"Sejak kamu datang... aku tidak bisa tidur tanpa mencium bau tubuhmu."
Yuna, dokter 26 tahun yang belum pernah merasakan cinta, mendadak terlempar ke dunia asing bernama Beastia—tempat makhluk setengah binatang hidup.
Di sana, ia dianggap sebagai jiwa suci karena tak bisa berubah wujud, dan dijodohkan dengan Ravahn, kepala suku harimau yang dingin dan kejam.
Misinya sederhana: temukan cinta sejati, atau terjebak selamanya.
Tapi siapa sangka... pria buas itu justru kecanduan aroma tubuhnya.
Temukan semua jawabannya hanya disini 👇
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azida21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 :Semangkuk Daging & Harga Diri
“Kamu mau makan apa?” tanya Nolan di tengah perjalanan pulang.
Yuna tampak berpikir sejenak. “Aku mau tanya dulu... kalian, suku harimau, makan daging mentah, ya?” tanyanya hati-hati. Ia tidak ingin sampai disodori makanan yang belum dimasak.
Nolan menoleh sekilas lalu tersenyum kecil. “Iya, tapi cuma saat hari perayaan suku. Itu semacam simbol bahwa kami masih... pejantan buas,” jelasnya lembut.
Yuna mengangguk pelan. “Oh... jadi kalau hari biasa, kalian makan daging matang?” tanyanya lagi masih penasaran.
“Iya,” jawab Nolan ringan.
Yuna menghela napas lega."Syukurlah ...kehidupannya tidak se primitif yang aku kira." gumamnya dalam hati, merasa lebih nyaman. Bayangan tentang kehidupan barbar perlahan mulai pudar dari pikirannya.
“Kalau gitu... aku mau makan semur daging,” ucap Yuna sambil tersenyum kecil, membayangkan aroma semur manis dan gurih seperti buatan pedagang kaki lima favoritnya dulu.
“Semur daging?” ulang Nolan, terlihat bingung.
“Iya. Kamu nggak tahu ya?” tebak Yuna lemas, ekspresinya merosot, seperti kehilangan harapan kecil yang tadi sempat tumbuh.
Nolan menggeleng pelan. “Aku belum pernah dengar nama itu,” ucapnya agak bersalah. “Tapi... aku bisa tunjukkan tempat di mana kamu bisa pilih sendiri masakan yang kamu suka.”ujar Nolan berusaha mengembalikan mood Yuna.
“Di mana?” tanya Yuna cepat.
“Pasar suku harimau,” jawab Nolan ringan.
Yuna terbelalak. “Di sini ada pasar?” tanyanya nyaris melongo.
Nolan mengangguk cepat. “Nggak jauh dari sini. Kita bisa ke sana sekarang.”ajak Nolan ikut antusias.
Yuna langsung mengangguk penuh semangat.
Keduanya berjalan beriringan. Jalanan menuju pasar terlihat sepi. Hanya beberapa penduduk suku harimau yang masih tampak berjalan membawa keranjang belanjaan. Mungkin karena matahari sudah naik tinggi, kebanyakan warga sudah kembali ke rumah masing-masing.
Yuna melirik Nolan. “Kenapa pasarnya sepi?”tanya nya penasaran.
“Mungkin karena sudah siang, dan penduduk suku harimau juga tidak terlalu banyak. Jadi kelihatan sepi,” jawab Nolan tenang.
Yuna hanya mengangguk kecil.
“Di mana tempat yang mau kamu tunjukkan padaku?” tanyanya lagi.
“Ikut aku,” sahut Nolan, kemudian menggenggam tangan Yuna dan menariknya pelan.
Saat berjalan,Nolan sengaja mengelus punggung tangan Yuna lembut.sebelum Yuna melepaskan pegangan Nolan padanya,mungkin Yuna sedikit tidak nyaman saat di gandeng oleh seorang pria.
“Tanganmu lembut sekali" puji Nolan dengan senyum tipis.
Yuna mengedip bingung.. “Tangan perempuan kan emang begini?”jelas Yuna merasa tidak ada yang istimewa dari tangannya.
“Perempuan?” ulang Nolan, wajahnya bingung.
Yuna langsung menepuk jidatnya pelan."Aduh..lupa lagi." gerutunya dalam hati.
“Maksudku... betina.”jelas Yuna pelan.
“Oh...” Nolan tampak mengerti. “Aku belum pernah pegang tangan betina,” tambahnya pelan dan sedikit malu.
Yuna mengernyit pelan. “Kenapa?”
“Karena... di suku harimau tidak boleh menyentuh betina sebelum mendapatkan pasangan,” jelas Nolan dengan nada lembut, seolah itu adalah hal yang sangat biasa di dunianya.
Yuna terdiam sesaat, lalu bertanya, “Kamu nggak pernah pacaran?”
“Pacaran?” ulang Nolan lagi-lagi tidak paham.
“Maksudku... menjalin cinta sama betina, tapi belum jadi pasangan resmi,” jelas Yuna sambil berusaha mencari padanan kata yang bisa dimengerti oleh Nolan.
Nolan menggeleng. “Di suku harimau, nggak boleh seperti itu.”
Yuna mengerutkan kening bingung.“Kenapa kamu nurut banget sama aturan suku?”
Nolan tersenyum kecil. “Kalau aku melanggar peraturan suku, aku tidak bisa dapat betina untuk di jadikan pasangan.”jelasnya lagi.
Yuna memiringkan kepala. “Kamu kan bisa cari betina sendiri. Kan banyak tuh.”sanggah Yuna malah mengingat dunia nyatanya.
Nolan terkekeh pelan. “Betina tidak mudah didapatkan disembarang tempat,Jumlah mereka lebih sedikit dari pejantan. Banyak pejantan yang gagal dapat pasangan karena tidak memenuhi syarat, atau pernah melanggar aturan suku.”nolan kembali menjelaskan dengan sabar.
Yuna hanya mengangguk pelan. Ada banyak hal di dunia Beastia yang menurutnya jauh lebih menguntungkan dibandingkan tinggal di dunia nyata.
Ia masih melamun hingga Nolan menepuk pelan pundaknya.
"Kita sudah sampai," ujar Nolan lembut.
Yuna tersentak kecil. "Di mana?"
"Itu tempat di mana kamu bisa mendapatkan makanan yang kamu suka," jawab Nolan sambil menunjuk ke arah sebuah warung sederhana.
Tempat itu benar-benar mirip dengan warung makan pada umumnya,lebih tepatnya warteg. Para pembeli duduk di teras sambil menunggu pesanan mereka.
Namun, yang membuat Yuna terkejut bukanlah suasananya. Ia malah terkesima karena ternyata di suku harimau pun ada warteg. Tidak seperti bayangannya tentang kehidupan primitif, nyatanya suku harimau sudah mengenal banyak aspek modern seperti berdagang, jual beli, hingga sistem mata uang.
“Tapi... aku nggak punya uang,” keluh Yuna, merasa tidak enak.
Nolan tersenyum kecil. “Tenang saja, aku yang bayarin.”
Mata Yuna langsung berbinar. “Beneran? Jangan bohong ya!” ujarnya sambil menuding Nolan dengan ekspresi setengah curiga.
“Iya, sungguh. Pilih aja makanan yang kamu mau, nanti aku yang bayar,” ujar Nolan santai.
Baru kali ini Yuna ditraktir makan oleh seorang pria. Di dunia nyata, ia adalah wanita mandiri yang belum pernah pacaran, jadi tidak heran kalau pengalaman ini terasa asing dan sedikit bikin gugup.
Dengan perasaan senang, Yuna menghampiri warung itu dan langsung disambut ramah oleh sang penjual.
“Mau pesan apa, betina cantik?”sapa penjual itu ramah.
“Aku mau semur daging!” jawab Yuna antusias.
“Semur daging?” Penjual itu tampak bingung.
“Iya, daging yang dimasak pakai kecap,” jelas Yuna.
“Kecap?” ulang penjualnya makin bingung.
“Itu loh, yang warnanya hitam.”
“Ooh... mungkin maksudmu daging air hitam?” ujar si penjual menyebut nama lain.
Sekarang giliran Yuna yang bingung. Sejak kapan semur daging ganti nama jadi begitu?
“Iya deh,” jawab Yuna akhirnya, pasrah.
“Duduk dulu aja ya, nanti aku antar,” ujar si penjual ramah.
Yuna dan Nolan pun duduk di bangku kayu panjang yang disediakan di teras warung.
Tak lama setelah mereka duduk, aroma semur daging yang khas mulai tercium. Yuna tersenyum senang. Itu tandanya pesanannya hampir matang, dan perutnya yang sedari tadi keroncongan akhirnya bisa terobati.
Namun, satu masalah datang tiba-tiba—ketua suku muncul di warung yang sama.
“Ketua,” sapa Nolan sopan, sambil sedikit menunduk.
“Kau di sini juga,” jawab Ravahn singkat.
Nolan hanya tersenyum kecil sebagai balasan.
“Bibi, berikan aku semangkuk daging air hitam,” ujar ketua suku dengan nada tenang.
“Baik, Ketua. Silakan duduk dulu,” sahut si penjual dengan ramah.
Ketua suku itu lalu duduk di kursi panjang yang sama dengan mereka, hanya saja agak berjarak. Tak ada yang membuka percakapan setelah itu. Yuna merasa canggung, Nolan pun tidak tahu harus berkata apa.
Beberapa menit kemudian, si penjual kembali, membawa sepiring semur daging yang aromanya menggoda. Yuna menatapnya berbinar dan bersiap untuk mengambil... tapi makanan itu malah diberikan kepada ketua suku.
“Bibi, itu kan pesananku! Kenapa malah dikasih ke dia?” protes Yuna kesal.
“Maaf, Nak. Nanti Bibi buatkan yang baru ya. Ini khusus untuk Ketua,” jawab si Bibi penjual dengan nada sungkan.
“Tapi aku yang pesan duluan!” keluh Yuna, tidak terima.
Nolan menarik lengan Yuna pelan. “Sudahlah... kita tunggu yang baru saja, ya?”
“Nggak mau! Aku udah nunggu dari tadi!” tolak Yuna keras kepala.
Ravahn menatap ke arah penjual, lalu berkata malas, “Berikan saja padanya, Bi. Aku tidak suka keributan seperti ini.”
“Tidak apa-apa, Ketua duluan saja,” sahut si Bibi bersikeras.
Yuna mulai geram. “Sudahlah, aku nggak mau makan lagi,” gumamnya kesal. Ia pun berdiri hendak pergi, tapi Nolan menahan tangannya lembut.
“Tunggu sebentar lagi saja, ya,” bujuk Nolan dengan suara rendah.
“Iya, Bibi juga cepat kok masaknya,” tambah si penjual.
“Enggak mau. Aku mau pulang aja,” sahut Yuna, sudah kehilangan selera. Mood-nya benar-benar hancur.
Ravahn menghela napas pendek. Ia tampak terganggu. Tanpa bicara panjang lebar, ia mendorong mangkuk semurnya ke arah Yuna.
“Makan saja. Jangan buat keributan,” ucapnya datar.
“Enggak mau. Itu punyamu,” sahut Yuna ketus.
“Bukannya kamu tadi marah karena semangkuk daging air hitam?” sindir Ravahn ringan.
“Aku bukan marah karena makanannya, tapi karena perlakuan Bibi yang memihak. Aku datang lebih dulu, tapi kenapa malah kamu yang dapat makanan duluan? Hanya karena kamu ketua suku?” balas Yuna mulai emosi.
Nolan berusaha menenangkan, “Sudahlah... mungkin Bibi tadi nggak sengaja...”
“Jangan ikut campur!” potong Yuna, kini marah juga pada Nolan. Baginya, sikap Nolan terlalu pasif dan seolah membenarkan ketidakadilan itu.
Ketua suku terlihat muak dengan situasi itu. “Ambil saja makanannya dan diam. Aku tidak menyuruh siapa pun untuk mendahulukan aku. Jadi jangan salahkan aku.”jawab Ravahn tidak terima di salahkan.
Yuna menatapnya sengit. “Apa aku harus makan makanan yang sudah disodorkan padamu? Aku nggak mau.”tolak Yuna merasa harga dirinya di rendahkan.
Nolan semakin bingung dan panik melihat situasi yang memanas. “Bibi... tolong segera buatkan yang baru,” pintanya buru-buru.
“Sudah, aku nggak mau makan lagi,” tukas Yuna.
“Tapi kamu lapar, kan?”
Yuna menatap Nolan tajam. “Aku bilang nggak mau!” serunya lalu berjalan pergi begitu saja, meninggalkan mereka.
Nolan segera berdiri dan mengikutinya, tapi Yuna menoleh tajam.
“Jangan ikuti aku! Kamu pengecut banget! Udah tahu aku diperlakukan nggak adil, tapi kamu malah diam aja! Mending kamu pergi aja!”marah Yuna tidak ingin perduli pada Nolan lagi.
Ucapan itu menghantam hati Nolan seperti batu. Ia terdiam di tempat, tidak jadi mengikuti Yuna. Pandangannya kosong, pikirannya ikut kacau.
Apa benar... dia pengecut?
Apa karena itu dia gagal mendapatkan betina saat Ujian kelayakan?
Dan Apa karena dia tidak cukup mampu melindungi dan membela mereka?
*
👉Jadi, gimana menurut kalian? Ikut kesel juga nggak sih sama sikap Nolan barusan?🤔
Tulis pendapat kalian di kolom komentar, ya!
Jangan lupa like, kasih ulasan, dan share ke teman-teman kalian biar mereka juga ikut terbawa emosi 😆
Sampai jumpa di bab selanjutnya!
Stay tuned dan terima kasih sudah setia membaca 💖