NovelToon NovelToon
Midnight Professor

Midnight Professor

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / CEO / Beda Usia / Kaya Raya / Romansa / Sugar daddy
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author:

Siang hari, dia adalah dosen yang berkarisma. Malam hari, dia menjelma sebagai bos bar tersembunyi dengan dunia yang jauh dari kata bersih.

Selina, mahasiswinya yang keras kepala, tak sengaja masuk terlalu dalam ke sisi gelap sang dosen. Langkahnya harus hati-hati, karena bisa menjadi boomerang bagi mereka.

Keduanya terjebak dalam permainan yang mereka buat sendiri—antara rahasia, larangan, dan perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.

Bab 10: Pertarungan Sengit

“Lo ngomong apa barusan?” teriak seorang pria baju merah dengan suara parau, botol bir di tangannya, setengah terangkat, siap melayang.

“Gua bilang lo cupu! Budek lo?! balas pria berjaket hitam, wajah merah karena alkohol, dadanya manu menangang.

“Sini kalo berani—kita duel!” teriak pria baju merah lagi, beberapa temannya menahan tubuhnya agar tidak menyerang.

Kursi terjungkal, meja kecil terhantam siku, dan beberapa gelas pecah di lantai. Orang-orang sekitar mudur, beberapa menjerit, sebagian lagi malah bersorak mendukung perkelahian.

Pria baju merah tadi dengan sekuat tenaga melepas genggaman dari teman-temannya dan pukulan berhasil mendarat di rahang lawan. Suara benturan meras terdengar. Lawannya terhuyung ke belakang. Tidak ada yang menyerah, lawannya langsung membalas pukulan itu.

Raghav yang baru masuk ke dalam bar mendesis keras saat melihat kejadian itu. Dia langsung berlari ke arah kerumunan. Hal ini bukan pertama kalinya terjadi perkelahian—memang begitu awalnya sebelum balapan dan taruhan dimulai.

“Woy, woy, woy!” suara Raghav berusaha menengahi, tapi tidak ada yang mendengar. Akhirnya Raghav menyeret paksa meja, kursi lain berjatuhan, dan beberapa minuman tumpah ke lantai beserta serpihan beling gelasnya. Kerumunan makin gaduh, sebagian mundur ketakutan.

Raghav mendesah frustasi. “Lo semua kalo mau berantem, sekalian aja di bawa ke arena! Taruhan kita!” teriak Raghav, urat rahangnya menonjol.

Kedua pria tadi langsung berhentu dan bangun dari posisi adu jotod mereka. Memandang Raghav, seperti tertarik dengan tawarannya. Kerumunan yang tadi sempat terhenti, kini kembali bersorak. Memang, kata taruhan punya daya magis tersendiri di bar itu.

Sudah tidak awam bagi bar Vault 33 mengadakan taruhan dari balap motor di arena belakang bar. Biasanya kegiatan ini sengaja diadakan setiap malam kamis, tapi tidak jarang juga mereka membuka arena di saat seperti ini. Demi meredam kerugian besar di dalam bar, lebih baik menarik profit dari arena—itu kata Leonhard sang pemilik.

Salah satu pria, si baju merah, meludah ke lantai sambil mengusap darah di bibirnya. “Arena? Gua gak takut! Berapa buy-in-nya?”

Raghav menyeringai merasa berhasil mengambil alih lantai permainan. “Bar ngasih start di $200 per kepala. Lo mau nambahin, silahkan… tapi, gak bisa kurang dari itu,” ujar Raghav, nadanya tegas dan santai.

Kedua pria itu siap memberontak, tapi keduluan oleh Raghav yang menlanjutkan menjelaskan aturan main.

“Pemenang bawa pulang pot—or… uang total taruhan, if you don’t know—minus untuk bar 40%. Penonton yang mau ikut taruhan ada house fee 10%. Deal?”

Pria berjaket hitam mendengus. “Empat puluh persen? Lo pikir kita bego? Bar lo kayak lintah!”

Tangan Raghav menepuk bahu pria itu, bibirnya terangkat sedikit.

“Lintah atau bukan, tempat lo bakal berdarah di sini. Lo mau ribut gratis di jalan, silahkan. Resiko digrebek polisi bukan tanggungan gua. Tapi kalo main di arena gua, hasilnya antara lo pulang bawa duit atau pulang dengan aman—gak perlu urusan sama polisi. Bar tetep dapet bagian, kalian juga kaya. Win-win solution.”

Kedua pria itu menatap Raghav dengan nafas yang berderu-deru. Raghav paham sekali, mereka tidak setuju tapi sudah terjebak dalam perangkap yang dia buat.

Kerumunan makin heboh, ada yang sudah mengeluarkan dompet, siap bertaruh.

“Deal. Gua gak peduli. Gua bakal bikin lo nyesel pernah lahir malam ini,” desis pria baju merah sambil menunjuk pria berjaket hitam.

Dua orang kru bar langsung sigap mengawal mereka menuju arena belakang bar. Sorakan penonton mengikuti.

Arena sudah menunggu dengan suara motor yang sedang dipanaskan.

“Pastiin duit mereka masuk dulu, jangan ada yang masuk tanpa setor,” ujar Raghav pada salah satu kru bar yang membantu pemasukan uang taruhan.

“Tenang. Semua meja lewat sini.” Kru itu mengangkat kotak besi kecil, siap menampung uang taruhan.

Kerumunan di sekitar arena sudah hampir penuh, sorakan makin terdengar ramai. Pria baju merah mengangkat dagunya, menghampiri Raghav.

“Awas lo jangan kabur kalo gua menang!”

Raghav terkekeh pendek. “Ngapain kabur? Rumah gua di sini. Lagian… lo yang lagi ngutang nyawa ke tempat ini. Jadi, jangan banyak bacot!”

Pria itu langsung pergi dengan muka kesal berbarengan dengan raungan mesin motor yang sudah siap bertarung. Lampu sorot menyapu lintasan, menyoroti garis start yang sudah ditandai dengan cat putih.

Kerumunan meneriaki jagoan masing-masing. Para pembalap juga sudah siap sedia di atas motornya. Suara peluit melengking, tanda hitungan mundur dimulai.

Tiga… dua… satu…

Pertandingan dimulai.

Di pinggir arena, Raghav mengambil ponselnya dari kantong celana, menghubungin Leonhard untuk segera hadir.

“A good game tonight. Cepet kesini,” ujar Raghav di telepon, matanya tidak lepas dari lintasan.

Walaupun lintasan mereka tidak terlalu besar, tapi ada tikungan tajam yang menjadi ujian bagi para pembalap. Pria berjaket hitam masuk lebih dulu, ban belakangnya sempat selip, membuat para mendukungnya sempat panik. Untungnya dia punga refleks cepat sehingga berhasil menyeimbangkan tubuhnya kembali.

Pria berbaju merah tidak kau kalah. Dia menarik gas lebih dalam, sehingga motornya bergetar hebat, hampir kehilangan kendali.

“Anj*ng hampir aja,” sorak seorang penonton yang terlihat frustasi dengan taruhannya.

Ban depan pria berjaket hitam lebih dulu melewati garis finish, hanya terpaut setengah detik sebelum pria baju merah menyusul.

Raghav menyeringai di pinggir arena, menikmati kemenangan sekaligus kegagalan pria itu.

Pria berbaju merah tidak terima, dia membanting helm ke jalan, kemudian melayangkan tonjokan ke muka pria berjaket hitam. Kerumunan mulai ramai lagi. Raghav cepat-cepat berlari untuk meleraikan, tapi keduluan Leonhard yang ternyata sudah hadir di sana.

“Stop!” teriak Leonhard. Suaranya menggema, berat, dan berwibawa. Pria itu sudah siap melempar pukulannya terhenti dengan tangan yang masih melayang di udara. Semua orang tahu siapa yang baru saja datang.

Langkah Leonhard terdengar keras menghantap aspal. Sorot matanya tajam, wajah tanpa ekspresinya mengubah atmosfer semakin dingin.

“Di tempat gua,” suaranya makin rendah dan tegas. “Cuma boleh adu skill, bukan adu otot.”

“Timing lo selalu pas, bos,” gumam Raghav menyeringai—merasa terbantu dengan kehadiran Leonhard.

“Kalo lo—” ujar Leonhard sambil menunjuk pria berbaju merah dengan tajam. Tatapannya menusuk siapapun yang menatap. “—belom puas, bisa tanding lagi sama racer di sini.”

Raghav merasa dipanggil, kemudian mengedepankan diri. Berdiri tegak di samping Leonhard. Pria itu menatap Leonhard dan Raghav secara bergantian. Dadanya naik-turun. Matanya masih berapi-api.

“Masih punya duit gak? Buat taruhan sama gua?” ejek Raghav terhadap pria baju merah itu yang sedang menatap benci.

“Gua gak peduli sama duit. Gua pasti menang lawan orang kayak lo,” ucapnya sambil meludah.

“Well… taruhan di terima. Lo bilang gak peduli sama duit… oke. Gua taro $1000. Berani?” tantang Raghav.

“Deal.”

“Eits… belum selesai,” ucap Raghav ketika pria itu mau siap-siap. “Kali ini ketentuannya beda,” lanjutnya.

Pria itu menaikkan satu alisnya, menunggu Raghav menjelaskan kembali peraturan balap.

“Yang menang dapet 80%.”

Lintah—inilah kenapa mereka disebut begitu. Pasti ada trik dari setiap permainannya, memastikan bar menyedot lebih banyak uang dari penantang.

Mendengar itu, Raghav hampir mendapat tonjokan di mukanya, untung saja langsung ditangkas Leonhard.

“Take it. Or leave it.” Suara Leonhard berat dan mengancam.

Sorakan perlahan memudar. Aura Leonhard jelas berbeda—dingin, tajam, dan mendominasi. Tatapannya menusik pria baju merah membuatnya menelan ludah.

“Oke. Deal.”

Kerumunan riuh di arena belakang, sembgara di depan bar justru lebih tenang. Lampu gantung redum menerangi meja bar.

Di saat bersamaan, Selina melangkah masuk, alis berkerut. Ini sudah jam sebelas malam tapi kenapa bar masih sepi. Biasa jam segini adalah jam rawan pengunjung.

Ia menyusuri meja-meja yang berantakan. “What the f*ck happened in here?” gumamnya saat melihat meja dan kursi yang tergeletak, serta minuman dan sepihan gelas yang menyebar di lantai.

Matanya melirik ke setiap sudut ruangan, hanya ada satu orang yang sibuk dengan ponselnya. Duduk manis menikmati minumannya tanpa bersuara—wajahnya juga tertutup topi hoodie yang dikenakan. Selina membiarkannya, kembali mengelilingi bar.

Saat berbalik ke arah lorong, matanya menangkap sesuatu. Pintu belakang bar terbuka—yang biasanya selalu terkunci rapat—kali inj terbuka sedikit. Cahaya lampu dari luar merembes masuk lewat celah sempit itu. Derungan mesin motor juga semakin jelas terdengar.

Selina semakin penasaran, dia mengingip lebih dalam. Pandangannya tertutup keramaian penonton yang berdesakan dan sorak yang keras tiap kali suara mesin meraung.

“What is this…” gumam Selina, melangkah keluar dari bar.

“Baru di sini? Hm?” suara berat mengejutkan Selina. Dia hampir terhuyung kebelakang. Dia menatap pria di belakangnya. Itu pria yang tadi, tapi dia memakai masker hitam sehingga Selina tidak bisa mengenali wajahnya.

“Welcome to the real Vault 33,” ujar pria misterius itu sambil mengedipkan satu matanya.

Selina menatapnya tidak percaya. “Real Vault 33? Maksud lo…” matanya melirik lagi ke arah arena, sorakan penonton, motor-motor yang melaju gila.

Pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit, menurunkan suaranya. “Ini sisi yang gak semua orang bisa liat. Lo beruntung… atu sial—tergantung pandangan lo gimana.”

Selina menelan ludah, bulu kuduknya berdiri. Jadi… ini yang selama ini dia cari? Rahasia di balik seorang Leonhard?

“Wait… jadi rumor geng motor itu… bener?” tanya Selina semakin penasaran.

Pria itu ketawa kecil. “Lebih tepatnya balap liar,” ujarnya singkat.

Selina mengerutkan keningnya. “Udah…? Balapan liar doang?” suaranya meninggi, rada ingin tahunya semakin bergejolak.

Pria itu menggeleng pelan. “Mereka taruhan juga,”

Selina menggigit bibir bawahnya. Jantungnya berdebar semangat mencari informasi ini. “Siapa yang ngatur semua ini?”

“Kalo lo cukup lama di sini… nanti lo tau sendiri,” kata pria itu sambil menatap Selina lama.

“Kenapao jawabnya muter-muter, sih? Kan gua cuma nanya,” desis Selina ketika tidak langsunv mendapatkan jawaban yang diinginkan.

Pria itu terkekeh, suaranya sedikit cempreng, nyaris menyebalkan. “Curiosity will get you in trouble, sweatheart.”

“Then let me be in trouble. I don’t give a f*ck about how dangerous it is for me,” tukas Selina, matanya berbinar ingin tahu.

Pria itu mendengus singkat, lalu melangkah ke arah pintu bar.

“Ayo. Di sini terlalu ramai. Lo mau tau semuanya? Kita ngobrol di dalam.”

Selina terdiam ragu. Dia masih belum bisa melihat wajahnya, dan dia juga orang yang pertama kali dia temui di bar ini. Selina harus tetap berhati-hati, tapi rasa penasarannya samgat kuat yang membuatnya mengikuti langkah pria misterius itu.

Pria itu duduk santai tempatnya tadi. Mejanya masih tersedia beberapa minuman yang belum disentuh. “Duduk. Gua kasih lo potongan puzzle, sisanga lo cari tau sendiri.”

Selina mengangguk pelan. “So… siapa yang ngatur balapan itu?”

Pria itu menyesap minumannya di gelas yang baru belum tersentuh itu. “The owner… well, sebenarnya yang benar-benar megang area arena itu raja lintasan di sini.”

Alis Selina terangkat satu. “Raja lintasan?”

“Raghav… dia raja lintasan Vault 33,” jawabnya sambil mengangguk pelan.

Selina sedikit menganga mendengar fakta dari seorang Raghav. Kalau soal Leonhard, Selina sudah pasti menduganya. Tapi… Raghav? Wow… fakta baru yang menarik.

“Lo keliatan gak terlalu kaget pas gua bilang ownernya terlibat,” ujar pria itu, menatap Selina dalam. Selina hanya bisa melihat matanya yang juga hampir tertutup rambutnya.

Selina terkekeh. “Gua udah curiga dari awal, so… it’s not really surprising, tapi Raghav—damn. I wish I knew.”

Pria itu tersenyum, Selina bisa melihat dari pi ggir matanya yang terangkat.

“Wanna drink?” tawar pria itu. Selina melihat gelas berisikan sebuah cocktail yang didorong kearahnya. Dia tidak bisa menerima minuman dari orang asing.

“Oh. Ini baru kok. Tenang aja,” ujar pria itu. Selina masih menimbang-nimbang. Dia tau harus berhati-hati dengan semua orang yanga da di bar ini, sekalipun mereka pelanggan tetap.

“Eh… gak—”

“Tadi aku meminta Prima buatkan minuman ini… resep terbaru,” katanya lagi.

Selina memiringkan kepalanya. Prima? Dia ada di sini? Tapi kok tidak kelihatan tadi? Atau… dia juga menyaksikan balapan itu?

Gelas itu semakin didorong mendekat ke arah Selina. Tatapan matanya seperti meyakinkan…

Kalau dia menyebut nama Prima… berarti dia salah satu orang dalam, juga?

“Will it be fine?” batin Selina.

Setelah beberapa detik menatap minuman itu, akhirnya Selina terima. “Alright, then… thanks.”

Selina meminum cocktail itu—rasa manis dan hint pahit dari alkohol mengalir di tenggorokannya. Mereka pun melanjutkan obrolan tidak penting tengang bar ini.

Beberapa menit setelah meminum cocktail itu, Selina merasa aneh pada tubuhnya—rasanya lebih panas, kepalanya sepeti berputar, dan… tubuh bagian bawahnya terasa aneh.

“Are you okay?” tanya pria itu.

Selina menunjukkan senyum paksa. Tangannya menggenggam erat gelas ditangannya, sementara tangannya berdegup kencang tak beraturan. Selina menghela nafas, menegakkan tubuh di kursi bar, tapi bukannya membaik, rasa aneh itu semakin menekan dada dan tubuh bagian bawahnya.

“Wait a second… I think… aku harus ke kamar kecil.” Tanpa basa-basi Selina langsung berlari menuju toilet. Dia sudah tidak tahan lagi. Semua bagian tubuhnya terasa sesnsitif. Dia butuh sesuatu untuk memuaskannya. Tapi… rasanya terlalu sakit.

Selina menutup pintu toilet dan mengincinya—akal sehatnya masih jalan agar pria itu tidak membuntutinya masuk. Ah… memang tidak seharusnya dia menerima minuman itu.

Punggungnya menempel di dinding toilet. Nafasnya terengah, dadanya naik-turun cepat. Rasa panas tak wajar itu terus menjalar di tubuhnya. Dia sesekali mengerang kesakitan.

Dia melempar diri ke arah wastafel untuk meraup mukanya dengan air segar. Saat melihat pantulan dirinya di cermin, pupilnya melebar, wajahnya pucat, peluh dingin menetes di lehernya.

“Ini gak bener… it wasn’t alcohol,” gumam Selina.

Tangannya gemetar, meraih ponsel di dalam tas kecil yang daritadi dia bawa. Untung saja dia tidak meninggalkan tas itu di luar. Dia ingin menelepon seseorang—siapapun yanv pertama muncul di kotaknya.

Leonhard.

Selina mendesah pelan. “F*uck it!”

Jarinya menekan nomor Leonhard, menunggu deting itu diangkat. Tak perlu waktu lama, Leonhard mengangkat telepon itu.

“Leon… p-please…” desah Selina, tidak kuat untuk bicara. “…h-help… aku di… to—toilet…”

Dengan begitu, tubuhnya jatuh ke lantai, meringkuk menahan sakit dan ngilu dari dalam tubuhnya.

Selina butuh pelepasan.

1
Acap Amir
Keren abis
Seraphina: terima kasih kak🥺
total 1 replies
Desi Natalia
Jalan ceritanya bikin penasaran
Seraphina: terima kasih❤️ pantentung terus ya kak🥺
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!