NovelToon NovelToon
"Blade Of Ashenlight"

"Blade Of Ashenlight"

Status: sedang berlangsung
Genre:Dunia Lain
Popularitas:512
Nilai: 5
Nama Author: stells

Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Api Di Meja Lord

Pagi itu, aula besar Kastil Harren dipenuhi bangsawan yang dipanggil terburu-buru. Wajah mereka lelah, sebagian masih mabuk anggur malam sebelumnya. Tapi tatapan mereka berubah saat melihat Edrick masuk bersama Selene dan Alden membawa kain hitam yang meneteskan darah.

Lord Harren, duduk di kursi tinggi, mengerutkan dahi. “Apa arti semua ini, Pangeran? Mengganggu dewan di pagi buta… dengan darah di lantai rumahku?”

Edrick melempar kain itu ke tengah meja. Dari dalamnya, terguling belati hitam yang berasap tipis, masih membawa aura dingin.

Ruangan menjadi hening.

“Ini,” kata Edrick, suaranya bergema, “adalah senjata bayangan. Digunakan dalam ritual darah di bawah tanah kastilmu. Aku dan pengawalku menghentikan mereka tadi malam.”

Beberapa bangsawan berbisik kaget. Ada yang menutup hidung, ada yang menatap curiga.

Lord Harren berdiri, wajahnya merah padam. “Kau menuduh ada ritual gelap di bawah tanahku? Omong kosong! Kalau benar, bagaimana aku tidak mengetahuinya?”

Edrick melangkah maju, menatap Harren lurus di mata. “Karena kau sibuk berpolitik di atas meja, sementara bayangan menyusup lewat dinding. Malrik tidak butuh izinmu untuk menguasai Averland. Ia hanya butuh kelemahanmu.”

Suara Edrick membuat ruangan menegang.

Selene meletakkan gulungan perkamen di meja simbol lingkaran darah yang sempat ia salin sebelum hancur. “Ini bukan sihir bangsawan. Ini sihir kegelapan. Kalau tidak kami hentikan, sesuatu sudah lahir di bawah tanahmu.”

Sir Alden menepuk pedangnya. “Dan malam tadi, aku sendiri melihat seorang pelayan berbelati racun mencoba membunuh kami. Dia mati sebelum sempat bicara. Itu cara bayangan bekerja.”

Bangsawan berteriak-teriak. Ada yang memaki, ada yang ketakutan.

Seorang lord tua gemetar. “Kalau Malrik sudah bisa masuk sejauh ini… kita semua dalam bahaya.”

Seorang lainnya menatap Edrick. “Dan hanya pedang itu yang bisa menghentikan mereka.”

Semua mata beralih ke Ashenlight, yang bersandar di meja, bergetar pelan seolah mendengar.

Lord Harren menggertakkan gigi, jelas terdesak. “Jadi apa yang kau mau, Hale? Aku menyerahkan seluruh Averland padamu?”

Edrick menggeleng, suaranya tenang tapi tajam. “Aku tidak meminta tahtamu. Aku meminta kesetiaanmu. Kalau bayangan berhasil menembus sini, tak ada kursi lord yang akan tersisa. Kau bisa pilih sekarang: berdiri bersama api biru… atau jadi abu pertama yang dimakan kegelapan.”

Hening.

Lalu perlahan, bangsawan satu per satu berdiri. Ada yang ragu, ada yang mantap. Mereka menunduk ke arah Edrick.

Akhirnya, Lord Harren sendiri terdiam lama. Lalu ia menarik napas, menatap pangeran itu. “Kalau benar api biru adalah satu-satunya cahaya… maka Harren tidak akan menolaknya.”

Ia mengangkat pialanya tinggi. “Untuk Hale, untuk api biru. Mulai hari ini, utara tidak lagi buta pada ancaman bayangan.”

Sorak bergema, meski masih bercampur takut.

Selene berbisik pada Edrick, “Kau baru saja mengikat utara padamu. Tapi ingat, Harren bukan sahabat. Dia hanya melihatmu sebagai perisai. Saat api padam sedikit saja, dia akan melemparmu ke gelap.”

Edrick menatap para bangsawan yang kini menunduk, lalu menggenggam Ashenlight. “Kalau begitu, aku tidak boleh membiarkan api ini padam. Tidak malam ini, tidak besok, tidak sampai Malrik runtuh.”

Jalan utama kota dipenuhi rakyat yang berdesakan: petani, pandai besi, anak-anak kecil yang duduk di bahu ayah mereka. Mereka semua menunggu melihat sosok yang kabarnya telah menyalakan api biru untuk melawan bayangan.

Bendera keluarga Harren berkibar, berdampingan dengan kain biru yang baru dijahit—lambang api menyala.

Di balkon kastil, Lord Harren berdiri dengan pakaian kebesaran. Di sampingnya, Edrick melangkah keluar bersama Selene dan Sir Alden.

Sorak langsung meledak.

“Api biru! Api biru!”

Edrick mengangkat Ashenlight. Cahaya biru menyembur, menari di udara, membuat rakyat bersorak lebih keras.

Selene berbisik pelan. “Kau tahu mereka tidak hanya bersorak padamu. Mereka bersorak pada harapan. Kalau api ini padam, hatinya pun padam.”

Edrick menatap wajah-wajah di bawah: mata yang lapar, tubuh yang kurus, tapi bibir mereka tersenyum. “Kalau begitu, aku akan membuat api ini jadi makanan mereka.”

Parade dimulai. Edrick menunggang kuda putih, berjalan perlahan di jalan utama. Anak-anak berlari di samping, melambaikan tangan. Wanita-wanita melempar bunga.

Sir Alden menunggang di sebelahnya, waspada, matanya menyapu atap rumah. “Kerumunan seperti ini… tempat sempurna untuk penyergapan.”

Selene, duduk di belakang Edrick, merasakan getaran sihir. “Aku merasakan… dingin. Bayangan ada di antara mereka.”

Benar saja. Dari atap rumah, panah meluncur, hitam dan berasap.

Refleks, Edrick mengangkat pedangnya. Api biru meledak, panah itu terbakar di udara sebelum menyentuhnya.

Kerumunan berteriak panik.

Dari balik pasar, tiga sosok berjubah hitam muncul, menghunus belati yang bergetar dengan aura kegelapan. Mereka berlari menuju kereta parade.

Sir Alden turun dari kudanya, menebas satu dengan tebasan keras, tubuh musuh terhempas ke dinding batu.

Selene menyiapkan mantra, petir kecil melesat dari tangannya, menghantam dada salah satu penyerang. Tubuhnya kaku sebelum jatuh.

Tapi yang terakhir berhasil mendekat ke Edrick, melompat ke atas kudanya dengan belati mengarah ke leher.

Edrick menoleh cepat. Ashenlight bergerak seperti kilat, menebas diagonal.

Belati hitam terbelah, tubuh penyerang terbakar api biru, jeritannya tenggelam di tengah sorak dan panik rakyat.

Api biru menyala lebih terang, melahap bayangan yang tersisa.

Kerumunan yang sempat kacau kini bersorak lebih keras, sebagian berlutut di tanah, sebagian menangis.

“Api biru menyelamatkan kita!”

Lord Harren, menyaksikan dari balkon, wajahnya campur aduk antara kagum dan takut. Ia bertepuk tangan pelan, terpaksa ikut mengakui kekuatan yang baru saja menyelamatkan kotanya.

Selene mendekat ke Edrick, berbisik dengan nada waspada. “Bayangan sudah cukup berani menyerang di depan rakyat. Itu berarti mereka tidak lagi bersembunyi. Mereka menantang terang secara terbuka.”

Edrick menurunkan pedangnya perlahan, memandang lautan rakyat yang menatapnya dengan harapan.

“Kalau begitu, biarlah mereka tahu,” katanya lirih. “Api biru tidak hanya bersinar di medan perang. Api ini bersinar di setiap jalan, di setiap rumah, di hati setiap orang yang menolak kegelapan.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!