The Ruler Of Absolute season 2
Kelahiran Ji Chen, seorang pemuda terpilih yang disebut dalam ramalan kuno sebagai penyelamat alam bawah dari kehancuran oleh para Dao surgawi yang selalu menyerang pada waktu tertentu. Dengan takdir yang besar, Ji Chen akan menghadapi tantangan berat untuk melindungi alam bawah dan mewujudkan ramalan kuno tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wibuu Sejatii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 : Sungguh Membosankan
“Jhi Chen, Aku akan mengambil nyawamu sekarang!”
Sun Quan langsung maju menyerang Jhi Chen. Jarak di antara mereka sangat dekat; serangan Sun Quan tiba di depan Jhi Chen dalam sekejap. Sun Quan tak menggunakan teknik khusus, melainkan menyerang murni dengan tangan dan kaki. Melihat serangan agresif itu, Jhi Chen tak menghindar atau menangkis. Keduanya beradu pukulan dan tendangan. Jelas, tubuh mereka terbuat dari daging dan tulang, namun benturan tangan mereka menghasilkan suara memekakkan telinga, seakan terbuat dari logam. Riak dari pertarungan mereka menyebar ke mana-mana. Para Tetua Agung yang menyaksikan tak tinggal diam; mereka segera membentuk formasi pelindung agar riak-riak tersebut tak membahayakan penonton.
Semakin lama pertarungan berlangsung, Sun Quan merasa kewalahan hanya mengandalkan kekuatan fisik. Setiap benturan membuat tubuhnya bergetar hebat, hingga tangan dan kakinya mati rasa. Akhirnya, Sun Quan mengeluarkan senjata andalannya: palu besar. Ia langsung melancarkan teknik ganas; palu yang diselimuti api itu diayunkan ke arah Jhi Chen. Andai terkena, Jhi Chen akan hancur seperti bubur.
Jhi Chen tak menyerah. Ia mengeluarkan Pedang Naga berpola emas dan langsung menggunakan teknik kedua dari Tarian 13 Pedang: Tarian Pedang Burung Phoenix. Ia menyalurkan kekuatan bintang ke dalam serangannya. Burung Phoenix melayang di udara, memancarkan aura pemusnah dari kekuatan bintang, lalu menembakkan ratusan bola api ke arah palu Sun Quan. Serangan palu Sun Quan berhasil dinetralisir.
Namun Sun Quan bukan orang biasa. Saat serangannya berhasil dihentikan, ia langsung melancarkan teknik palu lainnya. Ribuan palu terbentuk di udara. Jhi Chen merasakan tekanan yang luar biasa. Ia harus mengakui kekuatan Sun Quan berbeda dari lawan-lawannya sebelumnya. Hanya selisih dua peringkat dalam kultivasi, namun Sun Quan berhasil memaksa Jhi Chen bertarung sekuat tenaga.
Jhi Chen pun melancarkan teknik keenamnya: Naga dan Phoenix bersatu. Naga dan burung Phoenix terbentuk di atas kepalanya, lalu bergabung. Aura Yin dan Yang menyatu—sesuatu yang mustahil karena api dan es adalah elemen yang berlawanan—namun Jhi Chen berhasil melakukannya di hadapan semua orang. Burung Phoenix dan Naga yang menyatu menari-nari di udara, tak gentar menghadapi ribuan palu yang datang menerjang. Cakar dan ekornya menyerang setiap palu.
Ledakan! Ledakan! Ledakan!
Saat Sun Quan merasa di atas angin karena Naga dan Phoenix tak mampu melenyapkan semua palu, tiba-tiba aura pembunuh menyelimuti Jhi Chen. Ia melancarkan teknik ketujuh: Tarian 100 Pedang Pembunuh. Serangan kejutan ini membuat Sun Quan tak siap. Beberapa pedang berhasil melukai tubuhnya. Walaupun bereaksi cepat, serangan ganas Jhi Chen berhasil menusuk paha Sun Quan.
Sun Quan meringis kesakitan. Jhi Chen tak menyia-nyiakan kesempatan, ia langsung menggunakan teknik Langkah Petir. Kecepatannya meningkat berkali-kali lipat. Sun Quan tak mampu melihat pergerakan Jhi Chen.
“Eeaaahhhh… eeaaahhhh… eeaaahhhh… eeaaahhhh…” Beberapa tebasan lagi mengenai tubuh Sun Quan. Penonton tak percaya. Mereka yakin Sun Quan akan menang mudah, namun kini ia harus berjuang menghindari setiap tebasan Jhi Chen.
“Anak ini benar-benar monster! Tidak hanya memiliki cara meningkatkan ranahnya, tetapi juga kekuatan bertarung yang menentang surga! Sun… Pantas saja dia bisa menjadi menantu Patriark Klan.”
“Iya, dia benar-benar genius sejati.”
Sun Quan, yang terus bertahan secara pasif, tiba-tiba tubuhnya menyala, mengeluarkan dua jenis api di kedua telapak tangannya.
“Lihat! Bukankah itu Api Tingkat Langit, senjata andalan Kakak Senior Sun Quan? Bocah itu pasti akan mati!”
“Bocah, kau memaksaku!”
Sun Quan membuat segel tangan dengan cepat dan melemparkan kedua apinya ke depan. Para Tetua langsung memperkuat formasi pelindung karena mereka tahu betapa mengerikan kekuatan kedua api tersebut. Api itu membentuk gelombang tsunami. Jhi Chen mengerutkan kening menghadapi gelombang api yang besar itu.
“Mungkinkah aku harus menggunakan Tarian ke-10, Tarian Pedang Neraka… namun terakhir kali aku menggunakannya… aku langsung pingsan karena tubuhku tak mampu menahan beban kekuatannya.”
Saat Jhi Chen bingung, tiba-tiba sesuatu di dalam tubuhnya bersemangat—Api Ratu Iblis, pemberian orang tuanya. Jhi Chen tak tahu mengapa Api Ratu Iblis begitu bersemangat. Ia tak ingin mengeluarkannya karena takut api mungil itu akan ditelan gelombang api yang besar. Ketika Jhi Chen mencegahnya keluar, Api Ratu Iblis marah.
“Karena kau begitu ingin keluar… baiklah, aku akan mengizinkanmu, tapi jangan salahkan aku jika kau ditelan!”
Jhi Chen mengeluarkan Api Ratu Iblis. Melihat gelombang api di depannya, Api Ratu Iblis sangat bersemangat, langsung melesat ke arah gelombang Api Langit Sun Quan. Semua orang bingung. Mengapa Jhi Chen mengirimkan api teratai biru kecil untuk menghadapi gelombang Api Langit? Namun, saat Api Ratu Iblis berbenturan dengan Api Langit, ia berputar dengan kecepatan luar biasa, melahap kedua Api Langit Sun Quan. Saat gelombang Api Langit menghilang, semua orang hanya melihat api teratai biru meloncat-loncat, seperti anak kecil yang bahagia. Sun Quan memuntahkan darah karena kehilangan kontak dengan Api Langitnya—ia telah meninggalkan jejak jiwanya di dalamnya—dan terkena dampak serangan ke jiwanya. Api Ratu Iblis kembali ke Jhi Chen, berputar-putar di kepalanya, seakan memberi tahu Jhi Chen bahwa ia telah meremehkan kekuatannya.
“Baiklah, maafkan aku…”
Jhi Chen melancarkan dua teknik sekaligus: Tarian ke-8 dan ke-9, Tarian Pedang Amarah Iblis dan Tarian Pedang Wujud Iblis. Ia bergerak seperti hantu. Sun Quan, yang momentumnya telah jatuh, tak banyak melawan. Jhi Chen langsung menebas kedua kaki Sun Quan. Sun Quan tersungkur. Ia tak percaya dikalahkan oleh bocah yang baru memasuki Gerbang Abadi setahun ini. Bukan hanya dia, semua penonton pun tak percaya. Jhi Chen baru saja memasuki Gerbang Abadi, namun telah mengalahkan murid teratas Gerbang Suci. Jhi Chen mendekati Sun Quan dan menebas kepalanya di hadapan para Tetua Agung tanpa ragu. Jika dibiarkan hidup, Sun Quan akan kembali membuat masalah. Lebih baik mengakhirinya sekarang.
Para Tetua Agung marah. Mereka adalah setengah Dewa. Kapan bocah ini berani melawannya? Tetua Agung melepaskan kekuatan penindasnya, namun sebelum mencapai Jhi Chen, kekuatan itu lenyap, seperti kerikil di lautan. Ia tak bisa bergerak, membeku di udara.
“Orang tua, siapa yang memberimu keberanian untuk menyerang Junior di hadapan semua orang? Apakah kau sudah tak menghormati peraturan Klan? Siapapun yang menandatangani pertarungan hidup dan mati, tak seorang pun bisa menghentikannya, bahkan Dewa sekalipun! Namun kau tak hanya tak menghormati peraturan leluhur, kau bahkan berani menyerang secara terbuka! Berikan Aku jawaban, hukuman apa yang pantas untukmu?”
Guru Sun Quan sangat ngeri mendengar suara itu. Itu Sun Yaoi. Dulu, ia tak akan takut, bahkan akan marah. Walaupun Sun Yaoi adalah adik Kepala Klan, statusnya lebih rendah darinya. Namun kini semua tahu bahwa Sun Yaoi adalah Dewa sejati.
“Tetua Yaoi, aku tak berani. Aku hanya terlalu marah karena muridku mati di depanku.”
“Jika tak punya kekuatan, jangan menandatangani pertarungan hidup dan mati! Muridmu berani menandatanganinya berarti ia tahu konsekuensinya! Sekarang, enyah dari hadapanku!”
Tetua Sun Yaoi mengirim terbang Guru Sun Quan. Zhang Yizhong, yang masih dipegang Nin Tianlo, tak bersuara, celananya basah karena kencing.
“Saudara Jhi Chen, bagaimana dengan orang ini?”
“Saudara Tianlo, dia hanya kerikil kecil, biarkan saja. Tak ada gunanya membunuhnya.”
Tetua Sun Yaoi memanggil Wakil Ketua Maha Tinggi.
“Mulai sekarang, Aku mengangkatmu menjadi Tetua Maha Tinggi. Aku harap kau tak meniru sikap Shi Kongshe…”
“Terima kasih, Tetua Agung. Aku tak akan mengecewakan kepercayaan Ketua Agung.”
“Sekarang, umumkan murid-murid yang berhak memasuki Gerbang Suci.”
“Semuanya, aku umumkan, sepuluh murid yang akan memasuki Gerbang Suci, sembilan di antaranya adalah anggota Divisi Salke. Seharusnya kalian tak keberatan karena tak ada murid lain di Gerbang Abadi yang melebihi mereka dalam kultivasi… dan satu murid lainnya adalah Gui Heise.”
Namun, Canku tak puas.
“Tetua Maha Tinggi, bukankah kau memberikan keputusan tanpa melihat kekuatan murid terlebih dahulu?”
Tetua Maha Tinggi mengerutkan kening.
“Canku, apa maksudmu?”
“Tetua, bukankah kau mengatakan tak ada yang melebihi anggota Divisi Salke? Bagaimana kita bisa tahu? Tak semua anggota Divisi Salke memiliki kultivasi tinggi, bahkan ada dua orang yang memiliki ranah yang sama denganku… Bagaimana Tetua bisa memvonis kekuatan mereka lebih kuat dariku tanpa bertarung…”
“Canku, apa yang kau inginkan?”
“Tetua, aku ingin bertarung dengan salah satu dari mereka. Jika aku kalah, aku tak akan mempermasalahkan mereka memasuki Gerbang Suci, namun jika mereka kalah, maka Tetua harus memasukkanku ke Gerbang Suci.”
Tetua Maha Tinggi melihat Guan Xuankong dan Lao Rosi. Mereka tak keberatan. Mereka ingin mengandalkan diri sendiri. Guan Xuankong akan maju, namun dihentikan Lao Rosi.
“Senior Guan, biarkan aku yang menghadapi pria aneh ini… Kau duduk diam dan menonton saja.”
“Laporkan kepada Tetua, aku Lao Rosi akan melawannya.”
“Baiklah, karena kalian sudah memutuskan, silakan bertarung… namun Aku akan memperingatkan kalian, tinju dan kaki tidak memiliki mata, jadi jika ada yang terluka parah, bahkan mendapatkan resiko kematian, kalian tidak bisa menyalahkan orang lain, kalian hanya bisa menyalahkan diri sendiri, karena memiliki keterampilan yang tidak mencukupi.”
Canku bersemangat. Ia ingin sekali memasuki Gerbang Suci. Ia mengeluarkan kipasnya, tersenyum menyeramkan sambil menjilat bibirnya. Ia langsung menyerang Lao Rosi tanpa basa-basi. Saat serangannya akan mengenai Lao Rosi, ia tak bisa bergerak; kakinya terikat cambuk.
“Dengan kekuatan kecilmu, kau berani menantang anggota Divisi Salke? Membosankan! Aku kira aku akan menikmati pertarungan ini… Namun ternyata kau hanya semut mol belaka…”
Lao Rosi membanting-bantingkan cambuknya. Canku, yang masih terikat, terus-menerus terbentur di area bela diri.