Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 23: Surat Pemanggilan
Di siang hari yang kosong tanpa pelanggan, aku sedang menyortir berbagai berkas yang tersimpan di ruang arsip. Beberapa lembar dari jutaan kertas yang tersimpan di sini selanjutnya akan kupindahkan ke perusahaan arsip swasta. Dengan begitu, ruangan ini akan mampu menampung beberapa kertas lagi untuk lima tahun ke depan.
Tapi, tumpukan kertas ini bukanlah permasalahan utama yang sedang aku hadapi sekarang. Asal kalian tahu, ketiga anak magangku—Michelle, Tahsya, dan Meilani—terlihat begitu murung sejak pagi hari. Awalnya, aku kira mereka cuma mengantuk karena mungkin mereka menghabiskan malam hari dengan begadang. Namun, performa mereka bertiga tidak mengalami penurunan sama sekali selama melayani pelanggan beberapa jam yang lalu. Itu berarti, walaupun ekspresi wajahnya terlihat lesu, tidak ada satupun dari ketiga anak magang ini yang begadang semalam.
Hal serupa pun sedang terjadi saat ini. Kalau dilihat-lihat lagi, baik Michelle, Tahsya, maupun Meilani, sedang sibuk menyortir berkas dengan ketelitian yang sangat tinggi, namun tak satupun dari mereka yang berbicara satu sama lain. Aku pun mulai bertanya dalam hati: apakah mereka sedang bertengkar sekarang? Atau ada suatu masalah serius yang sedang terjadi di antara mereka?
“Hei, kalian kenapa murung banget, sih, dari tadi?” Karena rasa penasaran ini sudah melewati batas, mulutku pun terbuka untuk menyampaikan pertanyaan tersebut.
Ketiganya terlihat tersentak saat aku memecah kesunyian dengan pertanyaan itu. Setiap mata menatap ke arahku, seolah mereka baru menyadari bahwa aku berada di sini. Hadeh, mereka terlalu konsentrasi sampai-sampai tidak menyadari keberadaanku.
“T-Tidak ada kenapa-kenapa, Pak Nael. Kami baik-baik saja, hehehe.” Jawab Michelle diikuti dengan tawa yang terdengar canggung.
“I-Iya, Pak Nael. Nggak ada apa-apa, kok.” Imbuh Tahsya sambil melambai-lambaikan tangannya untuk memberikan isyarat bahwa mereka baik-baik saja.
Mataku lalu menyipit untuk menunjukkan kecurigaan terhadap respon mereka berdua. Tidak biasanya mereka menjawab pertanyaanku dengan nada yang terdengar canggung seperti itu, terutama Tahsya yang biasanya merespon dengan semangat menggebu-gebu.
“Oh, ya? Terus kenapa kalian jawabnya kayak gitu? Terutama kau, Tahsya. Kau biasanya nggak pernah jawab pertanyaanku dengan nada yang terdengar menyembunyikan sesuatu gitu.” Tanyaku lagi untuk membantah jawaban Michelle dan Tahsya.
“Ng-Nggak, kok-”
“Sudahlah, kalian nggak bisa bohong dariku. Cepat beritahu apa yang terjadi.” Aku langsung memotong di saat Tahsya mencoba untuk membantah lagi.
Ketiga anak magang itu pun terlihat semakin menunduk, seolah hal yang mereka sembunyikan dari tadi sudah terbongkar semuanya. Tak berselang lama, Michelle kemudian menatapku lagi seakan ingin memberitahu segala hal yang terjadi di antara mereka.
“Begini, Pak Nael.” Michelle mulai menjelaskan dengan nada lirih yang terdengar ragu-ragu. “Sebentar lagi program magang kita akan selesai, kan. Nah, kami cuma ngerasa agak sedih aja karena hal itu.”
“Loh, ngapain kalian sedih?” Tanyaku spontan karena masih belum mengerti dengan penjelasan Michelle.
“Jelas sedih, dong! Di sini kami bisa belajar sambil langsung praktik, terus kadang bisa bercanda atau main PS waktu nunggu client, terus juga kadang suka ditraktir sama Pak Nael. Karena program magangnya udah selesai, kami jadi nggak bisa belajar sambil seru-seruan kayak gitu lagi!” Jawab Tahsya dengan nada yang kembali menggebu.
“I-Iya… Saya juga n-nggak bakal bisa baca buku-buku menarik yang ada di rak buku anda l-lagi…” Imbuh Meilani dengan nada lirih seperti biasanya.
Oalah, jadi begitu toh kenapa mereka sedih.
“Ngapain kalian sedih, sih? Emang siapa yang ngelarang kalian buat datang ke sini lagi kalau program magangnya udah selesai?” Seketika, wajah ketiga anak magangku menjadi segar kembali setelah mendengar jawaban itu.
*Ding-dong!* Di tengah perbincangan kami, bel rumah tiba-tiba berbunyi yang menandakan bahwa ada tamu yang berkunjung.
“Ya sudah. Daripada murung-murung nggak jelas kayak gini, mending kalian layanin dulu pelanggan yang datang itu.”
...***...
Setelah dihampiri, orang yang berkunjung ke kantor bukanlah pelanggan, bukanlah tamu, namun seorang petugas pengadilan yang datang untuk membawakan surat pemanggilan saksi. Setelah sebulan berlalu, akhirnya bandar judi sabung ayam dari Desa Arga Mulya—Daniel Cahyadi dan Martin Setiadi—tertangkap oleh pihak kepolisian.
Karena aku telah mengesahkan dokumen perjanjian bisnis mereka berdua, aku pun jadi terlibat dalam persidangan ini sebagai seorang saksi. Hah… Sudah kuduga hal-hal merepotkan seperti ini akan terjadi lagi padaku.
Tapi, yang lebih merepotkan adalah ketiga anak magangku menjadi panik karena surat pemanggilan ini. Walaupun Michelle, Tahsya, dan juga Meilani adalah seorang mahasiswi hukum, ini adalah pertama kalinya mereka melihat seseorang mendapat surat panggilan dari pengadilan untuk bersaksi. Ditambah lagi, mereka juga sempat terlibat dalam melayani kedua bandar judi tersebut. Tapi, tenang saja, karena aku adalah satu-satunya orang yang dipanggil untuk memberi kesaksian di pengadilan.
Untuk menenangkan kepanikan para mahasiswi magang ini, aku mengajak mereka untuk pergi ke kedai es krim yang berada tak jauh dari kantor. Walaupun rasa es krimnya benar-benar autentik, entah kenapa kedai kecil ini nggak terlalu dapat banyak pelanggan. Tiap aku berkunjung ke sini suasananya pasti sangat sepi.
Setelah menyantap dua sendok es krim, aku kemudian menanyakan kondisi dari ketiga anak magang ini. “Bagaimana? Udah lebih tenang sekarang?” Mataku menatap ke arah mereka bertiga secara bergantian.
“Nggak.”
“Nggak!”
“T-Tidak…”
Jawab mereka serentak.
“Lah, kok nggak, sih? Kan yang dipanggil buat bersaksi cuma aku doang. Selain itu, kalian juga udah kutraktir es krim siang-siang gini buat ngeredain panas di kepala kalian.” Tanyaku dengan nada yang mencoba menenangkan mereka bertiga.
“Jelas nggak tenang, dong, Pak Nael. Gimana jadinya kalau anda ternyata malah ikut ditetapkan sebagai tersangka gara-gara udah membantu mereka buat ngesahin perjanjian itu?” Tanya Michelle dengan suara yang penuh kekhawatiran.
Aku menghela napas panjang sebelum menanggapi kekhawatiran Michelle yang tidak berdasar itu. Sampai di sini, aku jadi berpikir kalau pihak kampus seharusnya memberikan lebih banyak praktik kepada mereka ketimbang teori-teori semata. Tujuannya adalah agar para mahasiswa tidak kaget saat harus berhadapan dengan situasi seperti ini.
“Baiklah, begini saja.” Ucapku sambil menatap tajam ke masing-masing mata mereka secara bergiliran. “Aku ingin kalian semua hadir saat aku bersaksi di persidangan nanti. Akan kutunjukkan betapa hebatnya kemampuan beracara seorang notaris!”
...***...
Setelah menjalani hari yang cukup panjang, aku memutuskan untuk jalan kaki sore di taman kota Andawana. Ada sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa berolahraga justru membantu kita untuk melepas penat setelah bekerja seharian. Jadi, bagi kalian yang selalu pulang kerja dalam keadaan lesu, sepertinya kalian harus nyoba buat olahraga sekitar 30 menit aja. Aku jamin badan kalian pasti bakal terasa segar kembali.
Saat menikmati udara sore yang segar tanpa kepulan asap rokok, mataku tiba-tiba melihat seseorang yang sedang berjalan melawan arah lintasan. Ketika jarak di antara kami sudah semakin mendekat, aku langsung bisa mengenali siapa orang dengan brewok yang lumayan tebal itu.
Dia adalah Doni Hartawan, dosen Hukum Perikatan yang telah memperkenalkan segala ilmu kenotariatan kepadaku. Selain pernah berprofesi sebagai dosen, beliau juga adalah pensiunan notaris yang kalibernya tidak main-main. Dilihat dari raut wajah serta kondisi fisiknya, beliau ternyata masih berada dalam kondisi yang sangat sehat di masa tuanya.
“Pak Doni!” Sapaku sambil melambaikan tangan perlahan-lahan.
Pak Doni terlihat menyipitkan matanya, seolah sedang mencoba untuk mengenali diriku. Wajar, sih, kalau beliau lupa. Soalnya kita sudah lama sekali tidak bertemu semenjak beliau pensiun dari dunia kenotariatan.
“Oh, Nael!” Sapanya balik, sambil menunjuk ke arahku dengan cepat. Walaupun sudah berada di umur 70an, ternyata beliau masih bisa bergerak dengan sangat gesit, ya. “Gimana kabarmu? Sehat?” Tanyanya sambil menawarkan jabat tangan.
“Sehat, Pak. Anda juga kelihatannya sangat sehat, ya.” Balasku dengan nada yang ramah, sambil menggenggam erat tangannya.
“Oiya jelas, dong! Saya juga kelihatan lebih muda dari kamu, tahu. Lihat aja, tuh, uban kamu jauh lebih banyak daripada uban saya, hahaha!” Wah, kebiasaan beliau yang doyan nge-roasting anak muridnya ternyata masih belum hilang juga, ya.
“Ngomong-ngomong, gimana kerjaan kamu sekarang, nak?” Tanya beliau setelah selesai menertawai rambutku yang sudah mulai beruban.
“Yah, gitu-gitu aja, sih, Pak. Beberapa hari lagi saya harus bersaksi di persidangan gara-gara udah ngebuatin perjanjian bisnis untuk bandar judi sabung ayam.” Jawabku lagi sambil menghela napas panjang. Setelah ini, beliau pasti bakal nge-roasting aku lagi.
“Wah, hahahaha.” Beliau tertawa lepas mendengar penjelasanku itu, sampai-sampai kami menjadi perhatian orang di sekirar.
“Hadeh… Kamu emang nggak pernah berubah, ya, Nak Nael.”