Cover by me
Moza Reffilia Abraham—fotografer berparas bidadari, jatuh hati sejak pandangan pertama. Abrizam Putra Bimantara—tentara teguh yang baru menyandang pangkat Kapten, justru mengunci rapat hatinya.
Pernikahan mereka lahir dari perjodohan, bukan pilihan. Abri menolak, dibayangi luka lama—pernah ditinggal kekasih saat bertugas di perbatasan. Ia takut jatuh cinta, takut kehilangan untuk kedua kalinya.
Namun kisah ini tak semudah itu.
Sosok dari masa lalu kembali hadir—seorang bawahan di kesatuan yang sejak dulu hingga sekarang menjadi pesaing dalam cinta, mengaduk luka lama dan membangkitkan kegelisahan yang nyaris tak tertahan.
Di antara tugas negara dan gejolak rasa, sang Kapten harus memilih membuka hati, atau kembali kehilangan.
Lanjut baca langsung ya disini ya👇
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika cha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
boncengan berujung salah paham
“Heh, denger nggak saya ngomong?” Suara Abri membuyarkan lamunan Moza.
Ternyata sejak tadi pria itu berbicara. Berbicara apa? Dengan polosnya Moza menggeleng.
Abri berdecak kecil. Ia lantas berdiri dari jongkoknya, lalu menatap Moza. “Kamu bisa berdiri nggak?”
"Kalau bisa udah dari tadi saya bangkit," Dengan hati hati Moza mencoba untuk berdiri sendiri.
"Ulurkan tanganmu," pinta Abri.
"Ha? Buat apa?" tanya Moza, menatap pria tinggi itu dari posisi duduk di atas trotoar.
“Ulurin aja. Mau bangun atau nggak?” ujar Abri lagi sedikit tegas.
Moza agaknya kaget, namun akhirnya menurut. Ia mengulurkan tangannya yang dk sambut Abri dan langsung menariknya hingga bangkit, berdiri tegak di hadapan pria itu. Beberapa saat mata mereka kembali bertemu.
Moza kembali tertegun menatap Abri dari jarak dekat seperti ini, belum lagi peluh keringat yang membanjiri wajah dan juga lengan berototnya yang menonjol itu. Uh, kharisma, pesona dan juga kegagahannya begitu... Menggetarkan.
Tolong ya tolong Abri yang seperti ini semakin tidak bisa di tolerir, yang ada Moza akan semakin terperangkap dan jatuh dalam pesona pria itu.
"Kenapa ngeliatin saya segitunya? Terpesona, hm?" goda Abri sambil membuka hoodie-nya dan menyerahkannya pada Moza.
Moza memalingkan wajah. “Ini buat apa?” tanyanya mengalihkan tak menjawab pertanyaan Abri karena sudah dapat di pastikan ia memang terpesona cuma ya gak mungkinkan Moza bilang, iya. Gengsi dong. Cukup-cukup kejadian di restoran itu saja yang membuatnya malu di hadapan Abri kali ini jangan lagi. Ia menerima Hoodie yang di berikan Abri.
“Buat nutupin aurat kamu yang kemana-mana,” jawab Abri santai, menunjuk paha Moza yang terpapar. Menggoda.
“Bisa bawa sepeda nggak?” tanyanya lagi melihat Moza yang masih mengikatkan Hoodie milik Abri di pinggangnya.
Moza mendesah pelan. “Nggak tahu, coba aja dulu.”
Ia berjalan tertatih-tatih ke arah sepedanya yang tadi sempat di pinggirkan oleh para pria yang mengerubunginya tadi. Baru tiga langkah, ia sudah meringis. “Ssshhk!” desisnya menahan sakit di pergelangan kaki.
Melihat itu, Abri menghela nafas langsung naik ke atas sadel sepeda. “Ayo, saya antar.”
Moza kaget melihat Abri tiba-tiba duduk di atas sepeda miliknya. Dia tidak salah dengarkan? “Mas... mau nganter saya?” Tanya Moza tak yakin.
"Hm." Jawab Abri hanya mengguman. Abri tulus ya mau nganter bukan mau modus seperti yang lain.
"Beneran?" tanya Moza lagi masih tak yakin.
“Apa wajah saya keliatan bercanda?” balas Abri datar. “Naik nggak? Saya masih ada kerjaan lagi, loh, ini."
Sebenarnya bisa saja Moza minta jemput orang rumah, cuma kan dapat rezeki nomplok begini mana mungkin Moza tolak sih, bukan dia loh yang minta, malah Abri sendiri loh yang mau anterin. Lantas kepala Moza mengangguk dua kali.
Tapi tunggu, kalau di antar naik sepeda dia mau duduk di mana ini? Kursi sepeda itu tunggal tak ada kursi penumpangnya . "Saya... Duduk dimana mas?"
Abri menunjuk ke batang besi di tengah. “Duduk di sini.”
Moza menatap Abri dan juga sepedanya secara bergantian. Yang benar saja? Yang ada pantatnya sakit sampai rumah kalau duduk disana.
"Heh, malah diam, mau saya antar gak, nih?" ujar Abri sudah tidak sabar.
"Eh, iya iya," Akhirnya mau tak mau Moza menurut. Dengan sedikit ragu ia mendaratkan bokongnya kebatangan sepeda tersebut sambil beroda dalam hati semoga bokong imutnya tidak akan tetap baik-baik saja aman sampai rumah.
Dan setelah di rasa posisi Moza sudah nyaman, pelan-pelan Abri mulai mengayuh sepeda itu hingga semakin cepat. Moza yang ada di depan hanya diam seperti patung. Bagaimana tidak? Dalam jarak sedekat dan cukup intim ini membuat Moza tak bisa berkutik.
Kanan kiri di suguhi lengan berotot Abri yang aduhai, melengos kekiri yang ada malah dia mencium pipi pria ini nantinya, karena posisi wajah pria itu ada di samping wajahnya. Sementara bergerak mundur lebih bahaya. Ini saja punggung dan dada Abri sudah menempel bak perangko dan amplopnya. Luwengket... Banget.
Moza hanya bisa pasrah. Nafasnya sesak, wajahnya panas, jantungnya berdebar keras. Tuhan, ini boncengan atau uji nyali?
Haduh, mimpi apa Moza semalam bisa di bonceng romantis seperti ini oleh pria hot, berkarisma dan tampan seperti Abri.
"Ya Tuhan, jangan biarkan aku terjerat dalam perhatiannya..." batinnya meronta. Tapi sayangnya, detik itu juga ia tahu dia sudah terperangkap. Parah.
Di balik punggung, Abri juga tak tenang. Ini pertama kalinya ia sedekat ini dengan seorang gadis. Pernah pacaran, iya. Tapi nggak pernah segininya. Apalagi wangi bunga yang begitu manis dari rambut Moza bikin otaknya mobat mabit.
"Ini kenapa malah nyari penyakit sendiri, Bri?" gerutunya dalam hati.
“Rumahmu di mana?” tanya Abri, mencoba mengalihkan pikiran.
“Itu,” tunjuk Moza ke arah kompleks elit di depan.
Abri mengangguk. Tidak menyangka rumah mereka ternyata sedekat ini.
Mereka masuk kompleks, menyapa satpam yang langsung menatap mereka dengan heran. Maklum, baru kali ini melihat Moza diantar pria asing naik sepeda.
“Ini rumah saya,” ujar Moza saat sepeda berhenti di halaman rumah besar bergaya Eropa klasik.
Gerbangnya terbuka, dan satpam yang berjaga ternganga melihat pemandangan di depan mata. Ini bukan dari salah satu dari beberapa pria yang sering mengantar bunga. Satpam rumah Moza itu sangat hafal dan tanda wajah-wajah pria yang silih berganti yang mengantakan bunga.
Moza turun dari sepeda dengan susah payah. “Ssshhk!” desisnya.
Abri mengerti, lalu memapah Moza ke dalam rumah.
“Haduuh, Gusti! Mbak Moza kenapa ini?” Pak Satpam menghampiri sambil membawa buket bunga.
“Tadi jatuh, Pak,” jawab Moza, meringis.
“Haduh, Gusti! Rumah lagi kosong loh ini mbak. Ibu ke pasar, bapak pergi sama Mas Marwan. Mbak Fira sama Mas Julian mungkin masih tidur, Mas Aji juga belum pulang. Bisa diteteli serumah ini mbak kalau sampai tahu Mbak Moza luka-luka gini.”
Abri melirik Moza yang sedang melirik balik. Anak kesayangan banget simpulnya. Satpamnya aja udah kayak manajer pribadi.
“Oza cuma keseleo kok, Pak. Nggak apa-apa," Ujar Moza untuk mengurangi rasa khawatir satpamnya lalu menatap Abri. “Mas, bantu sampai dalam ya?”
Abri mengangguk, menuntun gadis itu sampai tiba di dalam rumah sementara pak satpam tadi kembali ke pos nya. Abri mendudukkan Moza di salah satu sofa yang berbeda di ruang tamu.
"Oh, my God bebeb Sean!" seru suara cempreng bocah dari anak tangga terakhir, yang berlari ke arah mereka. Bocah itu sempat tersandung, jatuh, tapi langsung bangkit dan melesat ke arah Moza.
Teriak seorang bocah yang sedang berada di anak tangga terakhir berlari ke arah Moza dan juga Abri, ia sempat terjatuh tersandung kaki sendiri membuatnya mengaduh namun tak menangis. Sean bahkan bangkit kembali dan menghampiri Moza dengan raut khawatir.
“Jangan lari-lari, sayang,” peringatan Moza terdengar lembut begitu Sean tiba di hadapannya.
Alis Abri berkerut, menatap Moza dan juga Sean yang sekilas terlihat mirip. Apa ini anaknya? Batinnya mulai menerka.
"Bebeb Sean kenapa? Kok kakinya luka-luka begini?" Bocah lima tahun itu benar benar nampak khawatir sekali.
"Bunda jatuh dari sepeda Sean."
Bunda?
Terjawab sudah rasa penasaran Abri, gadis di hadapannya sudah menyebutkan dirinya sebagai bunda yang berarti itu anaknya kan? Ternyata dia menolong istri orang toh. Kok agak nyeri ya? Iya jantungnya kayak di gigit semut gitu tau Moza mungkin udah punya suami dan juga anak. Ada nyeri kecil yang mengganggu.
Tapi bocah itu tak berhenti sampai situ. Ia beralih menatap Abri.
"telus om ini siapa? Oh jangan jangan om cowok ganjen ya yang mau lebut bunda Sean? Oh atau om yang uda buat bunda Sean jadi lecet lecet begini ya hayo ngaku?! Dasal cowok spesialis buaya Dalat!" Segala tuduhan Sean layangkan pada Abri.
Tapi bukannya marah Abri malah melipat bibirnya kedalam berusaha menahan tawa rasanya lucu sekali melihat amarah bocah ini dengan suara cadelnya.
"Sean, nggak boleh gitu," tegur Moza pada ponakannya.
Namun bocah lima tahun yang wajahnya masih berhiaskan iler itu tetap ngotot, menggeleng sambil menggoyang jari telunjuk ke kiri dan ke kanan. "Em, em, em. No bunda. Ini om om pasti komplotan om Aji pasti. Sean yakin ini om om pasti mau culik bunda Oza. Bener kan om? Haduh, ganteng ganteng tukang culik telnyata. Ndak latu ya sampai mau culik bebebnya Sean?"
Tak tahan lagi, Abri punya turut menyemburkan tawanya merasa lucu akan bocah lima tahun yang pembawaannya tak seperti bocah lima tahun.
"Wah, ketawa lagi."jelas tawa Abri tak di sukai Sean yang sudah memasang wajah tak bersahabatnya. "Awas aja Sean aduin sama papanya Sean bial di sunat. Kata papa kalau ada cowok nakal itu halus di sunat bial gak nakal lagi."
Bocah itu lalu berlari kembali menaiki tangga sambil berteriak-teriak "papa... Papa... Ada buaya Dalat mau culik bunda Sean papa....!!"
Abri lantas terkekeh. "Anakmu lucu banget," Ucapnya masih tertawa memperhatikan Sean yang kini telah menghilang karena telah sampai di lantai dua.
"Iya." Jawab Moza membenarkan tingkah Sean yang memang selucu itu.
Tawa Abri pun reda "Okelah, kalau gitu karena kamu sudah sampai rumahmu dengan selamat saya juga harus pulang. Titip salam sama anak dan... suamimu. Assalamualaikum," Abri langsung berlalu tak ingin lama lama di sana. Tak enak juga berduaan dengan istri orang.
"Waalaikumsalam," Jawab Moza linglung memikirkan beberapa kalimat yang Abri ucapkan terakhir.
Tunggu. Abri bilang apa tadi?
Suami?
Abri mengira Moza punya suami dan Sean itu anaknya gitu?
Astaga! Abri salah paham!
Moza masih perawan ting ting, ya, tolong!
"Tung–" kalimat Moza menggantung tak jadi keluar kala sosok Abri sudah menghilang di balik pintu utama. Mau di kejar juga kakinya saja sakit. Ya tuhan, kacau banget dah Moza kacau. Baru pertama kali suka cowok eh malah si cowoknya salah paham begini.
Moza ingin meneriakkan bahwa ia belum menikah, bahwa Sean itu bukan anaknya, hanya keponakan! Tapi Abri sudah menghilang di balik pintu.
Mati aja deh za mati!
klo nnt mayor nelpon lagi, jgn diangkat ya bg abri... biar berhasil... 😂😂
sajen kak Chika jgn lupa biar lancar unboxing nya wkwkwkwkwkwk.....
mau tanya dong....
itu coklat susu dan Langit biru, ko tdk update di gantungan semua 🤔
hadeuh Thor jgn berat2 konfliknya kasian mereka Thor baru jg baikan blm icip2 jg.🤭