NovelToon NovelToon
Petaka Jelangkung

Petaka Jelangkung

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin / TKP / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: lirien

Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.

Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.

Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ketindihan

Di Jakarta.

Ratna melangkah lesu ke atap kos. Tempat itu memang biasa dipakai penghuni untuk menjemur pakaian. Matahari sudah condong ke barat, pertanda waktu Ashar kian dekat. Ia harus segera mengangkat jemuran sebelum udara makin lembap.

Satu per satu, baju ia raih dari tali yang melintang. Di antara kain yang berkibar diterpa angin, beberapa seprai menggantung panjang, menutupi pandangannya.

Saat melirik ke sisi kanan, pandangannya tertumbuk pada sosok perempuan yang berdiri di balik seprai. Ratna, dengan sifatnya yang pendiam, memilih untuk bergegas menyelesaikan urusan ketimbang harus berbasa-basi. Namun, langkah tangannya terhenti ketika tanpa disadari sosok itu tiba-tiba tampak berdiri lebih dekat. Tidak ada suara langkah, seolah ia meluncur begitu saja.

“Siang bolong begini…,” desis Ratna, bulu kuduknya meremang. Ia sadar betul, sosok itu bukanlah manusia biasa.

Dengan jantung berdegup kencang, Ratna mempercepat gerakan tangannya. Begitu semua pakaian terkumpul, ia buru-buru melangkah pergi. Namun, rasa dingin menjalar di punggungnya, seakan-akan sorot mata dari belakang terus menempel padanya.

Samar-samar, suara lirih terdengar, menusuk relung telinga.

“Temani aku… aku takut pergi sendirian….”

Ratna pura-pura tak mendengar. Ia mempercepat langkah hingga akhirnya berhasil masuk ke kamar kos dengan napas terengah. “Hush… capek-capek…!!” gumamnya lirih, mencoba mengusir aura aneh yang masih membekas. Jemuran segera ia letakkan di atas kasur.

Berusaha mengalihkan pikiran, Ratna mulai melipat baju dan menatanya ke dalam lemari. Meski hari itu libur sekolah, bukan berarti ia bisa bermalas-malasan. Sejak pagi ia sudah membereskan kamar, dan kini waktunya menyiapkan buku-buku untuk pelajaran esok hari.

Tangannya tak sengaja menyentuh sebuah buku yang ia bawa pulang dari hutan. Buku itu terselip di antara modul ajar dan buku paket. Ratna terdiam, lalu menarik kursi belajar dan duduk. Ia membuka halaman pertama—halaman yang kemarin sudah ia isi dengan unek-unek tentang geng Kevin yang selalu saja mengusilinya.

Ratna meraih pena dari wadah di atas meja. Demi melepas lelah setelah seharian beres-beres, ia kembali menuliskan sesuatu. Kali ini sebuah harapan singkat: semoga hari-harinya berjalan baik meski kerap menjadi sasaran kejahilan Kevin.

Matanya kemudian tertumbuk pada sudut kertas. Ada guratan tipis menyerupai akar. Merasa aneh sekaligus tertarik, ia menebalkan garis itu, lalu menambahkan hiasan berupa bunga, daun, dan kupu-kupu. Sekilas tampak indah, seakan memberi nuansa hidup pada halaman tersebut.

Ratna berniat mengambil spidol warna dari tempat pensil. Namun, tak sengaja tangannya tergores ujung cutter yang entah sejak kapan menonjol keluar.

“Yaah… berdarah,” desisnya kaget, menatap jari yang kini mengeluarkan titik merah segar.

Darah dari sisi telapak tangan Ratna menetes, jatuh tepat mengenai halaman buku. Refleks ia mengusapnya, namun noda merah itu tidak sepenuhnya hilang.

“Jadi gelap begini,” gumam Ratna lirih. Ia merogoh laci meja belajar dan menemukan selembar stiker berbentuk daun maple. Dengan hati-hati, ia menempelkannya di atas noda, menutupi bekas yang tak bisa ia hapus. Setidaknya halaman itu tetap utuh. Ratna tak pernah tega merobek atau merusak sebuah buku.

Ia lalu mencari plester untuk menutup lukanya. Saat membalut jari yang berdarah, sejenak ia termenung. Sayatan kecil itu terasa sepele dibanding perih kehidupannya. Hidup tanpa orang tua sejak usia belia membuat hatinya sering kali terasa kosong. Memang masih ada Tante Ninik, tapi perempuan itu hanya datang menengok sebulan sekali. Sisanya, Ratna lebih banyak tenggelam dalam kesendirian.

Ditambah lagi nasibnya yang kerap dijahili Kevin dan teman-temannya, seakan-akan dunia ingin membuktikan bahwa ia hanyalah pecundang. Pecundang yang ketakutan pada apa pun—bahkan terhadap makhluk-makhluk gaib yang sering menampakkan diri tanpa permisi.

Ratna sering lelah dengan kemampuan aneh yang dimilikinya. Justru karena itu, ia dipandang berbeda. Bahkan pernah ada yang tega melabelinya sebagai “anak setan” hanya karena tubuhnya mudah dirasuki, atau karena kebiasaannya berbicara sendiri saat berada dalam kondisi tertentu.

Ia menggeleng cepat, berusaha mengusir lamunan. Setiap kali pikirannya melayang terlalu jauh, ia selalu terjebak pada pertanyaan-pertanyaan getir tentang makna keberadaannya. Daripada terus dihantui rasa hampa, Ratna memilih beranjak dari kamar kos. Ia berniat mencari makan dan membeli sedikit camilan untuk menemani malam.

Begitu ia keluar, ruangan itu kembali tenggelam dalam sepi. Hanya buku di atas meja yang masih terbuka, seolah menunggu sesuatu. Angin berdesir pelan, membalikkan sedikit halamannya. Dan noda darah Ratna—bagian yang tak tertutupi stiker—tiba-tiba lenyap, seperti terserap oleh buku itu.

......................

Keesokan harinya, Ratna melangkah pelan ketika memasuki area SMK BINA KARYA. Tatapannya waspada, mencari-cari sosok Kevin agar bisa segera menghindar. Harapannya sederhana: ia ingin selamat, tidak dijahili lagi. Namun, keinginannya itu sulit terwujud. Baru saja ia berlari menuju pintu kelas, Kevin sudah lebih dulu menghadangnya.

“Gimana lu bisa keluar kemarin?”

Pertanyaan itu membuat Ratna terdiam. Seakan-akan Kevin berhak menentukan nasibnya. Padahal, apakah Ratna harus patuh pada ucapannya untuk bermalam di sekolah? Dalam hati, ia ingin sekali melawan, ingin menumpahkan protesnya. Sayangnya, keberanian itu tak kunjung muncul.

“Ada Pak Warjo,” jawab Ratna lirih.

“Terus lu bilang kalau kita yang ngurung lu di kelas bawah?” sentak Bobi dengan suara meninggi.

“Enggak,” Ratna buru-buru menggeleng.

“Awas aja kalau lu ngadu yang enggak-enggak,” ancam Kevin, tatapannya menusuk.

“Palingan dia ngadunya sama hantu, Kev,” sela Agam sambil terkekeh. Kevin menoleh cepat, menatapnya dengan pandangan memicing. Ia tidak tahu apakah Agam sedang bercanda atau benar-benar percaya.

“Hantu apaan? Lu beneran percaya, ni anak bisa lihat setan? Carmuk doang, paling. Mana ada orang kesurupan? Yang ada juga orang stres,” sahut Kevin meremehkan.

“Eh, Kev… ada Pak Agus!” bisik Bobi sambil menepuk bahunya. Seketika ketiga lelaki itu pura-pura tenang dan melenggang pergi.

Ratna masih terpaku di tempat, lalu menunduk sopan menyapa Pak Agus yang baru melintas. Guru itu hanya membalas dengan senyum tipis, sebelum melanjutkan langkahnya menuju ruang guru. Ratna sempat heran melihat wajahnya yang tampak murung, seolah sedang menyimpan beban berat.

Sesampainya di ruang guru yang masih sepi, Pak Agus duduk termenung di kursinya. Pikirannya berkelebat pada mimpi yang dialaminya semalam. Dalam tidurnya, ia mendapati dirinya berjalan sendirian menapaki jalur Gunung Merbabu. Mimpi itu datang berulang, bahkan setiap kali ia terbangun dan kembali terlelap. Namun yang paling menakutkan adalah ketika ia merasa ketindihan.

Seluruh tubuhnya mendadak kaku, tak bisa bergerak sedikit pun. Hanya matanya yang bisa bergulir gelisah ke kanan dan kiri. Rasa takut itu seakan menebar aroma yang memanggil sesuatu untuk datang. Dan benar saja, ia menyaksikan sosok wanita mengerikan merayap keluar dari sisi lemari baju. Perlahan, perempuan itu memanjat ke atas ranjang. Mulutnya yang hitam pekat terbuka, dan dari sana terdengar bisikan lirih mengerikan.

“Gunung Merbabu… Gunung Merbabu…”

Pak Agus tercekat mengingat kejadian itu. Kini pikirannya kacau: apakah ada sesuatu yang tertinggal di gunung itu?

Lamunannya buyar ketika seseorang masuk ke ruang guru. Anehnya, orang itu tidak menyapanya, hanya berjalan menuju jendela seolah hendak mengambil sesuatu. Pak Agus yang merasa terusik akhirnya menoleh.

“Gunung Merbabu… Gunung Merbabu…”

Suara itu membuat darahnya berdesir. Saat sosok tersebut menoleh, jantung Pak Agus seakan terhenti. Tidak salah lagi—itulah perempuan yang menampakkan diri padanya semalam. Ia terkikik, memperlihatkan deretan gigi runcing yang berlumuran darah.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!