Jangan main HP malam hari!!!
Itu adalah satu larangan yang harus dipatuhi di kota Ravenswood.
Rahasia apa yang disembunyikan dibalik larangan itu? Apakah ada bahaya yang mengintai atau larangan itu untuk sesuatu yang lain?
Varania secara tidak sengaja mengaktifkan ponselnya, lalu teror aneh mulai mendatanginya.
*
Cerita ini murni ide penulis dan fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar itu hanyalah karangan penulis, tidak ada hubungannya dengan dunia nyata.
follow dulu Ig : @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 : kematian aneh Samuel
Pagi ini ada yang berbeda dari biasanya, langit mendung ditutupi awan hitam, angin berhembus kencang dan rintik-rintik hujan gerimis membasahi tanah.
Varania memakai baju hitam untuk kesekian kalinya, beberapa menit lalu rumah duka memberikan berita. Samuel yang baru melangsungkan resepsi tadi malam dinyatakan meninggal dunia, saat ini jenazahnya sudah dibawah ke rumah duka untuk di urus.
Varania mengambil payung bening di dekat rak sepatu, dia berangkat ke rumah duka dengan wajah lelah dan bagian bawah matanya sedikit menghitam karena begadang.
Ibunya sudah pergi lebih dulu, katanya ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum pergi ke rumah duka. Varania tidak terlalu peduli, ia bisa menebak kemana ibunya pergi, tentu saja ke rumah sheriff Austin.
"Mau ke rumah duka?" Tanya Fardan baru saja keluar dari rumahnya saat Varania lewat.
Varania memicing curiga, apa yang sedang pria ini rencanakan? Tidak biasanya dia bertanya dengan tidak menyebalkan.
"Jangan salah paham, aku tidak tahu dimana letaknya." Fardan menjelaskan dengan cepat.
Varania mengangguk mengerti, tidak keberatan berjalan bersama Fardan selagi pria itu tidak mengusiknya.
Begitulah akhirnya keduanya berjalan bersama ke rumah duka.
"Vara!"
Sesampainya di rumah duka, Celine yang hendak masuk kedalam melihat Varania, dia melambaikan tangan.
"Aku nggak menyangka dia meninggal secepat itu padahal tadi malam masih baik-baik saja," bisik Celine sambil menarik tangan Varania agar mereka masuk bersama, sementara Fardan mengikuti dari belakang.
Fardan yang baru pertama kali datang ke rumah duka menyusuri seluruh ruangan dengan matanya yang tajam.
"Ajal seseorang nggak ada yang tahu," ujar Varania duduk di kursi kosong dekat pintu, Celine duduk di sebelah kirinya dan Fardan di sebelah kanan. Sekarang posisi duduk Varania berada di tengah-tengah, walaupun sebenarnya ia merasa sangat tidak nyaman duduk bersebelahan dengan Fardan.
Pagi ini Fardan lebih banyak diam dan tidak mengeluarkan suara yang menyebalkan, namun tetap saja Varania merasa tidak nyaman berada di dekat bosnya itu.
"Kenapa kita berkumpul disini?" Tanya Fardan penasaran,
"Tentu saja untuk melihat Samuel untuk terakhir kalinya, mungkinkah kamu tidak pernah pergi melayat sebelumnya?" Kata Varania tidak lupa menyelipkan sedikit ejekan.
Fardan mengangkat sebelah alisnya, tersenyum miring lalu berkata pelan "aku sering melihat orang meninggal, tapi tidak pernah seaneh disini."
Untuk yang satu ini Varania setuju dengan Fardan. Memang aneh sih sebenarnya, namun tradisi ini sudah ada sejak lama dan sebagai pendatang baru tidak bijak menghakimi dengan terang-terangan.
"Diamlah, apakah kalian tidak punya sopan santun masih bergosip di rumah duka." Tegur seorang ibu-ibu yang duduk di depan mereka.
"Maaf, kami akan diam sekarang." Ucap Varania menurunkan sedikit kepalanya meminta maaf.
Tidak lama kemudian semua kursi sudah terisi, pintu utama ditutup. Tidak sampai lima belas menit, pintu putih di depan sana terbuka.
Birsha membawa Samuel keluar, jenazahnya di balut dengan kemeja putih dan celana putih panjang. Wajahnya pucat pasi dan rambutnya disisir rapi.
Varania mengamati dengan seksama saat Birsha membawa Samuel melewati kursinya. Varania menahan kejutan melihat kulit di dekat telinga Samuel terkelupas dan tidak menyatu seperti yang seharusnya.
Mereka memakaikan topeng tipis menyerupai wajah samuel untuk menyembunyikan wajah aslinya.
Mungkinkah foto yang dikirim tadi malam itu benar, wajah Samuel hancur? Tapi untuk apa di sembunyikan?
Birsha sudah kembali ke depan dan mendudukkan Samuel di kursi tua.
'bayangan itu tidak ada disini,' Varania sudah melihat ke sekelilingnya dan tidak menemukan bayangan perempuan itu disini.
"Hari ini saudara kita Samuel telah pergi dalam keadaan damai, untuk ketenangan kita semua mari kita sama-sama menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan." Suara Birsha sangat lantang bak gemuruh petir yang memenuhi rumah duka, semua pelayat menundukkan kepala.
Hanya Varania yang tidak menundukkan kepala sepenuhnya, matanya menyipit ingin melihat apa yang akan terjadi di kursi itu.
Varania agak kecewa karena tidak ada yang terjadi. Samuel benar-benar meninggal.
---
Dalam kamar mewah penuh taburan bunga mawar, seorang perempuan cantik duduk di tepian tempat tidur menghadap ke jendela. Matanya yang biasanya seterang bulan sedikit redup, ada jejak air mata di pipinya.
Kriettt.
Pintu terbuka, tapi wanita itu tidak menoleh sedikitpun seolah dia sudah bisa menebak siapa yang datang.
"Tuan muda akan segera diantarkan ke rumah peristirahatan terakhir, nona masih tidak ingin pergi?" Tanya orang yang baru saja masuk, perawakannya agak gemuk dengan muka bulat berminyak. Suaranya tidak terlalu lembut bahkan sedikit menakutkan, tapi wanita yang duduk di tepian tempat tidur tidak menunjukkan rasa takut sedikitpun.
"Apa gunanya pergi kesana? Samuel akan baik-baik saja, dia mungkin juga tidak ingin melihatku." Wanita ini tak lain adalah Gladina, perempuan yang baru saja menikah namun sekarang sudah menjadi janda. Wajahnya muram dan suaranya sedikit bergetar.
"Bukan salah nona, Tuan muda mungkin tidak membenci nona."
"Pergilah, Bula. Aku ingin sendirian." Gladina berdiri, lalu melangkah gontai ke jendela kaca. Matanya menatap bagian belakang rumah yang dipenuhi bunga.
Hujan gerimis membuat bunga itu lebih hidup, tapi mungkin hanya Gladina yang merasa hampa disini. Dia berusaha menutupi kesedihan di wajahnya.
"Saya permisi, nona." Bula menghela nafas berat, barangkali nona nya memang butuh waktu sendiri. Tidak ingin mengganggu lebih lama, Bula keluar dari kamar itu.
Tangan ramping Gladina mengusap kaca yang berembun, dia berbisik sedih, "benarkah kamu tidak membenciku?"
Gladina melirik nelangsa ranjang pengantin yang masih sama dengan beberapa hari lalu. Seharusnya dia sedang berbaring di sana bersama pria yang menikahinya, tapi takdir berkata lain.
Nyawa orang itu di renggut sebelum mereka sempat memadu kasih. Gladina memejamkan matanya, mencoba mengingat apa yang terjadi.
Anehnya, Gladina hanya bisa mengingat saat dia berbaring karena lelah duduk di atas panggung hampir seharian. Dia tidak ingat apakah saat itu dia tidur atau bukan, namun tiba-tiba saja Samuel meninggal dan dia baru tahu setelah suaminya di bawa ke rumah duka.
Gladina tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi, dia ingin melihat untuk terakhir kalinya namun logikanya menolak. Samuel pasti tidak ingin dia hadir disana, jadi apa gunanya? Gladina membaringkan tubuhnya di atas taburan bunga.
...***...