Mati sebelum kematian, itulah yang dirasakan oleh Jeno Urias, pria usia 43 tahun yang sudah lelah dengan hidupnya. keinginannya hanya satu, mati secara normal dan menyatu dengan semesta.
Namun, Sang Pencipta tidak menghendakinya, jiwa Jeno Urias ditarik, dipindahkan ke dunia lain, Dunia Atherion, dunia yang hanya mengenal kekuatan sihir dan pedang. Dunia kekacauan yang menjadi ladang arogansi para dewa.
Kehadiran Jeno Urias untuk meledakkan kepala para dewa cahaya dan kegelapan. Namun, apakah Jeno Urias sebagai manusia biasa mampu melakukannya? Menentang kekuasaan dan kekuatan para dewa adalah hal yang MUSTAHIL bagi manusia seperti Jeno.
Tapi, Sang Pencipta menghendaki Jeno sebagai sosok legenda di masa depan. Ia mendapatkan berkah sistem yang tidak dimiliki oleh siapa pun.
Perjalanan panjang Jeno pun dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ex_yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Tawaran Emas dan Tantangan.
Bab 10. Tawaran Emas dan Tantangan.
Cahaya senja menembus jendela kaca patri ruang kerja Justus, menciptakan prisma warna-warni yang menari di lantai marmer. Namun, keindahan itu kontras dengan ketegangan yang menggantung di udara seperti kabut beracun. Dalam ruangan yang dipenuhi aroma parchment kuno dan lilin lebah, empat sosok duduk dalam formasi yang mencerminkan hierarki kekuasaan dan konflik yang akan datang.
Justus, ketua Serikat Petualang Kota Velden, duduk di kursi kebesarannya yang terbuat dari kayu ironwood berusia tiga abad. Jari-jarinya yang kasar mengetuk-ngetuk meja dengan ritme yang menunjukkan kegelisahan. Mata cokelatnya yang tajam bergantian menatap dua sosok yang duduk berseberangan, seakan dia menyaksikan pertarungan naga melawan phoenix.
Di sebelah kanan, Amelia Silverleaf duduk dengan postur yang mencerminkan keanggunan aristokrat tinggi. Gaun sutra biru sapphire-nya mengalir seperti air terjun, dihiasi bordir benang emas yang membentuk pola rune kuno. Rambut platinum-nya yang berkilau seperti moonlight ditata dalam sanggul elegan, memperlihatkan telinga panjang khas bangsawan elf. Namun, yang paling mencolok adalah mata biru safir-nya yang berpendar dengan kekuatan magis.
Berseberangan dengan mereka berdua, Jeno Urias duduk dengan sikap yang kontras total. Mantel kulit rusa yang usang menutupi tubuhnya yang atletis, sementara sepatu bot kulit menunjukkan kehidupan yang keras. Rambut hitam legam-nya yang berantakan jatuh menutupi sebagian wajahnya, namun tidak bisa menyembunyikan tatapan mata yang tajam seperti pisau obsidian. Ada sesuatu yang primordial dalam caranya duduknya, seperti predator yang sedang beristirahat, siap melompat kapan saja.
Rinka, gadis Beastkin Darewolf, duduk gelisah di samping Jeno. Telinga serigala-nya bergerak-gerak menunjukkan ketegangan, sementara ekor berbulu peraknya meliuk-liuk dengan cemas. Insting hewaninya berteriak bahwa dia berada di tengah-tengah dua kekuatan yang bisa menghancurkan kota ini jika bentrok.
Keheningan dipecahkan oleh suara Amelia yang dingin seperti angin musim dingin di puncak gunung. "Tidak mungkin seseorang yang mengaku berasal dari hutan terpencil bisa membunuh Troll."
Setiap kata yang keluar dari mulutnya diiringi oleh aura magis yang samar, tanda bahwa kekuatan sihir tingkat tinggi sedang bergolak di dalam tubuhnya. Mata biru safir-nya menyipit, menganalisis setiap gerakan mikro dari wajah Jeno, mencari celah kebohongan.
"Pakaian itu..." dia melanjutkan sambil menunjuk mantel Jeno, "kualitas jahitannya terlalu bagus untuk seorang yang tinggal di hutan. Sepatu bot-mu masih memiliki sihir perlindungan yang samar. Dan cara kau bergerak... itu bukan gerakan seseorang yang hidup sendirian."
Jeno merasakan setiap kata tuduhan itu seperti panah yang mengarah ke jantungnya. Namun, wajahnya tetap tenang, hasil dari latihan mengendalikan emosi yang diajarkan sistem dalam situasi kritis. Dia mengangkat kepalanya, membalas tatapan tajam Amelia dengan ketenangan yang hampir provokatif.
"Aku tidak pernah keluar dari Lembah Tabir Keabadian selama bertahun-tahun," katanya dengan suara yang dalam dan tenang. "Pakaian ini memang milik almarhum ayahku. Beliau adalah seorang petualang yang pensiun sebelum aku lahir. Sepatu ini pun peninggalan keluarga yang aku rawat dengan baik."
Dia berdiri perlahan, gerakan yang fluid dan penuh kontrol. "Jika kau meragukan kemampuanku, mungkin itu karena dunia luarmu yang penuh kemewahan... membuatmu lupa bahwa kekuatan sejati bisa lahir dari kesengsaraan dan isolasi."
Rinka, yang tidak tahan melihat Jeno dituding, melompat dari kursinya. Matanya yang berwarna amber berkilat dengan amarah yang jarang terlihat dari seorang gadis seusia dia.
"Ma-maaf!" serunya dengan suara yang bergetar karena emosi. "Kalau bukan karena Jeno, aku dan seluruh tim ekspedisiku sudah menjadi makanan Troll tadi pagi! Aku melihat sendiri bagaimana dia bertarung dengan keberanian yang tak pernah kulihat dari siapapun!"
Dia menunjuk Jeno dengan gerakan yang dramatis. "Dia menyelamatkan hidup kami tanpa mengharapkan imbalan apapun. Aku mengajaknya ke sini karena dia pantas menjadi petualang resmi, bukan untuk diinterogasi seperti penjahat!"
Justus, yang selama ini diam memperhatikan, akhirnya angkat bicara. Suaranya yang berat dan berwibawa memenuhi ruangan. "Ras Darewolf terkenal tidak bisa berbohong karena ikatan spiritual mereka dengan alam. Jika Rinka berkata demikian, maka aku cenderung percaya."
Dia menatap Amelia dengan tatapan yang menunjukkan otoritas. "Milady, dengan segala hormat, tuduhan tanpa bukti konkret tidak akan membawa kita ke mana-mana."
Amelia tidak terpengaruh. Jika ada yang bisa menggoyahkan keyakinannya, itu pasti bukan kata-kata. Sebagai Penyihir Agung yang telah melewati ratusan pertempuran dan intrik politik, dia tahu betul bahwa kebenaran hanya bisa diungkap melalui bukti nyata.
"Kalau begitu, tunjukkan buktinya," katanya dengan nada yang menantang. "Mana mayat Troll yang katanya kau bunuh?"
Jeno berdiri dengan gerakan yang tenang namun mengandung ancaman tersirat. "Kau ingin melihatnya di ruangan ini?"
Pertanyaan itu diucapkan dengan nada yang begitu datar hingga menimbulkan kesan sinis. Justus, yang memahami implikasi dari pertanyaan itu, tertawa kecil, suara tawa yang mencoba mencairkan ketegangan yang semakin memuncak.
"Tidak, tentu tidak," kata Justus sambil berdiri. "Ayo, ikut aku ke gudang pemotongan. Kita akan melihat langsung bukti yang kau maksud."
Namun, sebelum siapapun bisa bergerak, Amelia mengangkat tangannya, gerakannya yang anggun namun penuh autoritas, seperti ratu yang menghentikan parade.
"Tunggu," katanya dengan suara yang bergema dengan kekuatan magis. "Sebelum itu, aku punya tawaran."
Keheningan kembali turun, kali ini lebih berat dari sebelumnya. Bahkan debu yang menari di cahaya senja seakan berhenti bergerak. Semua mata tertuju pada Amelia, yang kini berdiri dengan postur yang mencerminkan kemegahan bangsawan tinggi.
"Aku, atas nama Yang Mulia Raja Cedric dari Kerajaan Lumina, secara resmi menunjuk, Jeno Urias, sebagai calon Pengawal Pribadi Putri Eleanor Cedric Guinevere."
Suaranya naik satu oktaf, penuh dengan kebanggaan dan otoritas. "Kau akan dibayar seribu koin emas Atherion setiap bulan... gaji yang cukup untuk membeli mansion di distrik bangsawan. Akan diberikan rumah pribadi di kompleks istana, status kehormatan setara dengan baron, dan perlindungan penuh dari kerajaan."
Dia melangkah mendekati Jeno, matanya berkilat dengan keyakinan. "Ini bukan sekadar tawaran pekerjaan. Ini adalah kesempatan untuk menjadi bagian dari keluarga kerajaan... untuk melindungi masa depan kerajaan paling kuat di benua ini."
Ruangan itu tiba-tiba menjadi hening seperti makam. Bahkan Justus, yang biasanya menangani ratusan permintaan dan negosiasi setiap hari, membuka mulutnya tidak percaya. Jabatan pengawal pribadi Putri Eleanor bukan sekadar tugas, itu adalah status yang setara dengan bangsawan tanpa darah ningrat. Hanya orang-orang pilihan yang pernah dekat dengan sang putri mahkota.
Rinka menatap Jeno dengan mata yang berbinar-binar, seakan berkata, "Ambil tawaran itu! Ini kesempatan sekali seumur hidup!"
Justus mengangguk-angguk kagum. "Jeno, ini... ini adalah kehormatan yang tidak bisa ditolak. Bahkan petualang rank-S sekalipun akan bersujud untuk mendapat kesempatan seperti ini."
Namun, yang terjadi selanjutnya mengejutkan semua orang.
Jeno menatap Amelia dengan tatapan yang tenang, hampir bosan. Tidak ada kejutan, tidak ada kegembiraan, tidak ada rasa terima kasih, hanya menunjukkan ekspresi tenang.
"Tidak tertarik," tolaknya dengan suara yang datar seperti batu nisan.
Seisi ruangan seakan tersambar petir. Waktu berhenti. Bahkan angin yang bertiup dari jendela terbuka pun seakan terdiam.
Rinka nyaris tersedak air liurnya sendiri. "Kak Jeno... kau... kau yakin?"
Justus membelalakkan mata cokelatnya. "Anak muda... apakah kau menyadari apa yang baru saja kau tolak?"
Bahkan Amelia, yang telah mempersiapkan diri untuk berbagai kemungkinan jawaban, kehilangan kendali emosinya sejenak. Wajahnya yang biasanya terkontrol menunjukkan ekspresi shock yang murni.
"Apa..." Amelia bertanya dengan suara yang hampir berbisik, namun mengandung ancaman yang mengerikan. "Kau sadar apa yang kau tolak?"
Jeno berdiri lebih tegak, sikap tubuhnya menunjukkan keteguhan yang tidak bisa digoyahkan. "Aku tidak suka dikekang. Aku hidup untuk kebebasan... bebas memilih jalan hidupku sendiri, bebas dari belenggu sistem kerajaan atau siapapun."
Mata ungunya menatap langsung ke mata biru safir Amelia. "Kau mungkin bisa menawarkan emas, status, dan kekuasaan. Tapi kau tidak bisa membeli kebebasan yang telah kuraih dengan darah dan keringat."
Amelia mencoba mempertahankan ketenangan, namun suaranya mulai bergetar dengan amarah yang tertahan. "Kau... menolak mandat langsung dari Raja Cedric. Menolaknya berarti menentang tahta tertinggi di benua ini."
"Lalu?" Jeno menjawab dengan nada yang provokatif. "Apakah raja-mu itu akan datang sendiri ke sini untuk memaksaku?"
Amelia yang biasanya dingin dan terkontrol kini tidak bisa lagi menahan amarah. Namun, alih-alih meledak, dia tersenyum tipis, senyuman yang menyimpan niat berbahaya.
"Kalau begitu... kita selesaikan dengan cara yang lebih... primitif."
Dia melangkah mundur, tangannya mulai berpendar dengan energi magis. "Aku menantangmu untuk pertarungan kehormatan. Jika aku menang, kau akan ikut denganku ke Lumina dan menerima tawaran ini dengan senang hati."
Matanya berkilat dengan keyakinan yang arogan. "Jika kau menang..." dia menarik napas panjang, seakan kata-kata selanjutnya sulit diucapkan, "aku akan berhenti mengganggu hidupmu. Kau bebas."
Jeno menatapnya sejenak, kemudian menyeringai kecil, seringai yang mengandung keangkuhan yang tak terduga. "Jika aku menang... kau akan menjadi pelayanku."
Ledakan keheningan yang lebih dahsyat dari sebelumnya menyapu ruangan. Bahkan debu di udara seakan membeku karena shock.
Justus menahan tawa yang hampir meledak, lalu berpura-pura batuk untuk menutupi reaksinya. Dia tidak pernah melihat seseorang berani menantang seorang Penyihir Agung dengan cara yang begitu... provokatif.
Rinka memucat seperti mayat. Dia menarik lengan baju Jeno dengan kepanikan yang nyata. "Kak Jeno! Kau gila? Dia Penyihir Agung Tingkat 3! Dia bisa membelah bukit dengan satu mantra! Dia bisa membekukan lautan dengan jentikan jari!"
Amelia menatap Rinka dengan tatapan yang bisa membunuh. "Kau, serigala kecil. Diam, atau aku akan membekukan lidahmu selamanya."
Aura magis yang mengancam mulai mengalir dari tubuh Amelia, membuat suhu ruangan turun drastis. Embun beku mulai terbentuk di permukaan furniture.
Namun, Rinka mundur ke belakang Jeno sambil gemetar, kemudian berkata dengan suara yang bergetar namun penuh tekad, "Kalau begitu... aku akan diam. Tapi aku tetap akan berdiri di sisinya, apapun yang terjadi."
Amelia mendongak dengan harga diri yang terluka namun terhibur. "Baik. Aku menerima tantanganmu, bocah arogan. Dan aku akan memastikan kau menyesal telah menghina kehormatan kerajaan."
Jeno menyeringai lebih lebar. "Kita lihat saja siapa yang akan menyesal."
Justus, yang awalnya khawatir, kini justru merasa bersemangat. Sebagai mantan petualang, darahnya bergolak melihat potensi pertarungan epik yang akan terjadi. "Baiklah! Ini tidak melanggar hukum wilayah netral. Pertarungan resmi antara dua individu tanpa intervensi pihak ketiga."
Dia menunjuk anak buahnya yang berdiri di pintu. "Panggil semua petualang yang ada di kota! Kita akan menggelar pertarungan yang tidak akan dilupakan sepanjang sejarah Kota Velden!"
Sementara para messenger berlari keluar untuk menyebarkan berita, Jeno dan Amelia saling bertukar tatapan yang penuh dengan intensitas. Dua sosok dari dua dunia yang berbeda: satu liar dan bebas seperti angin gunung, satu agung dan arogan seperti phoenix yang terbang tinggi.
Amelia, dengan segala kemegahan dan kekuatan sihir yang mengalir dalam darahnya, mewakili keteraturan, hierarki, dan kekuasaan absolut kerajaan.
Jeno, dengan aura misteri dan kekuatan tersembunyi yang bahkan sistem tidak bisa sepenuhnya diukur, mewakili kebebasan, rebellious spirit, dan penolakan terhadap otoritas.
Di antara mereka, tension yang terbentuk bukan hanya tentang pride atau kekuasaan, tapi tentang dua filosofi hidup yang bertabrakan.
"Bersiaplah, Penyihir Agung," kata Jeno dengan suara yang rendah namun mengandung ancaman. "Kau akan belajar bahwa ada kekuatan di dunia ini yang tidak bisa dikontrol oleh tahta manapun."
Amelia tersenyum dingin. "Dan kau akan belajar, bocah, bahwa ada harga yang harus dibayar untuk menantang kekuasaan yang telah berdiri selama seribu tahun."
Badai besar akan segera datang ke Kota Velden. Dan hanya satu dari mereka yang akan berdiri di ujung pertarungan yang akan terjadi.
Situ Sehat ??!