NovelToon NovelToon
THE VEIL OF AEDHIRA

THE VEIL OF AEDHIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:436
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah fahra

Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.

Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.

Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10 KOTA YANG TERTINGGAL DAN BAYANGAN MASA LALU

 Kota Tertinggal dan Bayangan Masa Lalu

Udara pagi di Lembah Rintik terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut menggantung rendah, seolah dunia sedang malas bangun. Langkah Lyra mantap meski lututnya sempat protes karena perjalanan panjang tanpa sarapan proper. Kaelen di belakangnya menguap tanpa malu-malu, sedangkan Arven... yah, masih kayak biasanya—jalan seperti bayangan. Sunyi, tenang, dan entah kenapa selalu kelihatan kayak habis mikir hal berat.

“Mau sampai mana kita?” tanya Kaelen akhirnya, menyeret langkah sambil menatap langit yang belum sepenuhnya biru.

“Ke kota yang pernah ditinggali ayah Lyra,” jawab Arven tanpa menoleh. “Namanya Eldalune.”

Lyra menoleh cepat. “Eldalune? Itu bukan cuma legenda?”

Arven mengangguk tipis. “Legenda selalu punya dasar kenyataan. Eldalune memang sudah lama ditinggalkan, tapi menurut peta kuno... letaknya hanya setengah hari perjalanan dari sini.”

“Setengah hari dengan kaki normal atau kaki elf sekuat bajing loncat?” Kaelen mengerang. “Karena jujur, betisku udah teriak minta cuti.”

Lyra tertawa, tapi ada ketegangan samar di balik tawanya. Eldalune. Nama itu terdengar asing sekaligus... familiar. Seolah-olah bagian dari dirinya pernah menginjak tanah itu—di kehidupan yang lupa.

Perjalanan dilanjutkan melewati jalur sempit berbatu. Hutan perlahan berganti jadi lahan berbukit yang penuh reruntuhan kecil—batu-batu ukiran tua, gerbang setengah rubuh, dan pilar yang tumbang ditelan lumut. Tanda-tanda bahwa dulu, tempat ini pernah hidup.

“Gue bisa ngerasain energinya,” bisik Lyra tiba-tiba.

Arven mengangguk. “Kota ini pernah jadi pusat ilmu sihir dan penjaga gerbang antara dunia manusia dan Aedhira. Tapi waktu Raja Kelam mulai bangkit, Eldalune diserbu. Penduduknya menghilang. Ada yang bilang kota ini dikutuk.”

“Wow, keren banget. Kita ke tempat angker nih sekarang?” Kaelen mencoba bercanda tapi jelas suaranya sedikit gemetar.

“Tenang,” kata Lyra, “kalau ada hantu, lo bisa peluk Arven. Dia lebih dingin dari hantu mana pun.”

“Serius, Lyra?” Arven menatap datar.

“Aku cuma bantu Kaelen survive secara mental.”

Sesaat kemudian, mereka tiba di gerbang utama Eldalune—dua tiang batu menjulang dengan lambang berbentuk bunga bermekaran dan matahari terbit. Tertutup lumut, tapi masih tampak jelas bentuknya.

Lyra menyentuh ukiran itu. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terbangun. Bukan kekuatan, tapi... kenangan. Sebuah ruangan. Seseorang sedang menyanyi. Lalu suara tawa—laki-laki dewasa yang memanggilnya... Lyra kecil.

“Ayah...” bisiknya lirih.

“Kenangan itu mulai kembali,” kata Arven dari sampingnya. “Semakin dekat kamu ke Eldalune, semakin kuat ingatan masa kecilmu akan muncul.”

“Kalau gitu... kenapa nggak semuanya langsung balik aja?” tanya Lyra frustrasi.

“Karena ingatanmu diikat pakai segel magis. Butuh waktu. Dan keberanian.”

Kaelen tiba-tiba berteriak, “WOY, ada bayangan tadi barusan!”

Mereka semua langsung siaga. Lyra mencabut belatinya. Arven mengangkat tangan, energi sihir berkumpul di telapak tangannya. Tapi setelah beberapa detik... tidak ada apa-apa.

“Gue... mungkin cuma halusinasi ya?” Kaelen menyeringai kikuk. “Tapi demi nasi goreng, tadi ada yang gerak cepet banget!”

Arven menurunkan tangannya perlahan. “Kita tidak sendiri.”

“Yay,” gumam Lyra, “akhirnya ada pengikut setia jumpscare muncul juga.”

Mereka pun melangkah masuk ke Eldalune yang kini bagai kota hantu—senyap, reruntuhan berserakan, tapi aura magisnya masih terasa kuat. Langkah mereka menggema di antara puing-puing dan lengkungan batu. Setiap sudut seperti menyimpan kisah yang belum sempat selesai ditulis.

Dan Lyra tahu, jawabannya ada di kota ini.

Eldalune terasa seperti dunia yang terhenti di antara dimensi. Setiap langkah Lyra, Kaelen, dan Arven mengisi ruang yang sunyi, seakan kota ini menunggu untuk bangun dari tidur panjangnya. Bumi di bawah kaki mereka, reruntuhan yang terbaring di sana sini, berbicara tentang masa lalu yang pernah gemilang, namun kini terlupakan.

“Ada yang aneh di sini,” bisik Kaelen sambil menatap sekitar, matanya memindai setiap sudut gelap. “Kayaknya bukan cuma kota kosong, deh.”

“Lo mulai agak paranoid, Kaelen,” balas Lyra sambil menatap reruntuhan batu besar yang menjulang. Tapi dia pun merasakan sesuatu yang tidak beres. Hawa dingin itu, suara angin yang tidak berputar dengan semestinya... semuanya terasa asing.

Mereka terus berjalan, hingga akhirnya tiba di sebuah alun-alun yang penuh dengan sisa bangunan megah—tiang-tiang tinggi yang dulunya menjadi bagian dari kuil besar. Di tengah-tengah alun-alun itu, ada sebuah patung besar yang menghadap ke langit, wajahnya rusak dan sebagian besar hancur, hanya menyisakan sisa-sisa kontur wajah yang menakutkan.

“Siapa itu?” tanya Kaelen dengan suara pelan. “Kok kayak bukan manusia?”

“Raja Tertua,” jawab Arven tanpa menoleh. “Dia yang memimpin Eldalune sebelum semuanya hancur. Sebagian percaya dia adalah orang yang pertama kali berhubungan dengan Raja Kelam, membuat kesepakatan yang menghancurkan segalanya.”

Lyra mendekat, tangannya mengusap permukaan patung yang dingin. Ada energi aneh yang mengalir melalui telapak tangannya, seperti bayangan masa lalu yang masih mempengaruhi tempat ini.

“Raja Tertua...” gumamnya. “Kenapa rasanya... aku pernah mendengar nama itu?”

Arven berhenti di sampingnya. “Kamu mungkin belum sepenuhnya mengingatnya. Tapi saat kamu melihat simbol ini—” dia menunjuk ke lambang yang terukir pada dasar patung, “—kamu bisa merasakan kekuatan lama yang masih tertinggal. Aedhira memiliki banyak rahasia. Dan Eldalune adalah salah satunya.”

Lyra melangkah mundur, memandang kota yang kini seperti tempat tidur bagi kenangan yang belum terselesaikan. “Ayah gue pernah bilang bahwa ini adalah tempat yang... dia harus tinggalkan. Tapi kenapa? Kenapa dia bawa gue pergi dari sini?”

Kaelen menyeringai, berusaha mengubah suasana. “Mungkin ayahmu pengen kamu nggak jadi ninja pembunuh raksasa, siapa tau kan?”

Lyra menggeleng, tertawa kecil meski perasaan tidak nyaman semakin tumbuh dalam dirinya. “Itu nggak lucu.”

Namun, seketika suasana berubah, dan Lyra merasakan angin yang lebih dingin menerpa kulitnya. Sesuatu berubah di sekitar mereka. Langit gelap mendung seperti malam yang tak kunjung datang, dan kabut tebal mulai memenuhi alun-alun.

“Arven, ini bukan bagus kan?” tanya Kaelen, suara terengah-engah.

Arven menegakkan tubuh, matanya tajam. “Jaga diri kalian. Ada yang mendekat.”

Lyra mengencangkan ikat pinggangnya. “Apa itu?”

Sebelum Arven bisa menjawab, suara berderak keras terdengar dari balik reruntuhan. Segera, dua sosok muncul dari balik kegelapan, tinggi besar dengan mata merah menyala. Mereka mengenakan baju zirah yang sangat mirip dengan prajurit Aedhira—tapi matanya kosong, tidak memiliki jiwa. Kendali Sihir.

Arven melangkah maju dengan tenang. “Kendali Sihir... Pembawa kutukan dari Raja Kelam.”

Salah satu dari mereka menggerakkan tangan, dan kabut semakin mengental. Udara semakin dingin. Lyra bisa merasakan sesuatu yang menjalar ke tubuhnya, seolah kutukan itu mencoba menguasainya.

“Jangan biarkan mereka mendekat!” teriak Arven.

Tanpa berpikir panjang, Lyra menarik belatinya dan menyerang. Ia tahu, meskipun raksasa atau Kendali Sihir itu terlihat seperti makhluk tak terduga, keberanian yang ia bawa—kenangan tentang masa kecilnya yang hancur—adalah senjata terbaik.

Kaelen dengan cepat menyusul, melemparkan batu besar dengan sihir yang ia pelajari secara otodidak. Namun, Kendali Sihir itu tampaknya tak terpengaruh. Mereka bergerak lebih cepat dari yang bisa dibayangkan.

Lyra merasakan seluruh tubuhnya melemah oleh energi yang menyerang dari dalam—seolah seluruh kekuatan dirinya mulai terhisap. Tetapi saat itu, sebuah kilatan cahaya menyilaukan muncul, dan Arven melompat, mengeluarkan ledakan energi dari tangan, memukul mundur Kendali Sihir tersebut.

“Kalian masih harus berlatih lebih banyak!” Arven berteriak, suaranya keras, namun penuh kecemasan. “Ini bukan sekadar pertempuran biasa!”

Lyra merasa keringat dingin mengalir. Dia harus lebih kuat—lebih cepat. Dan lebih cerdas.

Sosok Kendali Sihir lainnya mengayunkan pedangnya dengan kecepatan yang menakutkan, tapi Lyra berhasil menghindar, menggeser tubuhnya ke samping. Dalam sekejap, ia merasakan hawa panas di sekelilingnya, dan tanpa pikir panjang, ia melayangkan belatinya ke arah perut Kendali Sihir itu.

Pedang Lyra menembus tubuh makhluk itu, dan sekejap kemudian, ia roboh, jatuh dengan suara keras ke tanah yang berdebu. Namun, saat itulah Lyra sadar, mata Kendali Sihir itu menatapnya dalam keheningan yang menakutkan.

"Apa yang mereka cari?" tanya Lyra pada Arven, meskipun tubuhnya masih terengah-engah.

Arven menatapnya intens. “Mereka mencari kamu. Ada yang ingin melindungimu... dan ada yang ingin menghancurkanmu.”

Angin di Eldalune kini tak lagi hanya dingin—ia membawa sesuatu. Bukan suara, bukan bau, tapi kenangan. Kenangan yang bahkan Lyra sendiri belum pernah alami. Ia berjalan perlahan, menatap reruntuhan dengan tatapan kosong, seolah alam bawah sadarnya sedang mencoba menghubungkan potongan-potongan yang hilang.

Kaelen berdiri di sampingnya, memeluk dirinya sendiri sambil bergumam, “Oke, ini tempat paling horor kedua yang pernah gue datengin. Yang pertama? Kamar tante gue pas lagi nyari kutang.”

“Kaelen, serius deh,” gumam Lyra, mencoba menahan tawa. “Lo bisa santai bahkan waktu ada mayat hidup berarmor tadi?”

“Yaelah, daripada panik terus muntah, mending gua becanda, ya kan?”

Arven menginterupsi, suaranya dalam dan tenang. “Humor itu mekanisme pertahanan yang umum dalam kondisi stres.”

Kaelen melirik ke arah Arven. “Lo barusan ngutip buku psikologi?”

“Tidak. Aku hanya hidup terlalu lama.”

Mereka melanjutkan perjalanan, dan tak lama kemudian, mereka menemukan sesuatu yang berbeda. Di tengah reruntuhan, ada bangunan yang masih utuh—sebuah perpustakaan. Pintu kayunya terkunci, tapi di bagian atas pintu terukir tulisan kuno yang membuat Lyra merinding.

“Aedhira Lathen. Rumah Ingatan,” bisik Lyra.

Arven mengangguk. “Ini bukan perpustakaan biasa. Ini tempat di mana para penjaga zaman dahulu menyimpan rekaman ingatan... dari siapa pun yang pernah menyentuh sihir Aedhira.”

Kaelen mengangkat alis. “Tunggu. Jadi ini... kayak harddisk raksasa versi magis?”

“Sederhananya, ya.”

Lyra menyentuh gagang pintu. Dan tiba-tiba, pintu itu terbuka sendiri—tidak dengan suara seret dramatis, tapi hening, seperti tempat ini tahu mereka akan datang.

Di dalam, rak-rak buku menjulang tinggi. Tidak ada debu, tidak ada sarang laba-laba. Hanya sunyi yang menakutkan dan cahaya biru redup yang memancar dari simbol di dinding.

Mereka berjalan di antara rak, hingga Lyra berhenti di depan satu laci kecil yang mengeluarkan cahaya.

“Lyra Caellum,” tulisannya terukir jelas.

Ia menatap Kaelen, lalu ke Arven. “Kenapa ada nama gue?”

Arven menghela napas. “Sepertinya, ayahmu pernah menyimpan sesuatu tentangmu di sini.”

Dengan ragu, Lyra menarik laci itu keluar. Di dalamnya, sebuah bola kristal kecil berpendar lembut. Saat ia menyentuhnya, cahaya itu melonjak, dan tiba-tiba... mereka tak lagi berada di perpustakaan.

Gambaran masa lalu menyelimuti mereka.

Lyra masih berdiri di sana—tapi dia juga melihat dirinya yang lebih muda, duduk di pangkuan seorang pria dengan rambut perak dan mata kelam.

“Ayah,” bisiknya lirih.

Suara dalam rekaman itu terdengar jelas. “Lyra, kalau suatu hari kamu kembali ke Eldalune dan menemukan ini... berarti waktumu sudah dekat. Kamu harus tahu, semua ini bukan salahmu. Aku pergi karena aku tahu Raja Kelam mencarimu. Kamu... kamu adalah satu-satunya yang bisa menutup celah antara dunia kita dan dunia mereka.”

Lyra terpaku. Hatinya mencelos. “Aku... satu-satunya?”

Visi itu memudar. Dan mereka kembali ke perpustakaan.

Kaelen melotot. “Gila... lo kayak karakter utama film Marvel. Gue rasa kita harus ngelatih lo buat jadi badass.”

Arven menatap Lyra dalam-dalam. “Ada sesuatu dalam darahmu yang bukan hanya manusia. Kau adalah kunci, Lyra. Bukan karena ramalan... tapi karena siapa dirimu.”

Lyra menghela napas panjang. Ia merasa dunia di sekitarnya terus mengecil. Beban itu makin berat. Tapi di balik semuanya... ada bara kecil dalam dadanya. Keinginan untuk tahu, untuk bertahan, dan membalas semua kehilangan yang pernah ia alami.

“Kalau gue ini kunci,” ucap Lyra, “gue nggak bakal duduk diam dan nunggu semuanya hancur. Ayo keluar dari sini. Kita cari siapa pun yang bisa bantu kita ngelawan si Raja Kelam itu. Dan kalau harus mulai dari Eldalune... ya udah. Gue siap.”

Langit Eldalune mulai berubah warna ketika mereka melangkah keluar dari Perpustakaan Ingatan. Awan menggantung berat, dan angin membawa hawa tak bersahabat. Meski tak ada suara, Lyra merasa seolah ribuan mata sedang mengawasi dari balik bayangan kota mati itu.

“Gue beneran nggak suka vibe-nya,” bisik Kaelen, matanya waspada menatap setiap sudut.

Lyra menarik napas dalam-dalam. “Kita harus ke pusat kota. Ada sesuatu yang menunggu kita di sana. Aku nggak tahu apa, tapi… rasanya penting.”

Arven berjalan di depan. Ia tampak tenang, tapi langkahnya lebih cepat dari biasanya. Ia juga merasa ada yang tidak beres. “Kau merasakannya juga?” tanyanya lirih pada Lyra.

“Iya. Seperti... bayangan yang bergerak, tapi nggak punya bentuk,” jawab Lyra.

Mereka menyusuri jalanan berbatu yang mulai retak, melewati patung-patung raksasa yang telah kehilangan kepala atau tangan. Setiap langkah mereka terasa berat, seperti tanah di bawah kaki mencoba menahan mereka.

Saat mereka sampai di sebuah dataran luas dengan monumen besar berbentuk lingkaran di tengahnya, Lyra berhenti. “Ini tempatnya.”

Monumen itu memancarkan cahaya samar. Di sekelilingnya, ukiran-ukiran tua bersinar dalam bahasa kuno yang entah bagaimana bisa dimengerti oleh Lyra.

“Ini bukan cuma penanda kota. Ini... semacam portal?” gumamnya.

Arven mendekat. “Lebih tepatnya, ini adalah Pusat Simpul. Tempat di mana seluruh aliran sihir Aedhira berputar.”

Kaelen menelan ludah. “Dan kita di tengah-tengahnya? Gokil.”

Tiba-tiba, langit menjadi gelap—bukan hanya karena awan, tapi karena sesuatu menjatuhkan bayangan besar dari udara. Sesosok makhluk berwujud kabut pekat muncul dari balik reruntuhan. Mata merahnya menyala, dan tubuhnya melayang tanpa suara.

“Bayangan Penjaga,” bisik Arven. “Dulu, mereka melindungi tempat ini. Sekarang... mereka menjadi pelayan Raja Kelam.”

Makhluk itu mengangkat tangan kabutnya dan mengarahkan ke Lyra. Sebelum siapa pun sempat bergerak, gelombang sihir menghantam tanah dan mengirimkan mereka terpental.

Kaelen berguling dan bangkit cepat. “Oke, ini fix boss battle! Arven, lo ada cheat code?”

“Tidak. Tapi aku bisa melindungi kalian beberapa menit.”

Lyra berdiri sambil menggigit bibirnya. Tangannya gemetar, tapi ada panas aneh di dalam tubuhnya. Dia mengangkat tangan, dan tanpa ia sadari, api biru menyembur dari telapak tangannya dan membentuk perisai.

Kaelen memekik, “WOY! Lo punya skill elemental?! Dari kapan?”

“Gak tahu!” jerit Lyra. “Ini keluar sendiri!”

Arven menatapnya, sedikit terkejut. “Itu sihir warisan... milik Ayahmu.”

Pertarungan berlangsung sengit. Bayangan Penjaga terus menyerang, tapi dengan kombinasi perisai Arven dan semburan api biru dari Lyra, mereka mampu menahan serangan demi serangan.

Namun, satu hal tak bisa mereka sangkal—makhluk itu bukan makhluk biasa. Ia tidak memiliki tubuh yang bisa benar-benar dilukai.

“Serangannya cuma bikin dia makin tebal kabutnya!” teriak Kaelen, frustasi.

“Ada satu cara...” ucap Arven lirih. Ia menatap Lyra. “Kau harus gunakan ingatanmu. Hubungkan dirimu ke pusat simpul.”

“Apa? Gue bahkan gak ngerti caranya!”

“Percayalah. Hatimu tahu.”

Dengan napas tersengal, Lyra melangkah ke tengah lingkaran sihir. Ia menutup mata dan meletakkan tangannya di ukiran tengah. Tiba-tiba, energi dari seluruh kota berdenyut masuk ke tubuhnya.

Cahaya putih meledak dari tubuh Lyra, menerangi seluruh Eldalune. Bayangan Penjaga menjerit dan terurai menjadi angin, lenyap seperti abu tertiup badai.

Ketika cahaya itu mereda, Lyra terhuyung—dan roboh.

Lyra membuka matanya perlahan. Sinar lembut dari langit yang mulai cerah menyinari wajahnya. Ia merasa tubuhnya ringan, meskipun napasnya masih terengah. Di sekelilingnya, puing-puing kota Eldalune tampak lebih damai, seolah-olah kabut kelam yang selama ini menyelimuti telah menghilang.

“Lo sadar juga akhirnya,” suara Kaelen muncul dari samping, nadanya lega. “Gue kira lo bakal tidur sampai festival panen.”

Lyra tersenyum tipis. “Apa yang terjadi?”

Arven, yang duduk tidak jauh dari mereka, menjawab dengan tenang, “Kau terhubung dengan simpul utama Aedhira. Apa pun yang kau lakukan... berhasil. Kota ini sekarang aman.”

Kaelen menambahkan, “Bayangan itu lenyap. Nggak ada lagi suara aneh, nggak ada getaran. Kota ini kayak... istirahat setelah sekian lama mimpi buruk.”

Lyra perlahan duduk. “Aku gak ngerti bagaimana aku bisa ngelakuin semua itu…”

“Kadang kita gak harus ngerti semuanya. Kadang… cukup percaya,” ujar Arven. Ia menatap langit. “Tapi ini baru permulaan. Gerbang Aedhira benar-benar mulai terbuka. Dan itu artinya… Raja Kelam bisa melihat kita.”

Kaelen mendengus. “Bagus. Semoga dia ngeliat sejelas mungkin. Kita siap.”

“Belum,” kata Arven, menggeleng. “Kita masih terlalu lemah. Tapi kita punya sesuatu yang Raja Kelam nggak punya—Lyra.”

“Gue?” Lyra menunjuk dirinya sendiri. “Maksud lo, kekuatan aneh ini?”

“Bukan cuma kekuatanmu. Tapi keputusanmu. Hati yang kau punya. Di Aedhira, itu bisa jadi senjata paling kuat,” kata Arven pelan.

Kaelen nyengir. “Oke, jadi kita balik ke markas sekarang? Gue butuh mandi, makanan, dan mungkin terapi.”

Mereka tertawa, meski pelan. Ada luka dan lelah, tapi ada juga harapan. Kota Eldalune mungkin telah tertidur selama ratusan tahun, tapi malam itu, ia terbangun bukan karena teror, melainkan karena kehadiran cahaya baru—cahaya yang datang dari seorang gadis yang bahkan belum tahu siapa dirinya sepenuhnya.

Saat mereka meninggalkan pusat kota yang kini tenang, Lyra berhenti sejenak dan menatap reruntuhan itu.

“Terima kasih sudah percaya padaku,” bisiknya. Entah ditujukan pada siapa—diri sendiri, atau mungkin... Aedhira.

Dari kejauhan, sesuatu mengikuti langkah mereka—bayangan kecil yang tak terlihat mata biasa. Di balik senyap, Raja Kelam tersenyum.

“Pertunjukan baru saja dimulai.”

1
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
kau terasing di dunia nyata
tapi kau di harapkan di dunia edheira
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!