Sekuel ke empat Terra The Best Mother, sekuel ke tiga Sang Pewaris, dan sekuel ke dua The Big Families.
Bagaimana kisah kelanjutan keluarga Dougher Young, Triatmodjo, Hovert Pratama, Sanz dan Dewangga.
Saksikan keseruan kisah pasukan berpopok dari new generasi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TEROR
Hari beranjak siang. Mobil SUV hitam yang ditumpangi Dimas, Affhan, dan Mai sudah meluncur lebih dulu, diikuti kendaraan Rando bersama timnya. Seperti biasa, iring-iringan itu dikawal ketat oleh sepuluh pengawal bersenjata.
Mereka bukan orang sembarangan — para pengawal itu bekerja di perusahaan yang menangani sistem keuangan seluruh perusahaan di Indonesia.
SaveAccounting — nama yang dikenal sebagai benteng data keuangan paling aman di Jakarta.
Semua file perusahaan besar tersimpan di sana, terenkripsi berlapis-lapis. Sistem penjagaannya dirancang bukan hanya untuk menolak penyusup, tapi juga mampu merusak perangkat siapapun yang mencoba memaksa masuk.
Namun, di luar sana, dua pasang mata mengawasi dari kejauhan. Dari balik mobil butut warna abu-abu yang parkir di seberang ruko tiga lantai itu.
Bangunan sederhana itu tampak biasa, tapi siapa sangka — di balik cat kusamnya tersimpan ratusan miliar data yang bisa membuat ekonomi satu perusahaan jatuh hanya dengan satu klik.
“Boss?” bisik salah satu pria, matanya waspada.
“Diam, kamu! Mau mati konyol, hah?” bentak pria di sebelahnya, dengan suara pelan tapi tegas. Tatapannya menusuk, penuh kewaspadaan.
Di depan sana, lima petugas keamanan duduk di pos jaga. Satu di antaranya berkeliling memeriksa tiap sudut halaman. Sementara empat lainnya memantau layar monitor, bergantian menyeruput kopi sachet.
“Ayo kita jalan,” bisik sang pria, buru-buru menurunkan kaca mobil. Mereka meninggalkan lokasi sebelum para satpam sempat menaruh curiga.
Salah satu satpam yang melihat gerakan mencurigakan itu sempat menatap ke arah mobil yang melaju pergi.
“Hmmm… semoga cuma orang iseng aja,” gumamnya pelan, lalu kembali ke kursi pos jaga sambil menyalakan rokok.
Tapi di sisi belakang gedung, dua pria lain sudah bergerak cepat. Mereka mengenakan rompi teknisi PLN lengkap dengan helm proyek, bergegas menuju kubikel listrik bertegangan tinggi.
“Kita cari kabel datanya, Wo!” ucap pria pertama, matanya menyipit ke arah tiang-tiang kabel.
“Kayaknya yang itu, Boss!” jawab anak buahnya, Narwo, menunjuk ke arah gulungan kabel tebal yang menuruni tembok belakang.
Pria itu, Irwan, naik ke atas kubikel dengan gesit. Ia mengaitkan kabel data internet yang tersambung langsung ke jaringan ruko itu, lalu menghubungkannya ke tablet canggih yang ia bawa.
Layar menyala — aliran angka, kode, dan sinyal berkelip cepat seperti hujan biner di layar.
Narwo memanjangkan lehernya, menatap kagum.
“Keren amat, Boss. Dari sini aja bisa lihat data mereka?”
Irwan terkekeh pelan, jari-jarinya menari di atas layar.
“Gampang itu, Wo. Ini cuman mainan kecil.”
Deretan angka muncul, lalu berganti jadi nama-nama file dan jalur server. Irwan terus mengetik cepat — matanya tak sempat berkedip.
Beberapa detik kemudian, ia berhenti, tersenyum puas.
“Dapat! Nomor SIM yang ngatur lalu lintas server cadangan mereka. Ini kunci masuknya.”
“Wah, serius?!” Narwo nyaris bersorak tapi cepat-cepat menutup mulut.
Irwan mengunci data itu dan menyalinnya ke folder tersembunyi. Namun, baru ia menekan tombol save, tiba-tiba—
BLESH!
Asap putih mengepul dari tablet, disusul percikan api kecil.
“Astaga!” teriak Irwan. Panik, ia melempar tablet itu ke parit di bawah kubikel.
Tablet jatuh dengan suara byur, tapi api dari sisa kabel terbakar malah menjilat semak-semak di sekitar tiang.
Narwo spontan panik. Ia meraih botol air mineral di sakunya, membuka tutupnya, dan menyiramkan air ke api.
Tak padam.
“Ya ampun, Wo, cepet!” seru Irwan setengah histeris.
“Udah, sabar, sabar!” ujar Narwo sambil menarik napas panjang. Lalu—
Tanpa pikir panjang, ia membuka resleting celananya dan… cessssss!
Api kecil itu padam seketika. Bau gosong bercampur pesing memenuhi udara.
“Ja ... !!!” teriak Irwan kaget, menatap Narwo yang masih berdiri bangga dengan wajah puas.
“Kenapa kau kencingi, Wo!?” umpatnya kesal.
“Kau mau orang-orang datang lihat kita ngibrit di sini, hah?” balas Narwo dengan nada sengit.
Irwan hanya bisa menatap tablet gosong yang kini mengambang di parit. Layar pecah, asap masih mengepul tipis.
“Sudah hancur…,” gumamnya dengan wajah pias.
Namun, bibirnya perlahan menyunggingkan senyum.
“Tapi aku masih hafal nomor SIM itu.”
Narwo menghela napas lega.
“Ya udah, baguslah. Tablet rusak bisa diganti!”
Irwan menepuk bahunya, lalu menatap langit.
“Iya… tinggal minta ganti sama bos besar!”
Narwo menyipitkan mata.
“Kau yakin bosmu bakal senang kita pulang cuma bawa hafalan?”
Irwan tertawa miring, setengah takut setengah yakin.
“Kalau dia tahu siapa yang kita intai, dia pasti senang. Lagipula, nomor SIM itu cukup buat melacak satu dunia, Wo.”
Narwo menelan ludah, menatap ruko itu sekali lagi sebelum mereka berdua pergi. Ia tidak tahu bahwa setiap kabel dan jaringan yang mereka sentuh sudah dipantau sistem keamanan otomatis milik SaveAccounting.
Beberapa menit setelah mereka meninggalkan lokasi, lampu kecil di ruang server menyala merah. Sistem mendeteksi gangguan tak dikenal.
Dan di markas pusat Savelived, notifikasi berbunyi di layar Darren:
[ALERT: Unauthorized signal detected – Source intercepted at Sector D, South Jakarta.]
Darren memicingkan mata. Ia mengetik cepat, mengaktifkan pelacakan.
“Wah ... Ada yang mencoba masuk sistem data SaveAcounting?"
"Sayang, ada apa?" tanya Saf, sang istri yang baru keluar dari kamar mandi.
"Ada yang mau jebol pertahanan data SaveAcounting, sayang!' jawab Darren.
"Mana?" Saf menatap layar yang sudah baik-baik saja.
"Mereka tak mendapat apapun, sayang. Hanya satu nomor SIM-card" jawab Darren lagi.
"Nomor siapa yang diambil?" tanya Saf lalu mengetik satu tombol.
Tak lama, mereka menatap layar yang memunculkan angka, lalu keduanya saling pandang.
"Nomor ponsel Bunda,"
Pagi menjelang, rumah Terra tak pernah sepi dari aktivitas keluarga. Bart sudah mengurutkan keningnya karena melihat tingkah semua keturunannya.
"Wuyuy pihat Atuh!' seru Ali lalu bergoyang pinggul.
"Wattu mamasya ... pipinaliya ... Pulan-pulan tuh peulpadan puwa!' Ali bernyanyi heboh.
Nai membelalakkan mata, ia tak percaya putranya bernyanyi lagu dewasa.
""Baby, siapa yang ajarin lagu itu?!" tegurnya menghentikan nyanyian Ali.
"Deunal pi tamal pipi, Amah!" jawab Ali.
"Nggak boleh nyanyi itu ya. Itu lagu gak baik!' larang Nai.
'Pidat bayit? Pidat bayitna pibanana Amah?" tanya Zora.
"Eh ... Saya lupa bilang, Baby Zora dan Baby Vendra bisa sekolah Teka!' sahut Daniyah teringat.
'Ah ... Apa. Kenapa kamu nggak bilang dari tadi!" sembur Bart.
"Daddy!" tergiur Khasya.
"Dia kan belum bersiap?' sahut Bart membela diri.
"Nggak apa-apa,.kan bajunya belum diukur juga!" sahut Daniyah.
Zora dan Vendra senang bukan main, saking senangnya mereka melompat-lompat. Akhirnya semua pergi ke tempat aktivitas mereka masing-masing. Kecuali Saf dan Darren.
'Loh, kok kalian belum berangkat?" tanya Bram menatap Darren.
"Sebenarnya ada hal penting Kakek" jawab Darren serius.
"Apa ... Ada apa?" tanya Bart yang merasakan ketegangan.
'Sebaiknya kita jangan bicara di sini," jawab Saf sambil melirik bayi-bayi yang menatap mereka curiga.
Virgou dan lainnya mengangguk, mereka pun pergi ke lantai dua. Bergeraknya mereka ditatap oleh bayi-bayi yang sangat kepo.
"Beuleta wawu papayin?" tanya Rauf penasaran.
"Janan tawatil Aypi, Ata' Jijah mama Aypi Mala lada pi tatas!" jawab Ali berbisik.
Bersambung.
Wah ...
Next?
ntar klo atta loja di gebet laki2 lain balu tau lassa...🙇🙇