menenangkan.
"Dengan Ayahnya Tuan Seo Han?"
Ayah langsung berdiri. "Ya, Dokter. Bagaimana kondisi putra saya? Dia baik-baik saja?"
"Tuan Seo Han mengalami krisis. Ya, dehidrasi parah dan kelelahan ekstrem. Demamnya mencapai 39° saat tiba. Kami sudah beri cairan infus dan obat penurun panas. Dia akan baik-baik saja, Tuan. Tapi ini bukan lagi hanya tentang demam. Ini adalah pertarungan mental."
Dokter itu menatap mata ayah yang memancarkan rasa bersalah.
"Tuan Seo Han sangat stres dan kelelahan mental. Sepertinya ada beban emosional besar yang baru saja ia lepaskan. Tubuhnya memberi alarm. Sebagai walinya, Anda harus tahu bahwa perawatan fisik hanya sebagian kecil dari penyembuhannya. Dia butuh lebih dari obat, ia butuh dukungan emosional. Seseorang yang bisa ia percaya untuk menopangnya."
Kata-kata dokter itu menghantam ayah seperti tamparan. Ia bukan cuma menyembuhkan fisik, tapi juga secara gamblang mengakui luka di jiwa Seo Han.
"Boleh saya menemuinya, Dokter?"
"Tentu. Dia sudah dipindah ke kamar rawat inap biasa. Silakan ikut saya."
Di Kamar Rawat Inap:
Seo Han dipindahkan ke ruang rawat inap Kelas Satu. Kamarnya bersih, sunyi, dengan tirai jendela yang menyaring cahaya pagi menjadi warna putih lembut. Infus menancap di pergelangan tangannya, cairan bening menetes perlahan, seolah menghitung setiap detik rasa sakit yang hilang. Wajahnya masih pucat, bibirnya sedikit pecah-pecah, tapi napasnya sudah teratur.
Ayah berjalan pelan, menarik kursi ke samping ranjang. Kursi itu terbuat dari baja, dingin, seperti hati yang selama ini ia miliki. Ia menatap wajah anaknya yang tenang dalam tidur. Wajah itu... tiruan sempurnanya, perpaduan antara dirinya dan Varida.
Ia mengulurkan tangan gemetar, menyentuh dahi Seo Han. Panasnya sudah turun. Dengan lembut, ia menggenggam tangan Seo Han yang bebas dari infus. Tangan itu terasa kecil dan ringkih, begitu rapuh, jauh berbeda dengan tangan pebisnis sukses yang biasa ia genggam.
Melihat putranya tak berdaya seperti ini, semua kesuksesan, kekayaan, dan keangkuhannya terasa bual kosong, hampa dan menjijikkan. Semua itu tak berarti jika harus ditukar dengan satu tetes air mata Seo Han.
"Ayah tahu, kamu benci Ayah. Dan kamu berhak membenci Ayah," bisiknya, suaranya parau, pecah. "Ayah tidak pantas disebut ayah. Sama sekali tidak pantas."
Ia mencium punggung tangan Seo Han. Ini ciuman tulus, tanpa janji palsu, hanya pengakuan salah yang terpendam puluhan tahun. Ia akan duduk di sana, menunggui Seo Han, sampai putranya bangun dan siap meluapkan kebencian lagi. Ia siap menerima hukumannya.
Ia melihat ponsel Seo Han yang layarnya retak. Wallpaper-nya adalah foto mereka berdua saat wisuda SD—wajah kecil Seo Han yang ceria di samping sosok Rey yang memeluknya erat. Kontras yang menyakitkan. Rey. Sahabat yang menjadi keluarga, menggantikan peran yang seharusnya ia isi. Ironi yang menyayat.
"Ayah minta maaf, Nak. Ayah sungguh menyesal sudah meninggalkanmu sendiri. Ayah tidak butuh kamu memaafkan Ayah, tapi Tuhan, izinkan Ayah selalu melihatmu," katanya, meletakkan ponsel di meja samping.
Ayah tahu, saat ini, dia adalah racun yang berjalan bagi putranya. Kedatangannya membawa kehancuran emosional; kehadirannya hanya akan mengingatkan Seo Han pada malam traumatis itu. Ia harus menghilang demi kesembuhan putranya.
Ia mengatur napas, melangkah keluar, dan mendatangi meja perawat.
"Tolong," katanya pada perawat, suaranya mantap, tanpa keraguan sedikit pun. "Tolong jangan beritahu Tuan Seo Han bahwa saya yang membawanya. Katakan saja 'tetangga' yang menemukannya. 'Seorang pria yang kebetulan lewat.' Dan tolong, pastikan dia mendapat perawatan terbaik. Semua biayanya akan diurus oleh kantor hukum saya. Saya hanya ingin memastikan dia pulih dengan tenang."
Ayah Seo Han kemudian kembali ke kamar, menarik tirai, dan siap menjadi penjaga tak terlihat bagi putranya. Ia duduk di kursi penunggu yang dingin, tidak bergerak, seperti patung penyesalan yang membeku.
"Ku harap kamu cepat sembuh, Nak. Ayah akan selalu disini, di balik pintu ini, di sampingmu. Ini janji terakhir Ayah. Janji yang akan Ayah tepati. Walaupun ayah tidak akan pernah muncul lagi di hadapanmu."