Bagi Luna, Senja hanyalah adik tiri yang pantas disakiti.
Tapi di mata Samudra, Senja adalah cahaya yang tak bisa ia abaikan.
Lalu, siapa yang akan memenangkan hati sang suami? istri sahnya, atau adik tiri yang seharusnya ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 - Permainan Cinta
Sinar matahari sore menembus tirai putih yang setengah terbuka di suite Presidential Hotel Bali, menciptakan bayangan-bayangan hangat yang menari di atas lantai marmer dingin. Aroma frangipani dari taman hotel bercampur dengan wewangian mewah yang menyeruak dari diffuser aromatherapy di sudut ruangan, menciptakan atmosfer yang memikat namun penuh dosa.
Luna, sedang berbaring telentang di atas ranjang king size yang diselimuti sprei sutra putih. Rambutnya yang panjang bergelombang tersebar di atas bantal, wajahnya yang cantik berseri-seri dengan senyuman penuh kepuasan. Di sampingnya, Arjuna Wiratama, pria dengan tubuh atletis dan wajah tampan ala aktor sinetron, tengah menyalakan rokok dengan gerakan yang penuh percaya diri.
"Sayang," bisik Luna sambil mengelus dada bidang Arjuna dengan ujung jarinya, "kamu tahu aku sudah gila karena cinta padamu, kan?"
Arjuna menghembuskan asap rokok ke udara, matanya menatap langit-langit kamar yang dihiasi lukisan relief Bali. Senyumnya merekah, namun ada kilat kalkulasi di balik matanya yang tajam.
"Tentu saja, Luna. Aku juga mencintaimu," jawabnya sambil mengecup puncak kepala Luna. "Makanya aku tidak bisa hidup tanpamu. Kamu adalah segalanya bagiku."
Luna memejamkan mata, menikmati setiap kata yang keluar dari bibir pria yang telah mencuri hatinya sejak mereka bertemu di sebuah café dua tahun yang lalu. Arjuna adalah cinta pertamanya, cinta yang murni dan membara, sangat berbeda dengan pernikahan dingin yang dipaksakan oleh ayah tirinya dengan Samudra.
"Jun," panggil Luna dengan suara manja yang hanya keluar ketika bersama pria itu. "Aku senang sekali kita bisa liburan seminggu penuh di sini. Rasanya seperti mimpi."
Arjuna mematikan rokoknya di asbak kristal mahal yang tersedia di meja samping. Tangannya yang berkulit kecokelatan mulai membelai punggung Luna dengan gerakan yang berpengalaman, membuat gadis itu bergidik kecil.
"Sayangku," bisik Arjuna dengan suara serak yang terdengar sangat seksi di telinga Luna, "aku juga senang. Tapi, kamu tahu kan, kebahagiaan ini tidak akan bertahan lama kalau kita tidak punya masa depan yang jelas?"
Luna membuka mata, memandang wajah Arjuna dengan tatapan penuh cinta sekaligus bingung. "Maksudmu apa, sayang?"
Arjuna bangkit dan duduk bersandar pada kepala tempat tidur, menarik Luna untuk berbaring di dadanya. Jari-jarinya bermain dengan rambut Luna yang harum, menciptakan intimasi yang membuat gadis itu semakin terpesona.
"Luna, aku sudah lama memikirkan ini," kata Arjuna dengan nada serius yang jarang didengar Luna. "Aku tidak ingin terus-terusan jadi pria yang hanya bisa menggantungkan hidupnya padamu. Aku ingin punya sesuatu, punya bisnis sendiri, supaya saat kita menikah nanti, aku bisa menafkahimu dengan kepala tegak."
Mendengar kata 'menikah', mata Luna berbinar. Sudah dua tahun mereka menjalani hubungan gelap ini, dan akhirnya Arjuna membicarakan masa depan yang selama ini menjadi impian terbesarnya.
"Benarkah, Jun? Kamu sungguh-sungguh ingin menikah denganku?" tanya Luna sambil bangkit dan menatap wajah Arjuna dengan mata berkaca-kaca.
Arjuna tersenyum dan mengcup bibir Luna lembut. "Tentu saja, sayang. Aku sudah tidak tahan lagi harus berbagi dirimu dengan pria lain. Aku ingin kamu sepenuhnya jadi milikku."
Luna memeluk Arjuna erat, hatinya meluap-luap bahagia. "Aku juga ingin itu, Jun. Aku sudah muak dengan pernikahan palsu ini. Samudra itu dingin, tidak romantis, dan tidak pernah membuatku merasa dicintai seperti yang kamu lakukan."
"Nah, makanya," kata Arjuna sambil mengelus pipi Luna dengan ibu jarinya, "aku punya rencana. Aku mau buka usaha ekspor-impor. Aku sudah survei, dan dengan modal lima ratus juta, aku yakin bisa sukses dalam setahun. Setelah itu, kita bisa menikah dan hidup bahagia tanpa harus bergantung pada siapa pun."
Luna terdiam sejenak. Lima ratus juta bukanlah jumlah yang sedikit, bahkan untuk ukuran keluarga kaya seperti keluarga Samudra. Tapi demi masa depan bersama Arjuna, dia rela melakukan apa pun.
"Lima ratus juta..." gumam Luna sambil menggigit bibir bawahnya, sebuah kebiasaan yang selalu muncul ketika dia sedang berpikir keras.
Arjuna membaca keraguan di wajah Luna. Dengan gerakan yang diperhitungkan, dia memutar posisi Luna sehingga gadis itu berada di bawahnya. Mata mereka bertemu, dan Arjuna menatap Luna dengan tatapan yang begitu dalam dan penuh cinta.
"Sayang," bisik Arjuna sambil mengecup leher Luna, membuat gadis itu mendesah pelan. "Aku tahu ini berat. Tapi percayalah, ini demi masa depan kita. Aku tidak ingin selamanya jadi pria yang hanya bisa menikmati kemewahan dari uang suamimu."
Luna merasakan hatinya mencelos mendengar kalimat terakhir itu. Arjuna benar. Selama dua tahun ini, semua kemewahan yang mereka nikmati, apartemen mewah tempat Arjuna tinggal, mobil sport yang dikendarainya, liburan-liburan mewah seperti sekarang ini, semuanya dibayar dengan uang Samudra. Dan Arjuna, meski menikmatinya, tampaknya merasa terbebani.
"Jun," bisik Luna sambil menyentuh wajah pria yang dicintainya itu, "kamu merasa terbebani selama ini?"
Arjuna mengangguk perlahan, ekspresinya terlihat sedih dan lelah. "Sangat, sayang. Aku mencintaimu, tapi aku juga punya harga diri sebagai seorang pria. Aku ingin membuktikan pada dunia bahwa aku layak untukmu, bukan karena aku tampan atau karena aku pandai memuaskanmu di ranjang, tapi karena aku bisa membuatmu bahagia dengan kemampuanku sendiri."
Perkataan Arjuna membuat Luna semakin jatuh cinta. Pria ini tidak hanya tampan dan pandai bermesraan, tapi juga punya ambisi dan harga diri. Sangat berbeda dengan Samudra yang meski sukses dan kaya, tapi dingin dan tidak romantis.
"Baiklah, Jun," kata Luna dengan penuh keyakinan. "Aku akan minta uang itu dari Samudra. Lima ratus juta untuk masa depan kita."
Mata Arjuna berbinar senang. Dia mengangkat Luna dan memutar-mutarnya di udara, membuat gadis itu tertawa riang. "Benarkah, sayang? Kamu mau melakukan itu untukku?"
"Untuk kita, Jun. Untuk masa depan kita," koreksi Luna sambil mengecup bibir Arjuna dengan penuh gairah.
Mereka berciuman panas, tangan-tangan yang sudah saling mengenal mulai mengeksplorasi tubuh masing-masing. Namun tiba-tiba Luna menghentikan ciuman mereka.
"Tapi Jun," kata Luna sambil menatap mata Arjuna dengan serius, "bagaimana caranya aku minta uang sebanyak itu dari Samudra? Dia mungkin curiga kalau aku minta uang tanpa alasan yang jelas."
Arjuna terdiam sejenak, otaknya yang cerdas mulai bekerja. Selama dua tahun menjalin hubungan dengan Luna, dia sudah mempelajari karakter Samudra dari cerita-cerita Luna. Pria itu memang kaya dan dermawan pada istri yang tidak dicintainya itu, tapi bukan berarti mudah dibodohi.
"Hmm," gumam Arjuna sambil mengelus dagu. "Kamu bilang dia sakit, kan? Dan kamu malah pergi liburan ke sini?"
Luna mengangguk, tanpa merasa bersalah sedikitpun. "Iya, dia demam tinggi. Tapi aku sudah capek bermain peran jadi istri yang peduli. Lagipula, ada Senja yang merawatnya."
"Senja?" tanya Arjuna dengan alis terangkat.
"Adik tiriku. Dia kerja jadi asisten rumah tangga di rumah. Gadis polos yang selalu menurut," jelas Luna dengan nada meremehkan.
Tiba-tiba mata Arjuna berbinar, seolah menemukan ide cemerlang. Senyumnya mengembang, membuat Luna penasaran.
"Kenapa kamu senyum-senyum, Jun?"
Arjuna mengecup kening Luna dengan sayang. "Aku punya ide, sayang. Bagaimana kalau kamu bilang ke Samudra bahwa kamu ingin investasi bisnis? Kamu kan pintar, pasti bisa meyakinkannya."
"Investasi bisnis?" Luna terlihat bingung. "Tapi aku tidak tahu apa-apa soal bisnis."
"Makanya," kata Arjuna sambil mengelus pipi Luna, "kamu bilang saja mau buka butik fashion atau galeri seni. Sesuatu yang cocok dengan image seorang sosialita seperti kamu. Bilang saja kamu sudah survey tempat dan butuh modal lima ratus juta untuk mulai."
Luna menatap Arjuna dengan kagum. "Jun, kamu memang pintar. Ide itu cemerlang!"
"Dan," lanjut Arjuna dengan senyum yang semakin lebar, "kalau dia menolak atau curiga, kamu bisa bermain drama. Bilang saja kamu kecewa karena dia tidak mendukung impianmu. Pria seperti Samudra pasti akan luluh kalau istrinya menangis dan kecewa."
Luna tertawa geli. "Kamu benar-benar jahat, tapi aku suka. Dengan cara itu, aku pasti bisa mendapatkan uang untuk usahamu."
"Usaha kita, sayang. Usaha kita," koreksi Arjuna sambil menarik Luna untuk berbaring kembali di atas dadanya.
Mereka terdiam sejenak, masing-masing tenggelam dalam pikiran tentang rencana yang baru saja disusun. Luna membayangkan masa depan bahagia bersama Arjuna, sementara Arjuna... well, Arjuna membayangkan lima ratus juta yang akan segera berada di tangannya.
"Jun," panggil Luna dengan suara manja, "aku tidak sabar ingin segera pulang dan bicara dengan Samudra. Semakin cepat kita dapat uang itu, semakin cepat kita bisa menikah."
Arjuna tersenyum dan membalik posisi mereka sekali lagi, kali ini dia yang berada di atas Luna. Matanya menatap dalam mata wanita yang sudah dua tahun menjadi sapi perahannya itu.
"Sebelum itu," bisik Arjuna sambil mengecup leher Luna, membuat gadis itu melenguh pelan, "mari kita nikmati malam terakhir kita di surga ini."
Tangan-tangannya mulai menjelajahi tubuh Luna yang sudah tidak asing lagi, sementara bibirnya sibuk mengecup dan menggigit kecil kulit leher yang harum itu. Luna memejamkan mata, menyerahkan diri sepenuhnya pada pria yang dicintainya.
Di luar jendela, matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, mewarnai langit Bali dengan gradasi jingga dan merah yang memukau. Suara ombak yang menghantam pantai Sanur terdengar samar, berpadu dengan desahan-desahan yang mulai terdengar dari dalam kamar suite itu.