NovelToon NovelToon
Dia Yang Kau Pilih

Dia Yang Kau Pilih

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam / Pelakor / Cerai / Penyesalan Suami / Selingkuh / Berondong
Popularitas:5.4k
Nilai: 5
Nama Author: Serena Muna

Rika Nurbaya adalah seorang guru honorer yang mendapat perlakuan tak mengenakan dari rekan sesama guru di sekolahnya. Ditengah huru-hara yang memuncak dengan rekan sesama guru yang tak suka dengan kehadirannya, Rika juga harus menghadapi kenyataan bahwa suaminya, Ramdhan memilih wanita lain yang jauh lebih muda darinya. Hati Rika hancur, pernikahannya yang sudah berjalan selama 4 tahun hancur begitu saja ditambah sikap ibu mertuanya yang selalu menghinanya. Rika pun pergi akan tetapi ia akan membuktikan bahwa Ramdhan telah salah meninggalkannya dan memilih wanita lain.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Politik Membuat Gaduh

Kekuatan politik di sekolah tidak pernah berjalan lurus, dan Pak Rahmat, Kepala Sekolah, kini duduk di antara dua api yang saling membakar. Di satu sisi, ada Rika, si guru honorer dengan integritas mengajar yang tak terbantahkan. Di sisi lain, ada koalisi Rosba dan Miss Rini, dua guru senior yang memegang kendali atas jaringan dan kepatuhan.

Dinding ruang kerja Pak Rahmat seolah-olah menyempit. Fitnah yang dilontarkan Rosba dan Rini—tentang Rika yang menggunakan kelas sebagai panggung drama pribadi dan rumor perselingkuhan—sangat menusuk dan sulit ia tangkal. Ia tahu, Rosba memiliki kenalan penting di Dinas Pendidikan yang selalu siap sedia menyambar isu sensitif ini. Jika Rosba menekan, karier Rika akan tamat, dan stabilitas SMA Negeri 2 akan terganggu.

Pak Rahmat menghela napas berat, menatap bingkai foto istrinya di meja. Ia percaya Rika, tapi ia adalah birokrat. Ia harus bermain aman. “Aku harus memanggil Rika,” gumamnya, “tapi aku harus bicara hati-hati. Aku tidak bisa membiarkan Rosba menang, tapi aku juga tidak bisa membiarkan sekolah ini terbakar.”

****

Sementara Kepala Sekolah bergumul dengan etika dan politik, Rika sepenuhnya mengabaikan riak kebencian yang masih dilancarkan Rosba. Ia tahu Rosba membencinya. Tapi bagi Rika, kebencian itu kini adalah alarm yang membangunkan semangatnya. Semakin Rosba ingin menjatuhkannya, semakin Rika harus berdiri tegak dan bersinar.

Di kelas XI-B, Rika memulai pelajaran dengan tema “The Power of Imagination.”

“Hari ini, kita akan belajar Modals dan Future Tense melalui seni visual,” ujar Rika, matanya berbinar. Ia menyuruh para siswa menutup mata dan membayangkan masa depan yang paling absurd.

“If I could fly, I would travel to Mars next week! Coba, sekarang kalian! Tulis satu kalimat imajinasi liar kalian. Tidak ada yang salah, tidak ada yang bodoh. Ini kelas kita, ini ruang bebas kita!” Rika berjalan di antara meja, menyemangati mereka.

Kelas itu seketika hidup. Siswa yang biasanya pasif, kini tertawa dan berdebat dalam bahasa Inggris yang terbata-bata. Mereka bukan lagi siswa yang takut pada guru, mereka adalah seniman yang sedang melukis mimpi.

Di ambang pintu, Bu Rosba dan Miss Rini kebetulan lewat. Rosba berhenti, matanya menyala melihat hiruk pikuk di dalam kelas. Rini mencibir.

“Lihat, Bu Rosba,” bisik Rini, nadanya penuh sinisme. “Dia tidak mengajar, dia sedang bermain-main. Itu bukan kelas, itu tempat rekreasi. Dia memang hanya mencari popularitas.”

Rosba mengatupkan rahangnya. Ia melihat Rika tertawa riang bersama murid-muridnya, dan pemandangan itu terasa seperti api yang membakar jiwanya. Rika tidak tampak seperti wanita yang baru diceraikan dan difitnah. Rika tampak... bahagia. Dan kebahagiaan itu adalah provokasi terburuk bagi Rosba.

“Dia sengaja, Rini,” desis Rosba. “Dia tahu kita mengawasinya. Dia sedang pamer, seolah mengatakan, ‘Aku tidak peduli pada kebencian kalian.’ Kita harus menekan Kepala Sekolah lebih keras. Dia tidak pantas berada di sini.”

Rika merasakan tatapan menusuk itu, namun ia tidak gentar. Ia bahkan menoleh ke ambang pintu dan membalas pandangan Rosba dengan senyum yang ramah, senyum yang sengaja ia buat sedikit lebih cerah dari biasanya. Senyum yang menyimpan seribu makna: Aku tidak akan hancur oleh kebencianmu.

Rosba mendengus, membuang muka, dan berjalan pergi. Rosba kini yakin: Rika adalah musuh yang harus dihancurkan.

****

Jam pelajaran berakhir. Rika merasa lelah secara fisik, namun jiwanya terasa penuh. Koper di rumah orang tuanya sudah terbuka, dan hatinya sudah setengah sembuh. Kini, saatnya ia mendapatkan sayapnya kembali.

Rika naik taksi online menuju bengkel tempat Arya Dewandaru membawa motornya kemarin. Ketika tiba, ia melihat motor matic-nya sudah berdiri gagah, tampak lebih bersih dan terawat dari sebelumnya.

“Motornya sudah beres, Bu Rika,” sapa sang montir ramah. “Sudah di-service total dan businya sudah diganti. Semuanya sudah lunas dibayar oleh Pak Arya.”

Rika tersenyum. Kehangatan kebaikan Arya terasa menenangkan di tengah kerasnya hidup. Ia menyalakan motornya. Mesin itu berderu halus, suara yang merdu, jauh berbeda dari batuk-batuknya kemarin. Motor itu kini terasa seperti simbol awal yang baru.

Ia melaju di jalanan, merasakan angin sore menerpa wajahnya. Ia tidak lagi pulang ke neraka, ia pulang ke rumah orang tuanya, ke tempat yang aman.

Sesampainya di rumah, setelah menyimpan motornya, Rika segera meraih ponsel. Ia harus menyampaikan rasa terima kasihnya.

Ia membuka aplikasi pesan dan mencari kontak Arya yang ia simpan kemarin.

Rika: Selamat sore, Pak Arya. Motor saya sudah saya ambil. Rasanya seperti motor baru. Saya tidak tahu harus berkata apa lagi atas kebaikan dan kemurahan hati Bapak yang luar biasa ini. Saya sungguh sangat berterima kasih.

Tak lama kemudian, balasan masuk. Cepat sekali.

Arya: Selamat sore, Bu Rika. Senang mendengarnya. Motor yang baik adalah teman seperjuangan bagi guru yang berdedikasi. Saya hanya senang bisa membantu. Senyum tulus seorang guru yang kembali bekerja adalah balasan yang lebih dari cukup bagi saya. Selamat berjuang.

Rika membaca pesan itu berulang kali. Arya tidak meminta imbalan, tidak menyindir, tidak meremehkan. Ia hanya melihat Rika sebagai seorang yang sedang berjuang dan pantas mendapat pertolongan.

Rika tersenyum, senyum yang tulus, tanpa kepalsuan, tanpa sandiwara. Hatinya yang penuh luka tiba-tiba terasa tertambal. Ia merasa didukung, dilihat, dan dihargai. Bukan sebagai menantu yang gagal, bukan sebagai guru honorer yang lemah, tetapi sebagai Rika. Ia meletakkan ponselnya. Ia kini punya sayap, tekad yang membaja, dan semangat baru untuk menghadapi Rosba, Cahya, dan bahkan perceraiannya. Perjalanan ini baru saja dimulai.

****

Bau pengap gedung Pengadilan Agama selalu membawa suasana tegang dan kesedihan. Di lorong yang ramai, di antara desakan manusia yang mencari keadilan dan kepastian akan nasib rumah tangga mereka, Rika Nurbaya duduk sendiri. Ia mengenakan stelan batik yang rapi, pakaian yang sama dengan yang ia kenakan saat mengajar. Ia datang sendiri, tanpa didampingi pengacara, hanya membawa dukungan dari orang tuanya yang menunggu di luar gerbang, menghormati keinginannya untuk menghadapi Ramdhan secara mandiri.

Hari ini adalah jadwal sidang mediasi pertama Rika dan Ramdhan. Rika datang dengan hati yang hampa, siap menghadapi kenyataan pahit. Namun, sudah satu jam ia menunggu, dan kursi di samping meja mediasi Ramdhan tetap kosong.

“Ibu Rika Nurbaya?” panggil mediator, seorang wanita paruh baya dengan kacamata berbingkai tipis.

Rika berdiri. “Ya, saya.”

Mediator itu menghela napas, gestur yang sudah terlalu sering ia lakukan. “Mohon maaf, Ibu. Pihak suami, Bapak Ramdhan, tidak hadir dalam sidang mediasi hari ini.”

Rika menutup matanya sejenak. Tidak ada kejutan, hanya konfirmasi yang dingin. Absennya Ramdhan adalah penolakan paling telak. Itu menegaskan bahwa pria itu sudah lama menutup pintu hati untuknya. Tidak ada lagi harapan, dan Rika—anehnya—merasa lapang.

“Baik, Bu,” jawab Rika, suaranya tenang. “Saya mengerti. Silakan proses saja gugatan perceraiannya.”

Ketika Rika baru saja berbalik dan melangkah keluar dari ruangan mediasi, ia merasakan aura gelap dan suara gaduh yang familiar menghantamnya dari arah lorong.

“Dasar menantu tidak tahu diri! Mau ke mana kamu, Rika? Mau kabur?!”

1
Purnama Pasedu
nggak lelah Bu cahaya
Aretha Shanum
ada orang gila lewat thor
La Rue
Ceritanya bagus tentang perjuangan seorang perempuan yang bermartabat dalam meperjuangkan mimpi dan dedikasi sebagai seorang perempuan dan guru. Semangat buat penulis 👍❤️
neur
👍🌹☕
Purnama Pasedu
Shok ya
Purnama Pasedu
Bu rosba panik
Purnama Pasedu
bo rosba nggak kapok ya
Purnama Pasedu
Bu rosba,,,itu Bu riika bukan selingkuh,kan dah cerai
Purnama Pasedu
benar itu Bu Guru
Purnama Pasedu
wanita yg kuat
Purnama Pasedu
lah Bu rosba sendiri,bagaimana
Purnama Pasedu
bener ya bu
Jemiiima__: Halo sahabat pembaca ✨
‎Aku baru merilis cerita terbaru berjudul BUKAN BERONDONG BIASA
‎Semua ini tentang Lucyana yang pernah disakiti, dihancurkan, dan ditinggalkan.
‎Tapi muncul seseorang dengan segala spontanitas dan ketulusannya.
‎Apakah Lucy berani jatuh cinta lagi? Kali ini pada seorang Sadewa yang jauh lebih muda darinya.
‎Mampir, ya… siapa tahu kamu ikut jatuh hati pada perjalanan mereka.
‎Dukung dengan like ❤️ & komentar 🤗, karena setiap dukunganmu berarti sekali buatku. Terimakasih💕
total 1 replies
Purnama Pasedu
lawan yg manis ya
Purnama Pasedu
bawaannya marah terus ya
Purnama Pasedu
Bu rosba iri
Purnama Pasedu
jahat ya
Purnama Pasedu
kalo telat,di marahin ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!