Sebuah kecelakaan beruntun merenggut nyawa Erna dan membuat Dimas terbaring lemah di ruang ICU. Di detik-detik terakhir hidupnya, Dimas hanya sempat berpesan: "Tolong jaga putri saya..." Reza Naradipta, yang dihantui rasa bersalah karena terlibat dalam tragedi itu, bertekad menebus dosanya dengan cara yang tak terduga-menjodohkan Tessa, putri semata wayang Dimas, dengan putra sulungnya, Rajata. Namun Rajata menolak. Hatinya sudah dimiliki Liora, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa. Tapi ketika penyakit jantung Reza kambuh akibat penolakannya, Rajata tak punya pilihan selain menyerah pada perjodohan itu. Tessa pun terperangkap dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa harus menjadi beban orang lain. Namun takdir justru menjerat mereka dalam ikatan yang penuh luka. Bisakah Tesha bertahan di antara dinginnya penolakan? Dan mungkinkah kebencian perlahan berubah menjadi cinta?
Perasaan aneh
"Break! Semua kumpul!" teriak Coach Adam dengan nada tinggi.
Seluruh anggota tim basket Nawasena segera berkumpul di tengah lapangan. Nafas mereka masih terengah-engah usai latihan keras barusan.
"Rajata!" suara Coach Adam memanggil tajam, membuat semua orang menoleh.
"Kamu kenapa nggak fokus dari tadi? Passing-mu berantakan, tembakanmu juga nggak ada yang masuk! Turnamen sebentar lagi, jangan main-main!"
"Sorry, Coach," jawab Rajata singkat. Keringat mengalir di pelipisnya, tapi bukan hanya karena latihan—kepalanya penuh dengan pikiran tentang seseorang.
Tibra, Kala, Aksa, dan Jevan saling melempar pandang. Mereka bisa merasakan kalau ada yang nggak beres dengan kapten mereka hari ini.
Selesai latihan, Tibra mendekati Rajata yang sedang duduk di bench sambil menunduk. Ia merangkul bahu sahabatnya itu.
"Jaa, lo kenapa? Kalau ada masalah ngomong, jangan dipendem sendiri."
Rajata hanya diam, bola basket di tangannya ia putar-putar tanpa fokus.
"Lo mikirin cewek yang di parkiran tadi, ya?" tebak Tibra, mencoba menusuk ke inti masalah.
Benar saja, Rajata langsung menoleh cepat ke arah Tibra. Sorot matanya yang tajam dan rahangnya yang mengeras cukup jadi jawaban.
Rajata sempat terdiam, matanya menatap kosong ke lantai saat mendengar tebakan Tibra. Rahangnya mengeras, tapi ia tetap tidak memberi respon.
"Dia siapa emang? Gebetan baru lo, ya?" cecar Tibra sambil menyeruput minuman isotonik.
"Bukan," jawab Rajata pendek, suaranya berat.
"Lah terus? Pacar baru?" Tibra mulai menggoda, menepuk-nepuk bahu Rajata.
Rajata akhirnya mendongak, menatap lurus ke depan. "Dia... istri gue."
"PPPFFFFTTT"
Tibra spontan memuncratkan minuman yang sedang ia teguk. Matanya membelalak ke arah Rajata, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Lo jangan becanda, Jaa! Baru juga semingguan lo putus sama Liora, masa lo udah nikah aja?!" ucap Tibra setengah teriak.
Rajata hanya diam, tetapi sorot matanya tajam. Itu cukup sebagai jawaban bahwa ia tidak sedang bercanda.
"Justru gue mutusin Liora karena gue harus nikah sama dia..." ucap Rajata pelan, suaranya nyaris tenggelam di antara suara sepatu yang berderap di lapangan.
Tibra terdiam. Ia tahu Rajata bukan tipe orang yang gampang cerita, apalagi soal hati.
"Jadi... bukan karena beda agama lo mutusin Liora?" tanya Tibra hati-hati.
Rajata mengangguk pelan. "Itu... salah satu alasannya. Tapi alasan paling utama..." Ia menarik napas panjang, menggenggam botol minumnya erat-erat. "Syarat biar gue bisa nikah sama Tessa... gue harus putus sama Liora."
Tibra mengernyit, matanya penuh tanda tanya. "Maksud lo gimana, Jaa? Gue nggak paham. Kok kayaknya ribet banget."
Rajata memejamkan mata sejenak, mencoba mengatur napasnya. Hatinya berat. Semua yang ia simpan sejak awal pernikahan seolah ingin meledak keluar.
Pada akhirnya Rajata menceritakan semuanya pada Tibra. Tentang pernikahan yang dipaksa oleh keadaan, tentang bagaimana Tessa hadir di hidupnya tanpa ia inginkan, hingga alasan di balik keputusannya meninggalkan Liora.
Tibra mendengarkan dengan saksama. Ada rasa iba di matanya. "Jadi gitu ceritanya... kasian juga ya dia," gumamnya.
Rajata hanya menatap kosong ke lantai. Hatinya terasa sesak setiap mengingat wajah Tessa yang tampak kuat, padahal di dalamnya rapuh.
"Terus..." Tibra menghela napas sebelum melanjutkan, "perasaan lo sendiri gimana, Ja? Sama dia?"
Rajata menggeleng pelan. "Gue... nggak tahu, Jujur gue masih sayang banget sama Liora. Tapi... gue nggak mungkin balik lagi sama dia. Itu udah nggak mungkin."
Tibra menepuk pundak Rajata, memberi dukungan dalam diam. "Mungkin sekarang waktunya lo pelan-pelan cari tahu perasaan lo. Siapa tahu ada alasan kenapa Tuhan taruh dia di hidup lo."
Rajata hanya diam, tetapi kata-kata Tibra menggantung di kepalanya.
"Serius amat lo berdua, kayak lagi bahas utang negara," celetuk Kala tiba-tiba sambil meneguk air dari botolnya.
Tibra spontan nyengir lebar, mencoba mengalihkan suasana yang tadinya tegang. "Gue lagi ngerayu Rajata biar minjemin mobilnya buat gue kencan."
"Terus dipinjemin nggak tuh?" tanya Kala penasaran.
"Kagak lah!!." Sahut Rajata cepat.
"Hahaha... kasian lo, Bra!" Kala tertawa puas melihat ekspresi kecewa Tibra yang pura-pura dramatis.
***
Di salah satu mall di Jakarta, empat remaja itu kini sudah masuk ke dalam bioskop. Ruangan mulai redup, hanya cahaya dari layar yang sesekali menyorot wajah mereka.
Juna duduk di kursi paling pojok, lalu Tessa di sampingnya. Setelah itu Diana dan Raisa duduk berurutan di sisi lain.
"Denger-denger, ini series terakhir," bisik Juna pelan ke arah Tessa saat trailer diputar.
"Serius?" Tessa menoleh sedikit, suaranya ikut direndahkan. "Lo ngikutin dari awal?"
Juna mengangguk sambil tersenyum tipis. "Ngikutin. Favorit banget gue."
Tessa ikut tersenyum kecil. Ada kehangatan yang terasa di antara mereka, cukup membuat Diana dan Raisa di sisi lain saling lirikan sambil menahan tawa.
"Eeehhmm..." Raisa tiba-tiba berdehem, lalu membisikkan sesuatu dengan suara sedikit lebih keras. "Jadian ajalah kalian berdua, cocok juga."
Tessa spontan menoleh ke Raisa, matanya sedikit membelalak. "Hah? Apaan sih lo..." bisiknya cepat, wajahnya memerah.
Juna hanya terkekeh, tak membantah namun juga tak memberi jawaban. Tatapannya kembali ke layar, tapi ada gurat senyum di bibirnya.
Sementara itu, di rumah, Rajata tampak gelisah. Ponselnya terus ia genggam, matanya menatap layar dengan amarah yang kian memuncak.
"Kenapa belum pulang juga?" gumamnya. Ia coba menelepon Tessa lagi, tapi tak ada jawaban. Bahkan sekarang ponsel Tessa sudah tidak tersambung.
"Dia jalan sama cowok itu sampai larut malam begini? Sialan!" Rajata memukul meja kecil di ruang tamu, rahangnya mengeras menahan emosi.
Ia kemudian turun ke bawah, berharap barangkali Tessa sudah pulang tanpa sepengetahuannya. Namun, ia justru mendapati Renata dan Carissa sedang duduk di ruang keluarga. Sementara itu, Pak Reza belum pulang malam ini karena ada urusan kerja di luar kota.
"Mama, Tessa belum pulang dari tadi?" tanya Rajata, suaranya dalam dan tegas, berusaha menyembunyikan kecemasannya. Siapa tahu Tessa sempat pulang tanpa ia sadari.
Renata menoleh sekilas, wajahnya datar. "Belum. Memang kenapa?"
Carissa yang duduk di sebelah ibunya ikut menyahut dengan nada sinis. "Bukannya malah bagus kalau dia nggak pulang? Lebih tenang kan rumah ini?"
Rajata menatap tajam ke arah Carissa, matanya menyiratkan ketidaksukaan. Namun ia tidak menjawab, memilih kembali ke kamar nya.
Hingga satu jam kemudian, Tessa masih juga belum kembali. Rajata yang sudah kehilangan kesabaran, meraih kunci mobilnya dengan gerakan kasar.
Wajahnya mengeras, matanya gelap oleh rasa khawatir yang dibungkus amarah. Ia melangkah cepat menuju garasi, hendak mencari Tessa ke mana pun gadis itu pergi.
Namun, langkahnya terhenti ketika suara deru motor terdengar dari arah gerbang. Rajata menoleh cepat, matanya menangkap sosok Tessa yang baru turun dari motor ojek online. Gadis itu tampak santai, mengucapkan terima kasih pada driver lalu berjalan menuju pintu rumah dengan map biru di tangan.
Darah Rajata seolah mendidih. Ia berdiri mematung beberapa detik, sebelum akhirnya melangkah menghampiri Tessa dengan rahang terkunci.
jangan2...
kasihan, malang benar nasibmu Tessa